Kalau kemudian, terdapat sekurangnya terdapat sepuluh undang-undang yang akan disatukan ke dalam RUU Kesehatan, hal terpenting yang perlu dipastikan adalah terpenuhinya kepentingan publik secara menyeluruh.
Pemangku kebijakan kini seolah tengah gandrung pada formula omnibus, seakan menjadi panacea -obat mujarab persoalan yang kita hadapi secara
cespleng.
Kesederhanaan, sesungguhnya adalah sebuah kerumitan, dalam makna filosofis. Dalam konteks ilmiah, terdapat prinsip
parsimony, yang menyatakan bahwa sebuah penjelasan sederhana mampu merangkum seluruh kompleksitas secara logis.
Dengan itu, teori relativitas Einstein hanya ditulis E=m.c2, padahal untuk sampai pada kesimpulan yang terlihat mudah, ada proses panjang yang menyertainya. Omnibus tidak demikian, prinsipnya gabung dan lebur, transaksi tukar tambah pasal. Padahal esensi terpenting adalah hajat publik.
Dalam globalisasi era modern, memang ada kepentingan deregulasi dan debirokratisasi. Hal-hal tersebut perlu diupayakan, untuk menciptakan efektifitas dan efisiensi. Jalur yang ditempuh bertahap, perlu mengakomodasi aspirasi berkembang, sebab akan membentuk sebuah peraturan baru.
Meski pro-kontra adalah hal biasa, tetapi mencermati 243 halaman usulan RUU Kesehatan, yang memuat 478 pasal di dalamnya, jelas tidak mudah. Terlebih bila menghitung efek panjang setelahnya. Seperti kebutuhan pembentukan banyak perangkat teknis, dari PP hingga Permenkes.
Usai Public Hearing (?)Guliran bola RUU Kesehatan telah kembali ke para anggota legislatif. Pemerintah telah melengkapi hasil penjaringan informasi dari publik, dikenal sebagai
public hearing. Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) telah dikonsolidasi dan diklasifikasi pemerintah, masuk ke meja anggota dewan terhormat.
Sesuai dengan keterangan kementerian kesehatan, didapatkan 6.011 masukan melalui partisipasi publik, dan 75% diantaranya telah ditindaklanjuti. Prosesnya berlangsung dari 13-31 Maret 2023. Terdapat 115 kegiatan, dengan 1.200 stakeholder, dan keterlibatan sekitar 72 ribu peserta.
Angka kuantitatif tersebut seolah mengesankan representasi jumlah yang besar. Tetapi ada ruang abu-abu antara pelaksanaan sosialisasi dengan pengambilan keputusan. Jarak yang senjang itu, terlihat dari usulan “ganjil†untuk menghilangkan kewajiban atas komitmen 10% anggaran kesehatan.
Tentu menjadi pertanyaan, ketika semangat omnibus kesehatan adalah perluasan akses bagi kepentingan pelayanan kesehatan bagi publik, disatu sisi lain anggaran kesehatan justru tidak diupayakan untuk dapat terpenuhi. Lalu siapa yang akan menanggung biaya program kesehatan?
Bila kita ingin sampai pada tujuan kemaslahatan yang luas, maka sudah pasti komitmen politik yang konkret tersebut, tercakup pada kapasitas besaran anggaran yang disediakan.
Di Tangan Anggota DewanSebuah kebijakan, sebagaimana konstruksi kasus hukum, merujuk Marcus Cicero, seorang filsuf, harus didekatkan pada konstruksi siapa yang diuntungkan? -
cui bono. Dengan ajuan DIM pemerintah, kita sulit menebak apakah publik yang mendapat keuntungan. Atau ada motif lain?
Posisi akhirnya, akan ditentukan oleh para wakil rakyat yang ada di Senayan. Teramat sulit untuk bisa memberikan basis kepercayaan pada proses tersebut. Terlebih, ketika anggota legislatif kerap kali justru tidak menjadi kanal bagi kepentingan publik, melainkan corong partai politik.
Indikasinya mudah saja, tengok pernyataan salah seorang anggota legislatif yang menyebut bila anggota dewan hanya nurut bosnya masing-masing. Tentu mengecewakan. Meski partai adalah instrumen politik dalam demokrasi, tetapi membebek hanya kepada instruksi ketua partai, justru merendahkan kualitasnya.
Rasanya banyak hal yang belum detail dibahas dalam RUU Kesehatan, seperti bagaimana sistem kesehatan nasional kita akan dibangun? Bagaimana BPJS Kesehatan akan berperan berhadapan dengan defisit anggaran yang kerap dialaminya? Lantas bagaimana bersiap untuk antisipasi situasi pandemi? Seperti apa produksi dan distribusi para tenaga medis dan tenaga kesehatan ke depan?
Pengambil keputusan, baik eksekutif maupun legislatif, harus cermat memperhatikan apa yang akan dirumuskan sebagai peraturan. Disadari atau tidak, kesehatan adalah pangkal dari seluruh kemampuan sumber daya manusia Indonesia, untuk beraktivitas dalam derap pembangunan.
Bila kita tergopoh-gopoh mendorong RUU Kesehatan, tanpa melihat konsekuensi utuh yang terkait dengannya, maka bisa jadi kita justru tengah mempertaruhkan masa depan bangsa ini.
Penulis adalah Pemerhati Komunikasi Politik, Sosial, dan Budaya; Mahasiswa Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
BERITA TERKAIT: