Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Ramos Horta dan Ramalan Kejatuhan Soeharto

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/teguh-santosa-5'>TEGUH SANTOSA</a>
OLEH: TEGUH SANTOSA
  • Selasa, 08 Agustus 2023, 01:04 WIB
Ramos Horta dan Ramalan Kejatuhan Soeharto
Penulis (kanan) dalam pertemuan dengan Presiden Timor Leste Ramos Horta di Hotel JS Luwansa, Jakarta, Senin (7/8)./RMOL
TIGA tahun sebelumn wawancara dengan CNN di bulan Mei 1995, Ramos Horta telah meramalkan Orde Baru akan tumbang dan Soeharto akan jatuh dari kekuasaannya. Menurut perhitungannya, Orde Baru akan hancur karena korupsi yang semakin menjadi, salah kelola, dan legitimasi rejim yang semakin jeblok.

Setelah Orde Baru tumbang, lanjut Horta, barulah pembicaraan mengenai kemerdekaan Timor Leste akan lebih mudah dilakukan.

Ramos Horta yang kini Presiden Timor Leste menceritakan kisah ini ketika berbicara dalam Dialog Demokrasi yang digelar Center for Strategic and International Studies (CSIS) di Tanah Abang, Jakarta, Senin siang (7/8).

Lahir di Dili, 26 Desember 1949, Ramos Horta dilantik sebagai presiden ke-5 Timor Leste di bulan Mei 2022 lalu. Ini adalah kali kedua ia menjabat sebagai presiden Timor Leste. Sebelumnya pada periode 2007-2012.

Ramos Horta yang menerima Nobel Perdamaian bersama Uskup Ximenes Belo tahun 1996, juga pernah menjabat sebagai Perdana Menteri Timor Leste untuk waktu yang cukup singkat, dari bulan Juni 2006 sampai Mei 2007.

Di bagian awal kuliah umum di CSIS, Ramos Horta menceritakan pembicaraannya dengan dua pejabat Indonesia menjelang berakhirnya kekuasaan Portugis di Timor Leste pada pertengahan 1970an. Pertama, Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Brigjen Elias Tari, dan kedua, Menteri Luar Negeri Adam Malik.

Saya mendapatkan naskah kuliah umum itu saat bertemu Ramos Horta di Hotel JS Luwansa, Senin malam (7/8). Dalam pertemuan yang difasilitasi Duta Besar RDTL untuk Indonesia Filomeno Aleixo da Cruz, kepada Ramos Horta saya menyerahkan dua buku yang baru saya luncurkan, “Perdamaian yang Buruk, dan Perang yang Baik” dan “Buldozer dari Palestina”. Kedua buku itu berisi wawancara dengan duta besar negara sahabat di Jakarta, termasuk Dubes Filomeno Aleixo.

Pada bulan Juni 1974, sebagai Menteri Luar Negeri yang ditunjuk Front Revolusi untuk Kemerdekaan Timor Leste atau Fretelin, Horta melakukan perjalanan ke Jakarta untuk mencari tahu sikap Indonesia pada upaya Timor Leste melepaskan diri dari Portugis yang berkuasa di sana sejak abad ke-16.

Di tahun 1974 itu, Portugis sedang menghadapi krisis besar. Revolusi Anyelir yang terjadi di bulan April berhasil menekan diktator Portugis dan melahirkan era demokrasi. Situasi inilah yang dimanfaatkan Timor Leste sebagai momentum untuk merebut kemerdekaan.

Dari Dili, Horta singgah di Kupang dan bertemu Gubernur Elias Tari.

Kepada Horta, El Tari mengatakan, “Terserah pada rakyat Timor Portugis untuk memutuskan masa depan apa yang mereka inginkan.”

Lalu El Tari membelikannya tiket ke Jakarta untuk bertemu Menlu Adam Malik.

Dalam pertemuan dengan Adam Malik, Horta juga menyampaikan keinginan Timor Leste bergabung dengan ASEAN setelah merdeka dari Portugis.

Sebelum Horta meninggalkan Jakarta, Menlu Adam Malik menyerahkan sepucuk surat yang isinya, pertama, menegaskan bahwa bagi Indonesia kemerdekaan adalah hak setiap bangsa, tanpa terkecuali bangsa Timor Leste.

Kedua, pemerintah dan rakyat Indonesia tidak memiliki keinginan untuk memperluas teritori atau menduduki teritori negeri lain. Ketiga, siapapun yang berkuasa di Timor Leste, pemerintah Indonesia akan tetap menjalin hubungan baik dengan Timor Leste.

Di dalam surat itu, Menlu Adam Malik juga meminta Horta menyampaikan salamnya kepada rakyat Timor Leste.

Dubes Filomeno Aleixo mengirimkan copy surat itu kepada saya. Katanya, Ramos Horta juga memperlihatkan copy surat itu pada hadirin yang memenuhi ruang pertemuan di CSIS.

Berbekal surat itu, Ramos Horta pun kembali ke Dili dengan hati berbunga. Dia yakin upaya Timor Leste mendapatkan kemerdekaan akan lebih mudah dengan dukungan Indonesia.

Namun, setahun kemudian sikap Indonesia berubah. Di awal Desember 1975 Indonesia menduduki Timor Leste, dan menjadikannya provinsi ke-27.

Perubahan sikap Indonesia yang mengecilkan nyali Ramos Horta dan kawan-kawannya. Dia yakin, seperti yang terjadi pada Portugis, kekuasaan Indonesia di Timor Leste pun tidak akan abadi. Keyakinan itulah yang disampaikannya dalam wawancara dengan CNN di bulan Mei 1995.

“Seperti yang saya prediksi, dua atau tiga tahun kemudian Orde Baru runtuh. Di tahun 1999 referandum digelar, dan di tahun 2002 Timor Leste merdeka,” kata Ramos Horta lagi.

Krisis politik di Indonesia pada periode 1998/1999 itu memang sangat mengkhawatirkan. Tidak sedikit pengamat yang memperkirakan Indonesia akan bernasib serupa Uni Soviet yang bubar tahun 1991. Apalagi setelah referandum di Timor Leste dimenangkan kelompok pro kemerdekaan.

“Indonesia selamat dari pergolakan pasca Orde Baru. Dalam dua dekade sejak itu, Indonesia menjadi pelaku ekonomi terkemuka; dan secara regional dan global menjadi pemimpin yang dihormati. Mungkin tidak sempurna, tetapi masih merupakan demokrasi yang hidup, seperti di India, Filipina, Brasil atau AS,” demikian Ramos Horta. rmol news logo article
EDITOR: JONRIS PURBA

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA