Politainment tampaknya diilhami infotainment, program hiburan yang menyorot kehidupan artis dan kalangan selebriti yang marak pertengahan tahun 90-an.
Lihatlah, layar televisi kita dan berbagai saluran informasi di media digital. Politainment kini mendominasi media sosial, media mainstream media
online dan program
news televisi berita di Tanah Air.
Dalam format
breaking news,
hard news maupun
talkshow. Apalagi di tahun politik sekarang. Istilah kawin (koalisi) kemudian cerai (batal koalisi) juga mewarnai politainment sekarang, seperti juga di infotainment.
Alex Kumara Penemu Infotainment Merujuk riwayatnya, infotainment sebenarnya juga istilah "sekenanya". Penemunya almarhum Alex Kumara. Tokoh pertelevisian Indonesia terkemuka itu menemukan infotainment di masa menjabat Direktur Operasional
RCTI. Infotainment sebuah nama untuk memudahkan marketing/pemasang iklan di dalam industri televisi.
Waktu itu, Alex ingin
RCTI punya acara berbasis "Gosip Show" ala televisi Amerika. Saya diajak bicara untuk merealisasi acara tersebut. Sebelumnya, saya memang sudah punya program informasi hiburan bernama “Buletin Sinetron” (1994) di
RCTI. Program itu berisi informasi pelbagai informasi dunia sinetron dan artis-artisnya.
Saya menyetujui ide Alex tetapi menolak programnya diberi label "gosip show". Saya menerangkan alasannya panjang lebar. Terutama dampak penggunaan kata gosip yang tidak bisa dipercaya alias
hoax.
Sedangkan konsep yang saya usulkan adalah berita hiburan, ringan tapi justru disajikan dengan prinsip kerja jurnalistik.
Basic-nya: fakta. Bahwa banyak menganggap acara itu gosip, saya tahu karena pembahasan seputar kehidupan selebriti sudah terlanjur dilabeli dengan istilah gosip.
Sedangkan konsep saya konten infotainment harus dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Alex pun mengerti. Lahirlah program
Cek & Ricek di tahun 1997. Awalnya nama program itu sempat ditolak pihak
RCTI dengan alasan namanya justru terlalu berat, serius, lebih bernuansa istilah politik.
Terlalu berat ke istilah berita. Sedangkan
RCTI dan seluruh televisi swasta dilarang membuat berita masa itu. Program
news di TV swasta hanya boleh menayangkan berita dengan mengambil/ me-
relay dari
TVRI.
Singkat kata akhirnya
RCTI setuju dengan nama program yang saya ajukan. Program
Cek & Ricek saya riset dan bikin demonya pada tahun 1996, namun tayangnya setahun kemudian. Dicoba sekali sepekan. Episode perdana tayang 1 Agustus.
Di luar dugaan respons pemirsa melampaui prediksi. Pihak
RCTI pun langsung menambah frekuensi tayangnya menjadi dua kali sepekan. Program dua kali tayang sepekan itu dimulai 24 Agustus 1997, momen itulah saya jadikan hari lahir
Cek & Ricek.
Praktis sejak itu infotainment
booming di stasiun televisi. Semua televisi punya. Berbagai nama dan tayangnya pun
stripping, setiap hari. Hingga kini jumlah jam tayang infotainment masih mengalahkan jam tayang siaran berita di beberapa stasiun televisi.
Versi Stasiun TV Sendiri Kembali ke politainment. Saya juga sebenarnya sempat membuat politainment atas permintaan TV News. Tapi ini tidak bertahan lama. Saya kira Anda pun tahu: masalahnya, pada umumnya pemilik stasiun televisi juga pimpinan partai politik. Ada
conflict of interest. Mereka akhirnya bikin versi sendiri.
Masyarakat pun akhirnya terbiasa mengkonsumsi informasi tentang politikus dengan segala tetek bengeknya dalam kredo “hidup, cinta, dan air mata (pengkhianatan)". Dalam program politainment televisi lebih seru lagi jejak infotainment melekat. Dari visual dan musik OBB (
opening before broadcast) dan CBB (
closing before broadcast) pun dibuat dramatis menyerupai infotainment.
Host politainment pun demikian. Sebelas dua belas dengan infotainment. Intonasi dan artikulasi mirip sekali. Bedanya ini saja: kalau infotainment berbasis artis dan selebriti, sedangkan politainment mengulas para politikus sebagai menu utamanya.
Dalam infotainment, artis yang masih jomblo akan ditanya kapan menikah. Setelah menikah ditanya kapan merencanakan punya momongan (anak). Artis yang sudah
married tapi jalan sendiri, mulai dicurigai sesuatu telah terjadi dalam rumah tangganya. Namun anehnya, kelak, pasangan itu akhirnya memang bercerai karena ada masalah.
Hampir sama dengan di dunia politik. Alasan “ ketidakcocokan semata” atau ada penghianatan satu atas yang lain bisa berminggu-minggu diulas karena fakta-fakta yang muncul kemudian memang menarik. Apalagi
rating/share audience alias pemirsa yang menonton memang banyak.
Di kalangan kru infotainment biasa mereka bertaruh. Misalnya, berapa lama pasangan artis yang telah menikah bisa mempertahankan rumah tangganya. Apa beda dalam politainment yang mengulas soal masa bertahan suatu koalisi, sampai “perceraian” Anies Baswedan dengan Agus Harimurti Yudhoyono?
"Perceraian" Anies-AHY meledak akhir Agustus dan dampaknya masih diulas hingga sekarang. Dalam infotainment biasanya redaksi akan menetapkan sekitar 25 nama artis terkenal yang diprediksi akan mendominasi informasi seputar kehidupan selebriti dalam setahun.
Seperti itu agaknya yang terjadi di politainment. Jokowi, Prabowo, Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Megawati, SBY, Agus Harimurti Yudhoyono, Airlangga Hartarto, Ahmad Syaikhu, Erick Thohir, Sandiaga Uno, Ridwan Kamil, Muhaimin Iskandar bukankah sudah berbilang tahun politainment isinya mengulas tokoh-tokoh saja. Sesekali mencuat nama Yenny Wahid, Gibran Rakabuming, di antaranya.
Di dunia infotainment, institusi polisi, pengadilan, KUA, kafe, kantor
lawyer menjadi lokus sebagian kisah yang disajikan. Di politainment juga demikian, MK, kantor polisi, kejaksaan, kantor
lawyer dan kafe. Hampir tiada beda.
Bagaimana dengan
rating dan
share audience program politainment menurut survei AGB Nielsen? Pertanyaan ini diajukan karena itu satu-satunya parameter mengukur minat publik mengonsumsi program politainment tersebut.
Di infotainment betapapun pemirsa televisi mengalami penurunan di era disrupsi media, masih banyak infotainment yang meraih dua digit untuk
share audiens-nya. Menggunakan parameter sama, politainment tampaknya masih harus berjuang lebih keras lagi.
Itu yang menjelaskan mengapa kita sulit mencerna hasil survei lembaga
polling mengenai elektabilitas tokoh-tokoh politik. Lembaga
polling seperti bergerak sendiri yang respondennya bukan dari masyarakat yang sama dan nyata yang dirujuk oleh survei AGB Nielsen.
Survei-survei itu memang menggunakan metodologi ilmiah, namun masih banyak yang hasilnya menghina akal sehat publik. Keluhan itu juga diutarakan sejumlah politisi dan pimpinan parpol.
Dengan "kemiripan" yang ada antara infotainment dengan politainment, sebagaimana kita menonton infotainment sekadar untuk mencari hiburan, menonton drama politik pun sejatinya tak perlu disikapi dengan serius. Boleh serius, tapi santai. Tidak usah gaduh.
Penulis adalah Wartawan Senior
BERITA TERKAIT: