Heroik, namun kita terbukti perlu memiliki oposisi yang tangguh dan tidak mudah dikendalikan kekuasaan.
Bila berkaca pada hasil
quick count Kompas (16/2) dengan data masuk 98,05 persen, diketahui bahwa pemenang pemilihan presiden (pilpres) bukanlah pemenang pemilihan legislatif (pileg).
PDIP bertengger sebagai pemuncak dengan 16,26 persen, sementara partai utama pendukung Prabowo, yakni Gerindra hanya meraup 14,63 persen saja, dan berada di urutan ketiga secara nasional.
Dengan begitu, jika peta legislatif disinkronkan dengan hasil pilpres, setidaknya akan terbagi menjadi tiga klaster: (i) Koalisi Perubahan -PKB, Nasdem, PKS, (ii) Koalisi Keberlanjutan -Gerindra, Golkar, Demokrat, PAN dan (iii) Koalisi PDIP dengan PPP.
Perlu dicermati komposisi perolehan suara setiap koalisi.
Dukungan dari partai yang tidak lolos ambang batas parlemen, direduksi dalam kalkulasi, karena praktik kerja politik akan terkonsentrasi pada ruang dewan di parlemen. Dimulai dari pemangku eksekutif, pengelola pemerintahan dan kepresidenan, koalisi keberlanjutan terakumulasi menjadi 43,11 persen.
Sedangkan, koalisi PDIP plus PPP praktis menghitung suara Banteng, dengan asumsi PPP akan mampu berlayar karena rentang
margin error, menjadi sekitar 20,26 persen. Pada sisi lain, koalisi perubahan di atas kertas memperoleh komposisi suara sebesar 29,12 persen.
Jika pengelompokan koalisi ini berlanjut dalam kancah parlemen, maka dipastikan
landscape panggung politik nasional berubah.
Magnet KekuasaanPernyataan akan merangkul sebagai kerangka rekonsiliasi, merupakan hal yang wajar dari pemenang kontestasi politik. Gula-gula ini selalu menjadi magnet penarik partai yang berseberangan untuk masuk dalam radar orbit dan kutub yang sama dalam poros kekuasaan.
Pada intinya, kekuasaan menawarkan banyak hal bagi partai politik, termasuk tentang kewenangan untuk mengelola sumberdaya struktur jaringan sebagai modal sosial bagi partai, hingga akses finansial. Politik pada tataran ini, hanya menjadi siklus lima tahunan semata dan berbagi kuasa.
Kita boleh jadi kehilangan ruh politik dalam demokrasi, sebagaimana Aristoteles menyebutnya sebagai upaya untuk mencapai kebaikan bersama -
bonum commune. Semakin mendekatkan diri pada konsep menghalalkan segala cara, untuk sampai pada tampuk kekuasaan, layaknya prinsip Machiavelli.
Politik lantas tampak sebagaimana Laswell menyebut, adalah tentang siapa, mendapatkan apa, kapan, dengan cara bagaimana? Bersifat pragmatis, relasi aksi-reaksi yang sementara, karena itu tidak ada kawan sejati kecuali kepentingan yang abadi. Tentu sangat memprihatinkan.
Meskipun banyak catatan pinggir yang diberikan pada pemilu 2024 oleh berbagai kalangan, termasuk mahasiswa hingga guru besar serta masyarakat sipil, akan intervensi proses dan manipulasi dari berbagai keputusan yang dianggap tidak layak, hasil pemilu tetap harus dihormati.
Keterpilihan dalam konteks legal formal terkait hal prosedural, terlihat berjarak dari keharusan untuk mengedepankan martabat dan nilai-nilai keutamaan seperti etika, moralitas, jujur, dan adil.
Salah satu hal penting yang dapat dilihat dari rangkaian aktivitas politik yang dihasilkan pada pemilu kali ini adalah minimnya partai politik yang menjadi suara penyeru dan penyeimbang, oposisi dalam berpikir. Konsolidasi demokrasi tidak terjadi. Penguatan demokrasi tersandera kepentingan elite.
Diksi rekonsiliasi antar elite menguat pasca pemilu, dengan meleburnya berbagai koalisi yang berkontestasi dalam satu gerbong, atas nama “persatuan”.
Kemampuan untuk bersikap skeptis pada kekuasaan, menjadi tumpul. Polarisasi yang mengental saat pemilihan, seketika cair dalam politik akomodasi. Transaksi tukar tambah porsi kekuasaan, terjadi antaraktor dan kelompok.
Setidaknya ada tiga hal penting dalam konteks politik Indonesia yang teramat penting: (i) berhenti untuk memuja figur secara berlebih, terutama ketika mulai dikonstruksi menjadi kultus individu, (ii) oposisi bermakna sebagai mitra berpikir, tidak serempak menyetujui sesuatu, tanpa melihat opsi alternatif yang berbeda, (iii) kekuasaan bisa berwajah demokratis dengan watak otoriter.
Kita tentu berharap ada pihak yang bertindak dalam fungsi
check and balances, agar koridor demokrasi terjaga. Pada banyak kasus, ketiadaan oposisi membuat kekuasaan berjalan serampangan. Terlebih ketika kemudian oposisi tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk mengimbangi kekuasaan.
Tengok film Netflix,
Man on The Run, 2023, sebuah kisah nyata dari tanah Jiran, tentang upaya menggangsir kekayaan negara melalui proyek mercusuar 1MDB. Kongkalikong antar elite politik dan rente ekonomi terjadi. Momentum itu, menyediakan ruang bagi perubahan.
Namun pihak oposisi tidak siap,
baca: gagap atas kekuasaan, dan berperilaku sama dengan elite sebelumnya. Ketidakpuasan lalu kembali muncul di tengah publik, hingga akhirnya cengkraman elit penguasa lama perlahan hadir kembali.
Pemilu 2024 memberikan ruang kesadaran untuk bisa mempersiapkan dan membentuk oposisi berdaya, yang dengan kuat memegang prinsip untuk berjarak dari kekuasaan. Di sanalah tugas kesejarahan dalam kehidupan berbangsa itu dimulai, tepat selepas masa pemilu usai.
Mendewasakan rasionalitas politik publik, jelas membutuhkan teladan. Peran partai politik, lebih dari sekadar kanalisasi suara publik, juga menjadi wadah edukasi yang mencerahkan.
Kita akan melihat siapa saja yang taat asas pada kepentingan publik, atau sekadar menjadi hamba dari kursi kuasa.
Penulis Merupakan Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
BERITA TERKAIT: