Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Dilema Cita Hukum dan Realitas dalam Masyarakat

OLEH: ROMLI ATMASASMITA*

Kamis, 14 September 2023, 15:53 WIB
Dilema Cita Hukum dan Realitas dalam Masyarakat
Gurubesar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Prof Romli Atmasasmita/Net
MEMBACA dan mengamati praktik hukum hari ke hari baik di tahap penyidikan, penuntutan maupun peradilan pidana saat ini masih tampak beberapa praktik hukum yang lebih mengutamakan kekuasaan daripada hukum.

Bahkan lebih parah di mana hukum digunakan sebagai alat (tool) saja dari kekuasaan sehingga yang tampak kezaliman, terutama jika ditujukan terhadap mereka yang lemah dari segi sosial dan ekonomi.

Dalam hal ini, praktik hukum tersebut tampak kasat mata seperti terjadinya “hostile take over” dalam persaingan korporasi oleh pemegang saham mayoritas terhadap pemegang saham minoritas dan pengambilalihan SHM dari pemilik asli kepada orang tidak berhak, yang ditengarai terjadi melalui percaloan tanah yang saat ini tumbuh subur bagai jamur di musin hujan.

Percaloan hukum/perkara ini akhir-akhir ini tampak dari bukti persidangan perkara korupsi megaskandal seperti perkara BTS, dan lebih mencolok lagi profesi percaloan juga dilakukan oleh oknum anggota legislatif termasuk oknum penegak hukum.

Maraknya judi online dan pinjaman dana via online (Pinjol) telah mengakibatkan korban-korban anggota masyarakat yang tidak berdosa.

Praktik yang telah terjadi lama baru diungkap sekarang dan kegiatan-kegiatan liar seperti itu bukan tidak ketahuan, akan tetapi telah tumbuh subur karena kongkalikong dengan oknum penegak hukum.

Bertolak dari fakta sosial tersebut, muncul suatu dilema mengenai cita hukum dan realita hukum yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dilema antara cita hukum dan realita hukum menimbulkan ketidakpastian hukum, dan ketidakadilan bahkan tidak juga memberikan kemanfaatan terbesar bagi korban maupun masyarakat luas.

Apa yang kita (awam hukum) ketahui tentang hal tersebut belum terlambat, solusi konkret yang dapat disiapkan dan dilaksanakan menjadi suatu solusi permanen.

Praktisi hukum dalam kenyataan sehari-hari tidak lagi optimis menjalankan profesinya, kecuali bersikap pasif dan skeptis terhadap upaya-upaya pembaruan hukum karena semakin banyak produk peraturan perundang-undangan semakin tidak jelas lagi mana yang asas dan mana yang norma.

Semakin tidak jelas lagi apa yang menjadi tujuan peraturan-peraturan tersebut. Dalam contoh dapat disebutkan tentang ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP mengenai asas legalitas yang dalam KUHP baru 2023 telah dikesampingkan menjadi bukan lagi satu-satunya asas hukum pidana yang bersifat absolut dikarenakan hakim tidak lagi diwajibkan mematuhi asas legalitas jika ditemukan dalam suatu kasus bahwa, terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan.

Hakim wajib mendahulukan keadilan sebagaimana tercantum dalam Pasal 53 ayat (2) KUHP 2023: Jika dalam menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hakim wajib mengutamakan keadilan.

Dalam konteks ketentuan tersebut, Pasal 2 ayat (1) KUHP 2023 menyatakan: ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (l) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam undang-undang ini.

Ketentuan Pasal 2 ayat (1) KUHP 2023 jelas telah mengakomodasi paham hukum, sociological jurisprudence dan pragmatic-legal realism yang tumbuh dalam perkembangan hukum di negara penganut sistem hukum common law, dan sekaligus telah mengubah paham yang dianut selama ini, yaitu asas legalitas dalam sistem hukum pidana nasional.

Bagi seorang Hakim, ketentuan baru dalam KUHP 2023 sangat membingungkan sekalipun telah dicantumkan dalam Pasal  5 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Sejatinya dari ketentuan tersebut, diharapkan tidak terjadi kesenjangan yang terlalu besar antara cita hukum dan realita hukum, dan dalam kajian penulis. Hal tersebut dapat diwujudkan jika lembaga penegakan hukum memahami sungguh-sungguh maksud dan tujuan serta cita hukum sebagaimana dicantumkan di dalam Mukadimah UUD 45.

Kita masih berharap Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK masih tegak lurus dan dapat mengaktualisasikan dan mempersempit kesenjangan antara cita hukum dan realita hukum.

Sampai saat ini, petinggi di ketiga lembaga penegak hukum masih berkomitmen dan solid serta memiliki keseriusan untuk segera menuntaskan kasus-kasus tersisa yang tengah diharapkan masyarakat luas.

Pilar negara hukum kini tengah mengalami kegamangan karena dihadapkan kepada respons masyarakat yang terkadang berlebihan (overreacted) terhadap kasus-kasus korupsi yang melibatkan penyelenggara negara.

Opini publik yang tersebar di media sosial justru memperkeruh penegakan hukum yang pada gilirannya merugikan pencari keadilan.

Kegamangan ini telah menggeser lebih jauh keadilan, tidak lagi tegak lurus berdasarkan kebenaran dan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, melainkan pada popularitas dan opini publik yang maha benar. rmol news logo article

*Penulis adalah Gurubesar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
EDITOR: DIKI TRIANTO

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA