Tidak terhitung jumlah pemimpin atau rezim yang membegal rakyatnya dengan berbagai rupa, itu berakhir tumbang mengenaskan. Akhir hidupnya akan terbegal-begal oleh munculnya amuk kemarahan rakyat meminta pertanggungjawaban. Tidak lewat parlemen yang sekian lama bisu-tuli tak mampu menampung jeritan rakyat ditumpahkan. Pilihan lalu jatuh pada parlemen jalanan. Pilihan untuk meneriakkan kemarahan sekian lama terpendam, lalu ditumpahkan sekencang sekerasnya. Semua itu digerakkan Tuhan.
Membegal jadi cara rezim untuk menghentikan laju demokrasi. Merasa digdaya mampu menaklukkan segalanya. Membegal punya makna luas--merampas, merusak dan seterusnya--dengan konotasi melakukan upaya paksa sesukanya. Merasa tak ada kekuatan yang mampu menghentikan. Menghentikan apa saja yang dimaui-inginkan. Segala cara dilakukan sesukanya, seolah itu kepatutan untuk kepentingan diri dan kelompoknya.
Rezim Jokowi tampak terjebak pada pilihan membegal Anies Baswedan, dan partai politik yang mengusungnya. Seolah itu langkah politik yang dimungkinkan. Hal itu tampak dilakukan pembantu setianya, yang mustahil tak diketahuinya. Kesan pembiaran itu amat terasa. Pertanda restu pun ia berikan. Adalah Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko yang terang-terangan membegal Partai Demokrat. Kasusnya masih bergulir lewat Pengajuan Kembali (PK) di MA.
Moeldoko tak memiliki KTA Demokrat, karena ia tak pernah jadi anggotanya. Cara membegal dipakai untuk bisa jadi ketua umumnya. Tidaklah mungkin nalar mampu menafsir langkahnya itu. Absurd.
Setelah itu membegal Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa, yang juga menjabat Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, dipelorot sebagai Ketua Umum cukup lewat Mukernas, September 2022, bukan lewat Muktamar, forum tertingginya. Digantikan Plt Ketua Umum Muhamad Mardiono, yang dikenal sebagai "orang dekat" Presiden Jokowi. Tidak jelas karena apa Suharso Monoarfa itu diganti, tapi yang jelas agar PPP tidak ikut-ikutan mendukung pencapresan Anies Baswedan. Agaknya langkah Suharso itu terendus, dan karenanya dihentikan.
Membegal Demokrat, itu pun sejatinya untuk menghentikan langkah Anies sebagai salah satu kandidat Capres pada Pilpres 2024. Semua analisa menafsir demikian, itu karena kecenderungan sikap politik Partai Demokrat yang memilih mengusung Anies. Meski saat itu Demokrat belum resmi mencapreskan Anies. Tapi perlu jauh hari pembegalan itu dilakukan sebagai bentuk antisipasi agar Anies tak lolos sebagai salah satu capres.
Lalu perlakuan pada Partai NasDem terang benderang bisa dilihat. Sekjen NasDem Johnny G. Plate, yang juga sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika disoal masalah korupsi BTS. Kasusnya mulai bergulir di pengadilan. Sedang 2 menteri NasDem lainnya yang tersisa sepertinya menunggu giliran untuk juga dicokok dengan sangkaan yang bisa dibuat. Belum lagi bisnis Surya Paloh yang kabarnya turut juga "diganggu". Tapi Surya Paloh tak merasa gentar. Maju pantang mundur untuk menjadikan Anies Capres yang diusung NasDem.
Kerja komisi anti rasuah (KPK) yang terus mengorek-orek adanya unsur korupsi pada penyelenggaraan ajang Formula E, itu seperti dibuat tanpa perlu dihentikan, meski tak ditemukan unsur korupsi di sana. Gelar perkara sampai perlu 19 kali dilakukan, sebuah upaya keras menersangkakan Anies dilakukan. Jika tidak ada unsur korupsi di sana, meski seratus kali gelar perkara dilakukan ya pasti akan sia-sia. Justru memunculkan antipati pada KPK sebagai alat pukul rezim untuk menjerat lawan-lawan politiknya.
Anies yang bukan siapa-siapa, hanyalah mantan Gubernur DKI Jakarta, perlu sampai dikeroyok ramai-ramai. Tidak cukup di situ, perlu pengerahan buzzer yang terus menebar fitnah coba men- downgrade Anies. Meski tak ada hasil bisa didapat, kecuali kepuasan nafsu semata: mengolok-olok Anies.
Ditambah media mainstream yang memframing berita Anies dengan tidak sepatutnya. Tak ketinggalan lembaga survei yang terus merilis hasil surveinya menetapkan Anies di urutan ke-3 hampir di semua lembaga survei yang terindikasi ada aroma istana di sana. Prabowo Subianto lebih mendominasi rilis hampir di semua lembaga survei. Satu dua saja yang menempatkan Ganjar Pranowo di urutan 1. Sepertinya bandul endorse Jokowi pada Prabowo ketimbang pada Ganjar, itu tampak dari hasil rilis survei, seperti perlu disesuaikan dengan kehendak si pemesan
Begal-membegal Anies dan partai pendukungnya, NasDem, Demokrat, dan PKS yang tergabung dalam Koalisi Perubahan untuk Persatuan, sepertinya tak akan disudahi sampai perhelatan Pilpres 2024. Justru akhir-akhir ini tampak makin mengganas. Tawaran Perubahan dari Anies Baswedan dan partai pengusungnya, seperti jadi momok menakutkan bagi rezim. Maka, apa yang tercetus dari seorang menteri yang baru diangkat menggantikan Johnny G. Plate, "... kalau 2024 tidak menang, semua akan masuk penjara...", agaknya itu yang ditakutkan. Bukan takut berakhir dibegal Tuhan, yang justru jika itu terjadi sungguh akan lebih mengerikan!
*Penulis adalah seoramg kolumnis
BERITA TERKAIT: