Ya, itulah beban organisatoris setelah lima tahun lalu, mantan ketua SIWO PWI itu terpilih sebagai ketua umum pada kongres PWI ke-24 di Solo, 29 September 2018. Dia menggantikan Margiono (almarhum) yang sebelumnya sudah dua periode memimpin PWI.
Kini, tiba waktunya mantan wartawan senior “Suara Karya” itu, untuk menunaikan setidaknya dua beban organisasi wartawan nasional yang dipimpinnya.
Pertama, mempersiapkan pelaksanaan Kongres XXV PWI berikut agenda ikutannya. Misalnya, rencana revisi atau perubahan konstitusi PWI. Dalam hal ini, Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga (PD/PRT) PWI, Kode Perilaku Wartawan (KPW) PWI dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) PWI.
Kedua, menyusun Laporan Pertanggungjawaban selaku Ketua Umum PWI hasil kongres di Solo. Dan ini tentu saja berkaitan dengan pertanggungjawaban atas sejumlah janji yang sudah dipaparkannya di depan forum kongres Solo sebelum terpilih.
Apakah semua janji dan program yang dikampanyekannya itu sudah direalisasikan? Inilah salah satu agenda yang agaknya ditunggu-ditunggu para peserta kongres yang akan digelar pada tanggal 25 dan 26 September 2023 di El Hotel, Bandung, Jawa Barat.
Maklum, bagi sejumlah wartawan di lingkungan PWI, faktanya cukup terang benderang. Bahwa ada sejumlah program dari Ketua Umum PWI Pusat terpilih itu—yang sudah dibungkus dengan visi baru: “menjadikan PWI sebagai organisasi profesional dan bermartabat di era transformasi lanskap media dengan spirit kebangsaan, kebebasan dan kreativitas digital”—belum atau tidak direalisasikan sesuai janji dan harapan.
Padahal, dengan visi baru tadi, mantan wartawan senior yang pernah membidani beberapa surat harian itu, pernah menyatakan dengan bersemangat bahwa kepengurusan PWI terpilih nanti sudah punya arah dan pedoman dalam menjalankan lima misi PWI.
Kelima misi itu pun dirumuskannya dalam pelbagai program: pendidikan berbasis teknologi digital; perbaikan manajemen dan administrasi berbasis digital; gerakan wartawan masuk kampus; meningkatkan peran pengurus pusat untuk aktif dalam penyelesaian di daerah; dan PWI sebagai inisiator dan
stakeholder perumusan regulasi media baru.
Terus terang, semua program yang dijanjikan itu adalah program kerja kekinian. Sangat menarik. Apalagi ketika mengomunikasikan materi kampanyenya Atal-- sekarang berusia 69 tahun--melakukan pendekatan kekeluargaan.
Anak Kabanjahe, Tanah Karo, Sumatera Utara itu, berlakon seperti seorang kakak Pramuka yang sedang memanggil adik-adiknya para wartawan PWI.
Dia memilih
tagline kampanyenya: “ Bang Atal Memanggilmu. Dek, Bersama Kita Jadi yang Terbaik.”
So touchy. Sangat menyentuh, kata anak muda sekarang. Tersentuh
tagline itu, dan tentu juga berkaitan dengan digelarnya Kongres PWI di Bandung itu, maka pada hari Sabtu, 11 September 2023, saya menghubungi sobat lama saya itu--yang kerap dan senang dipanggil Bang Atal.
Sekadar mengabarkan bahwa saya dan Ariful Hakim, pemimpin redaksi
ceknricek.com ingin meminta waktu wawancara. Fokus kami pada persiapan kongres dan isi agenda acaranya.
Alhamdulillah, Bang Atal langsung menjawab: “Baik. Nanti saya sediakan waktu.”
Namun, sampai beberapa hari tiada kabar. Baru, Sabtu, 16 September lalu, ketika saya ingatkan tentang janji wawancara, Bang Atal menjawab: Maaf, Sak (panggilan dia pada saya). Rasanya belum ada waktu yang luang untuk wawancara. Saya masih sibuk mempersiapkan kongres yang tinggal seminggu.”
Saya sempat tertegun dengan jawaban itu. Tapi, kemudian segera bergerak mencari jawaban untuk menyiapkan tulisan saya menyambut kongres PWI. Penasaran.
Mau tahu lebih jauh seperti apa realisasi pelbagai program yang dijanjikan Bang Atal, yang pada awal Maret 2023 sudah mengumumkan akan kembali maju dalam kontestasi pemilihan Ketua Umum PWI periode 2023-2028 di Kongres PWI Bandung.
Konstitusi PWI memang membolehkan seorang ketua umum PWI menjabat dua periode kepengurusan. Dia bisa dipilih lagi oleh para peserta kongres. Tentu, jika Sang Petahana punya modal berupa rekam jejak yang jelas dan terbukti. Bahwa dia memang berhasil merealisasikan semua program yang dijanjikannya kepada para peserta Kongres PWI.
Laporan PertanggungjawabanMenurut susunan acara yang disusun panitia, Kongres PWI akan dibuka Presiden Jokowi, pada Senin siang, tanggal 25 September 2023. Lalu, agenda penyampaian Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) Ketua Umum PWI akan digelar Senin malam pada Sidang Pleno II.
Sidang ini diperkirakan akan berlangsung sampai larut malam. Itu karena sidang harus tuntas selesai malam itu. Sebab, esok paginya sudah harus digelar agenda yang juga dinanti-nanti peserta kongres: pemilihan Ketua Umum PWI dan Ketua Dewan Kehormatan yang baru.
Lantas, seperti apa kira-kira narasi LPJ Bang Atal dan apa modal yang dimilikinya untuk maju sebagai Sang Petahana?
Saya cukup mengikuti jalannya semua program kerja Bang Atal. Dan harus berterus terang menyatakan kecuali lanjutan program di bidang pendidikan yang melanjutkan program safari jurnalistik, tapi tekanannya digeser ke pengajaran praktik
multitasking journalist, maka saya kurang atau nyaris tidak menemukan rekam jejak keberhasilan pada misi program lain yang sudah dijanjikan Bang Atal.
Salah satu contoh. Program ini, yang paling menarik perhatian saya. Sang Petahana menjanjikan akan memanfaatkan secara maksimal penggunaan teknologi digital untuk pendataan dan kegiatan organisasi di PWI. Untuk itu, akan diwujudkan sebuah aplikasi. Namanya: PWI Apps.
Dengan memiliki aplikasi tersebut, kata petahana, PWI ke depan akan berada dalam genggaman. Maksudnya, semua urusan pendataan anggota dan kegiatan organisasi PWI lainnya bisa dieksekusi dan dikoordinasikan dengan cepat melalui telepon genggam alias telepon pintar.
Terealisasikah program itu? Tidak. Atau mungkin belum? Sebab, Wakil Sekjen PWI R. Suprapto, yang mengaku belakangan diminta mengawal program itu, cukup gelagapan menjelaskan masalah realisasi PWI Apps itu. Dia menyatakan beberapa faktor penghambat dalam penyiapan PWI Apps. Misalnya, sudah beberapa kali ganti
developer.
Tapi, Suprapto tetap optimistis dan malah seperti bertekad: PWI Apps akan dikebut untuk bisa selesai sebelum kongres dibuka. “Memang, cukup lama mandek karena berbagai persoalan internal dan gonta-ganti orang yang mengerjakannya. Tapi, orang yang sekarang menangani kayaknya bagus dan serius. Dia menguasai teknisnya. Jadi, tinggal sedikit lagi PWI Apps sudah bisa diluncurkan,” kata Suprato, Senin minggu lalu.
Dalam kaitan dengan pemanfaatan teknologi digital, Ketum PWI Terpilih pernah menjanjikan: untuk memperlancar urusan ke-PWI-an antara pusat dan daerah akan disiapkan aplikasi lain.
Namanya: PWI Command Area & Center. Dengan aplikasi itu, seluruh urusan administrasi dan manajemen informasi daerah dan pusat dapat dipantau dalam satu sistem. Nama aplikasi kedua itu keren: PWI Command Center. Keren.
Tatkala memasarkan program itu di Hotel The Sunan, Solo, lima tahun lalu, Bang Atal sempat mengatakan: “Sistem ini nanti akan memudahkan PWI dalam memantau kegiatan seluruh pengurus dan anggota PWI dari Sabang sampai Merauke. ” Luar biasa.
Namun, para peserta Kongres Bandung agaknya perlu menanyakan kenapa program bagus dan sesuai tuntutan zaman itu belum atau tidak direalisasikan. Di markas PWI Pusat, saya tidak menemukan ada rekam jejak aplikasi tersebut.
Ketua berjanji, anak buah ya, cuma menagih janji.
Manfaat dari kegiatan suatu organisasi yang sudah dan mau menerapkan teknologi digital, sejatinya, adalah meningkatkan kualitas pelayanan. Dalam arti, pelayanan organisasi menjadi lebih cepat, mudah, lancar dan terbuka. Dan ini akan ikut mendorong tumbuhnya sikap kerja yang serba transparan dari jajaran pengurusnya.
Sayang, itu tidak terjadi di PWI Pusat. Mungkin, karena gagal merealisasikan semua aplikasi digital yang dijanjikan, pola kerja Pengurus yang diharapkan bisa cepat dan terbuka, tidak terwujud.
Kerja tim yang bahu membahu antar pengurus – beberapa di antaranya mukim di luar Jakarta—tak terbangun. Walhasil, satu dua pengurus mulai pasif. Tidak lagi aktif menjalankan tupoksi jabatannya.
Ini menyebabkan Ketum PWI Pusat jadi sering turun tangan sendiri dan akhirnya menjadi pusat komando operasional. Ia terjebak dalam kesulitan menggerakkan staf pengurusnya agar bisa segera menunaikan lima misi atau program yang sudah dijanjikan.
Terkaman pandemi Covid 19 yang mencengkeram Indonesia sejak 2019, harus diakui, ikut menjadi penyebab kepengurusan PWI Bang Atal mengalami semacam lesu darah. Giliran rapat, ruang rapat sepi.
Akibatnya, keluhan kerap terdengar dan cukup merata dari beberapa PWI provinsi. Ada banyak masalah yang dihadapi para anggota di daerah. Misalnya, pengurusan kartu anggota, administrasi kartu UKW masih tetap lambat diselesaikan.
Keluhan lain lagi. Semua persoalan di daerah ketika dibawa atau diadukan kepada Pengurus PWI Pusat, tidak bisa tuntas atau segera cepat diselesaikan.
Itulah sekelumit percikan suasana di panggung internal PWI Pusat.
Di panggung eksternal juga terdengar banyak keluhan. Ketum PWI Pusat dinilai tidak tampil prima dan mengemuka dalam membawakan kiprah PWI. Responsnya atas pelbagai masalah terkait wartawan dan pers nasional, dinilai lamban. PWI dalam banyak hal, sering tertinggal dan kalah cepat dari organisasi wartawan lain.
Ketum lebih banyak diam. Dan sikap itu menular ke para pengurus lain. Beberapa di antaranya, selain tidak aktif, kelihatan lebih suka bercengkerama di WA Group PWI. Singkatnya, main aman.
Dari pada responsif dan berinisiatif, “nanti tidak sejalan dengan ketum, kena tegur ”. Begitu kutipan pendek dari beberapa pengurus PWI Pusat.
Makanya agar tidak terkena risiko itu, mereka menyerahkan penyelesaian final suatu masalah pada ketua umum. Pelayanan pun jadi banyak tergantung pada persetujuan ketua.
Contoh terbaru pelayanan PWI Pusat yang dikeluhkan banyak anggota. Mendekati penyelenggaraan Kongres Bandung, tak tersedia cukup informasi.
Ada Humas PWI. Tapi kurang berfungsi maksimal. Lebih banyak keliru karena tidak menguasai persoalan. Belum urusan siaran pers yang dia terbitkan, bahasanya bergelemak peak.
Dia cuma menyuarakan kehendak dan kegiatan Ketua Umum PWI Pusat. Kurang merespon atau tidak bisa merespon pertanyaan kritis dari anggota PWI.
Salah satu pertanyaan, misalnya, tentang jumlah anggota dan hak suara PWI provinsi. Berapa banyak sebenarnya pertambahan anggota PWI selama lima tahun kepengurusan PWI?
Itu pertanyaan penting. Sebab, bersangkut paut dengan hak suara anggota dan para peserta kongres dalam pengambilan keputusan di forum kongres.
Sekretariat PWI Pusat mereka ketahui yang memegang data dan kerap memperbarui data anggota. Sekretariat juga menghitung dan merumuskan peta hak suara di semua provinsi. Tapi, hasilnya seperti dirahasiakan. Tidak bisa diketahui para anggota.
Padahal, itu sebenarnya terkait dengan sosialisasi dan edukasi sistem pemilihan ketua umum PWI yang diatur oleh PD/PRT PWI. Pasal 30 PRT PWI menyebutkan, jumlah hak suara tergantung besarnya jumlah anggota di cabang/provinsi.
Lalu, ditentukan pula rasionya. Setiap provinsi yang memiliki anggota Biasa di bawah 100 orang, memiliki hak satu suara di kongres.
Selanjutnya, ada enam kategori pembagian hak suara per provinsi. Provinsi yang memiliki lebih 100 anggota Biasa tapi dibawah 200 anggota, mendapat hak dua suara.
Yang memiliki anggota Biasa lebih dari 200, tapi kurang dari 400 anggota mendapat hak tiga suara. Kemudian, yang memiliki anggota Biasa lebih 400 ,tapi kurang dari 600 anggota mendapat hak empat suara.
Masalah besar yang akan muncul di kongres adalah soal suara empat provinsi di Papua. Seharusnya, karena sudah dibentuk artinya sudah ada pengakuan eksistensinya.
Berapa pun anggotanya sudah berhak berhak mendapat satu suara di kongres. Tetapi hanya lantaran dipimpin Plt atau pelaksana tugas, suara anggota di Papua mau dieliminasi.
Lalu, yang memiliki anggota Biasa lebih dari 600, tapi kurang dari 800, mendapat lima suara. Seterusnya, yang memiliki anggota Biasa lebih 800, tapi kurang dari 1.000 mendapat hak enam suara. Paling akhir, provinsi yang memiliki anggota Biasa lebih 1.000 orang berhak memiliki tujuh suara.
Dengan jumlah total anggota Biasa PWI sekitar 15.000 orang berada di 34 provinsi pada kongres PWI di Solo, jumlah suara yang diperebutkan di kongres, ada sebanyak 73 suara.
Hasil penghitungan suara antara dua kandidat ketua umum yang bertarung waktu itu, yakni Atal S. Depari dan Hendry Ch Bangun adalah: Atal meraih suara terbanyak 38 suara, sedangkan Hendry: 35 suara.
Bagaimana peta hak suara sekarang? Inilah yang sering ditanyakan banyak anggota PWI seperti terpantul dalam perbincangan di grup-grup WhatsApp PWI. Tapi, pertanyaan itu tidak kunjung terjawab.
Ketika saya tanya, Sekjen PWI Mirza Zulhadi mengatakan rekapitulasi lengkap hasil penghitungan suara itu akan dimuat di Buku Panduan Kongres. “Untuk masing-masing provinsi data hak suara mereka sudah dikirim. Dan mereka tidak perlu tahu berapa hak suara provinsi lain,” jelas Mirza.
Dia mengakui memang ada penambahan empat cabang/provinsi baru—sesuai ketentuan dalam Peraturan Pemerintah. “Tapi, apakah empat PWI provinsi baru (di Papua) itu nanti sudah memiliki hak suara, para peserta kongres lah yang menentukannya,” tambah Mirza.
Kenapa hasil rekapitulasi suara terbaru itu tidak diumumkan atau dirilis saja?
Mirza mengatakan, waktu Kongres Solo juga tidak ada informasi tentang rekapitulasi peta hak suara. Para peserta atau pendukung kandidat Ketum PWI mencari sendiri informasi tersebut.
“Saya kira pencantuman data rekapitulasi suara di Buku Panduan seperti yang dilakukan di kongres sekarang, sudah satu kemajuan dibandingkan kongres sebelumnya,” ujar mantan ketua PWI Jawa Barat itu.
Dia agaknya lupa. Bahwa di Kongres Solo dulu kubu ketua umum yang sekarang memimpin PWI adalah pihak yang gencar mengampanyekan penerapan teknologi digital. Dan sunnatullah bagi yang faham. Keniscayaan digitalisasi, tak terelakkan, selalu bermisi transparansi.
Apa pun dalihnya, demi kepentingan edukasi dan informasi bagi anggota, seyogianya informasi peta suara itu tidak dirahasiakan. Menanggapi hal itu, Sekjen Mirza Zulhadi mengatakan jika itu mau dilakukan itu semua menjadi wewenang SC alias Steering Committee kongres, yang diketuai Zulkifli Gani Ottoh (biasa dipanggil Zugito). Ia juga ketua Bidang Organisasi PWI Pusat.
Jawaban Sekjen PWI memantik pertanyaan. Bukankah figur ketua SC itu, jika merujuk rekomendasi Surat Keputusan (SK) Dewan Kehormatan (DK) PWI Pusat no:44/SK/DK-PWI/X/2022 tanggal 3 Oktober kepada Ketua Umum PWI Pusat, sebenarnya berstatus sebagai anggota pengurus yang dikenakan sanksi skorsing selama setahun karena telah melanggar PD/PRT dan KPW PWI?
Mengapa rekomendasi sanksi DK terhadap Zugito yang direkomendasikan DK tidak ditindaklanjuti Ketum PWI?
Dan bukan rekomendasi DK terhadap Zugito saja yang diabaikan. Ada lagi yang paling menghebohkan warga PWI. Itulah rekomendasi DK untuk pemberhentian Basril Basyar (biasa dipanggil BB) sebagai anggota PWI.
Melalui SK no 50/SK/DK-PWI/2023 tertanggal 9 Januari 2023, DK merekomendasikan pemberhentian BB karena rangkap jabatan sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil). Ia dinilai DK telah melanggar aturan KPW pasal 16 ayat 2. Isi pasal itu melarang PNS menjadi wartawan.
SK DK ini juga tidak ditindaklanjuti Ketum PWI. Selain status PNS, BB juga melanggar aturan hanya boleh dua kali menjabat di posisi sama.
Nah, itulah permasalah krusial yang bagai duri dalam daging di tubuh kepengurusan PWI periode 2018-2023. Ada
silent dispute. Sengketa diam-diam antara jajaran pengurus PWI Pusat yang dipimpin Bang Atal dengan jajaran pengurus DK PWI Pusat yang dipimpin H. Ilham Bintang.
Bukan sengketa pribadi antara kedua pemimpin PWI itu. Saya tahu keduanya bersahabat. Ilham Bintang adalah pendukung Bang Atal di Kongres Solo. Ia memberikan satu hak suaranya sebagai Ketua DK kepada Bang Atal.
Yang sekarang terjadi kayaknya lebih tepat disebut sebagai sengketa organisatoris yang muncul karena adanya perbedaan tafsir di antara mereka dalam melaksanakan tupoksi masing-masing di PWI. Tapi mungkin juga beda kepentingan dan subyektifitas dalam memimpin jajaran pengurusnya.
Bersama Ilham, di DK ada delapan wartawan senior. Mereka sangat dikenal publik karena reputasi dan aktivitas jurnalistiknya.
Ada Sasongko Tedjo sebagai sekretaris DK. Ditambah para anggota: Karni Ilyas, Tri Agung Kristanto, Rosiana Silalahi, Asro Kamal Rokan, Radja Pane, Nasihin Masha, dan Dhimam Abror (telah mengundurkan diri karena menjadi tim sukses Bacapres Anies Baswedan).
Bersama Bang Atal, duduk juga beberapa wartawan senior. Ada Mirza Zulhadi sebagai sekretaris. Ditambah para ketua bidang: Organisasi diduduki Sugito, Pendidikan: Nurzaman Muchtar, Daerah: Achmad Munir, Advokasi dan Pembelaan Wartawan, Luar Negeri: Abdul Azis, Multimedia dan Teknologi Informasi: Yoko Sari.
Semua mereka adalah aset PWI.
Apa pun, masalah sengketa organisatoris akibat rekomendasi sanksi DK PWI tidak dilaksanakan Ketua Umum PWI Pusat mendesak untuk diselesaikan dengan tuntas oleh forum Kongres PWI Bandung.
Sebab kalau ihwal ini tidak tuntas selesai, ia merupakan cacat serius bagi PWI, organisasi wartawan tertua dan sudah melahirkan banyak wartawan yang akhirnya menjadi tokoh pers dan tokoh masyarakat.
Kembali ke masalah krusial di PWI. Apa sebenarnya pertimbangan dan dasar Ketum PWI tidak melaksanakan rekomendasi SK DK? Sampai sekarang belum jelas.
Bang Atal sendiri belum pernah memaparkan alasan dan pertimbangannya. Mungkin di forum kongres dia bisa membeberkan tuntas alasan dan pertimbangannya yang berbasis aturan organisasi. Yakni, PD/PRT dan KPW PWI.
Merujuk bab tentang sanksi organisatoris pada PRT PWI pasal 4 dan 5 sudah jelas diatur dan ditetapkan bahwa organisasi dapat menjatuhkan sanksi terhadap anggota karena melakukan pelanggaran KEJ dan KPW PWI.
Pasal 5 ayat 1 menyebutkan: “Peringatan keras, pemberhentian sementara, atau pemberhentian penuh sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (2a, 2b dan 2c) ditetapkan oleh Dewan Kehormatan dan disampaikan kepada Pengurus Pusat untuk ditindaklanjuti.
Makna diksi “ditindaklanjuti “ dijelaskan dan dipertegas juga dalam Pasal 24 ayat 5 PRT PWI dengan frasa: “untuk dilaksanakan”. Artinya, tidak ada pilihan lain atau tawar menawar.
Lalu, di ayat 2 pasal yang sama dipastikan pula bahwa keputusan DK itu, “bersifat final dan mengikat.” Jadi, jika merujuk aturan organisasi rekomendasi SK DK terkait sanksi terhadap anggota yang dinilai melanggar KPW, PD/PRT dan KEJ harus dilaksanakan Ketum PWI.
Jika tidak, maka Bang Atal bisa dinilai telah mencuatkan semacam pembangkangan terbuka pada aturan organisasi PWI.
Penegakan Aturan OrganisasiMasalahnya mendasar. PWI adalah organisasi profesi. Sejak berdiri sekitar 77 tahun lalu telah dilengkapi dengan aturan etik (KEJ) dan aturan organisasi (PD/PRT). Aturan organisasi menetapkan pembagian tugas.
Antara pelaksana jalannya roda organisasi oleh jajaran pengurus yang dipimpin ketua umum. Dan jajaran Dewan Kehormatan yang dipimpin seorang ketua yang bertugas menilai dan mengawasi penaatan KEJ, PD/PRT dan belakangan KPW.
Dari tahun ke tahun aturan organisasi PWI terus disempurnakan mengikuti dinamika perkembangan zamannya. Tujuannya adalah agar secara paralel dan komplementer keduanya bisa memupuk dan mengembangkan kesadaran, kepribadian wartawan Indonesia menjadi wartawan taat KEJ dan PD/PRT, taat hukum dan konstitusi. Ini agar mereka bisa berperan dalam mewujudkan kemerdekaan pers yang profesional, bermartabat dan beradab.
Malah, pasca reformasi, terjadi perubahan besar jagat media akibat masuknya internet. Diiringi kemudian oleh penetrasi teknologi digital. Kedua unsur itu mendorong lahirnya media sosial. Terjadilah disrupsi dan lanskap media pun berubah.
Media sosial kian dan terus menyaingi media arus utama dalam penyampaian informasi publik. Peran media lama dan wartawannya mulai digeser oleh media sosial dan warga netnya.
Realitas ini makin memarjinalkan posisi dan marwah wartawan dan kewartawanan. Maka untuk mencegah degradasi posisi dan untuk menjaga kredibilitas wartawan di mata publik, Dewan Kehormatan dan Pengurus PWI Pusat (periode 2013-2018) sepakat menginisiasi lahirnya aturan baru: Kode Perilaku Wartawan (KPW). Kongres PWI ke-24 di Solo kemudian mengesahkannya.
Posisi KPW disetarakan dengan PD/PRT dan KEJ PWI. Atau seperti dicantumkan dalam Pendahuluan atau Mukadimah KPW, “KPW merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari PD/PRT dan KEJ PWI.”
Dengan memiliki KPW, PWI secara substansial sebenarnya sudah makin mempertegas dan melengkapi dirinya untuk berkiprah sebagai organisasi wartawan modern, profesional, independen dan berintegritas.
Ini karena melalui 28 pasal yang dicantumkan di KPW, wartawan PWI dalam menjalankan tugas operasional benar-benar dipandu dan diarahkan untuk berperilaku sebagaimana sejatinya wartawan profesional.
Ada tambahan kewajiban bagi wartawan ketika bertugas di lapangan. Antara lain, wajib melindungi dan menjunjung hak-hak anak, wajib melindungi kepentingan publik, wajib patuh pada KEJ, memiliki dan memenuhi standar kompetensi wartawan.
Selain itu ada pasal yang mengharuskan wartawan benar-benar fokus menjadi wartawan. Tidak boleh merangkap jabatan dan posisi, misalnya, sebagai PNS/ASN, aparat TNI dan Polri. Atau merangkap pekerjaan atau profesi lain yang bisa berbenturan dengan kepentingan dan prinsip kewartawanan.
Terkait posisi dan hubungan KPW dengan PD/PRT dan KEJ, pasal 3 ayat 3 KPW menyebutkan bahwa KPW menjadi “standar pengukuran dalam penaatan dan kepatuhan terhadap KEJ, PD/PRT serta sebagai peraturan PWI lainya.” Maknanya, KPW bisa makin mendorong dan memperkuat para wartawan untuk mematuhi dan menaati aturan KEJ dan PD/PRT PWI.
Pemberlakuan KPW sesungguhnya merupakan sebuah progres dan pencapaian bagi seluruh insan PWI. Agar para wartawannya bisa lebih tertib dan terjaga perilakunya ketika menjalankan tugas di lapangan.
Dan yang juga penting, wartawan tidak lagi merangkap-rangkap jabatan. Dia fokus di profesinya. Mereka jadi lebih mudah bekerja secara independen.
Sebenarnya secara substansial KPW diperlukan untuk mengangkat marwah dan kredibilitas PWI. Tapi, mungkin karena makna substansial dan aturan sebanyak 28 pasal dalam KPW itu kurang disosialisasikan dengan baik kepada semua pemangku kepentingan di PWI maka ketika aturan KPW dilaksanakan, muncul pelbagai reaksi atau semacam penolakan dari segelintir anggota dan pengurus PWI.
Tak bisa lain, di antaranya datang dari mereka yang terkena dan merasa menjadi korban aturan baru itu. Ada pengurus yang menolak dan menafikannya dengan alasan KPW itu belum disahkan Kongres Solo.
Padahal, Bang Atal sendiri, pasca terpilih, sudah menegaskan bahwa semua wartawan anggota PWI harus tunduk dan menaati aturan KPW.
“Semenjak ditetapkan pada kongres di Solo tahun 2018, maka KPW sudah diberlakukan,“ katanya, seperti diberitakan situs
auranews.co.id, 9 Oktober 2020.
Secara spesifik, Bang Atal malah menyebut satu pasal dalam KPW. Yaitu pasal 16 ayat 2 yang menyatakan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan status sebagai pegawai tetap tidak dapat menjadi wartawan.
Malah dia menambahkan, “bagi anggota PWI yang sudah menjadi ASN (Aparatur Sipil Negara), maka dengan sendirinya dia sudah terlepas dari keanggotaan PWI.”
Sayang, pernyataan dan sikap tegas itu tidak secara konsisten dilaksanakan Bang Atal. Pada kasus Basril Basyar, misalnya, dia awalnya menerima komplain DK bahwa BB adalah masih seorang PNS ketika terpilih sebagai ketua PWI Sumbar pada Konferensi Provinsi tanggal 23 Juli 2022.
Maka setelah rapat dengan DK tanggal 4 Agustus 2022, dia setuju mengeluarkan SK tertanggal 12 Agustus 2022 yang menunda pelantikan BB sampai yang bersangkutan resmi mengundurkan diri sebagai PNS. Pengunduran diri sampai terbitnya SK dari BKN (Badan Kepegawaian Negara).
Sambil menunggu proses pengunduran diri BB, Ketum PWI Pusat mengangkat Wasekjen R, Suprapto sebagai Plt Ketua PWI Sumatera Barat selama 6 bulan.
Tapi, belum masuk tenggat enam bulan, pada 18 Desember 2022 BB menyiarkan surat terbuka. Isinya mempersoalkan SK DK dan menyalahkan SK itu yang dinilainya telah berlaku sewenang-wenang kepadanya.
Inilah, katanya, yang menyebabkan dia tidak kunjung dilantik PWI Pusat. BB juga sempat bertemu dengan Bang Atal dan meminta Ketum PWI itu mengabaikan saja SK DK.
Sayup-sayup terdengar, Bang Atal sudah menyerah pada BB. Dia berencana melantik Ketua PWI Sumbar terpilih, meski pun sebenarnya pengunduran dirinya belum disahkan BKN.
Manuver mereka dipantau pengurus DK. BB dinilai tidak serius mundur sebagai PNS. Maka pada tanggal 9 Januari 2023, DK mengeluarkan rekomendasi keputusan yang meminta Bang Atal memberhentikan BB.
Sama dengan yang terjadi pada Zugito, Bang Atal kembali menyeruak mengabaikan SK DK. Pada tanggal tanggal 13 Januari 2023 dia resmi melantik BB sebagai ketua PWI Provinsi Sumbar.
Kehebohan pun kembali terjadi. Tapi tetap, tidak ada penjelasan resmi yang komprehensif dan merujuk aturan organisasi dari Ketum PWI Pusat atas langkah kontroversialnya itu.
Yang jelas, preseden buruk telah terjadi. Seorang Ketum PWI Pusat tanpa argumentasi yang jelas mengabaikan aturan organisasi terkait sanksi yang sudah ditetapkan dan direkomendasikan DK PWI Pusat.
Sidang Pleno Kongres dengan agenda penyampaian LPJ baik oleh Ketum PWI Pusat maupun Ketua DK PWI Pusat akan memeriksa ihwal krusial itu.
Pimpinan Sidang yang cekatan, netral dan objektif,
Insyaallah, akan memandu diskusi antar wakil peserta dari 38 PWI Provinsi yang mengikuti kongres.
Untuk menentukan pihak mana dari yang terlibat sengketa organisatoris tadi yang benar-benar menegakkan aturan organisasi secara obyektif dan pihak mana yang secara subyektif menabrak aturan organisasi.
BERITA TERKAIT: