Bermula dari kumpulnya lima partai, Golkar, Gerindra, PKB, PPP dan PAN. Mereka sepakat akan membuat KB. Sederet alasan diracik rancak. Yang penting publik yakin. Bisa ngiming-ngiming partai lain untuk gabung.
Taktik ini jitu. Buktinya, PSI langsung kepincut mau gabung. Memang terkesan rai gedek (tidak punya malu), tidak ditawari tapi langsung nyelonong. Seperti kere nemu malem, langsung mau ikut makan.
Dalam khazanah masyarakat kita, koalisi itu mirip-miriplah dengan selamatan. Berkumpul baik-baik untuk bagi-bagi tumpeng. Semua peserta diperlakukan secara adil. Kalau satu duduk di karpet yang lain tidak boleh didudukkan di terpal. Apalagi terpal yang barusan dipakai menjemur gabah, karena bisa gatal-gatal.
Semua mengikuti aturan main. Kapan diujubkan (dibacakan doa), kapan tumpeng diporak (dibagi). Pembagian diatur sebegitu rupa, yang penting semua peserta senang dan kenyang. Tidak ada yang
nggrundel.
Nah, hal ini tidak bisa jadi analog KB. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada para partai itu, KB itu bisa dianalogikan dengan perkumpulan main
teplek. Mereka berkumpul. Kelihatannya
fine-fine saja. Senyum-senyum dulu. Duduk dengan tenang. Tapi semua menyimpan niat untuk menang. Untuk mendapat sebanyak-banyaknya dengan tombokan sekecil-kecilnya.
Mau diramesi seperti apapun, tujuan akhir koalisi untuk Pilpres itu mesti menentukan figur calon presiden dan calon wakil presiden. Sementara di KB ada tiga partai yang sudah punya Capres sendiri. Golkar punya Airlangga Hartarto. Gerindra Prabowo. PKB Muhaimin Iskandar. Mereka ketua umum partai masing-masing.
PAN dan PPP tidak mencalonkan ketua umumnya. Keduanya
mengingsapi eh .. menginsyafi kalau keberadaannya itu seperti ketimun bungkuk. Dijual sendiri tidak laku, tapi setidaknya ya bisa untuk bonus pembeli terong. Kalau untuk bonus beli celana, pasti ditolak. Masalahnya, apa kaitan ketimun dengan celana.
Dalam KB ini, PAN dan PPP seperti orang
nggandol kereta api. Yang penting katut. Tidak apa-apa meski harus duduk di antara dua gerbong kereta. Syukur-syukur nanti kondekturnya kasihan lantas dipersilakan
klesetan di dalam gerbang. Syukur-syukur ada yang kasihan lagi kemudian memberi minum atau pisang godok. Hal itu bukan mustahil. Mereka sangat hebat dalam dramaturgi â€?"kasihanâ€.
Untuk menangDalam dunia permainan
teplek, dari luar kelihatan guyub rukun. Ketawa-ketiwi. Tapi arus besar di dalam pikiran adalah bagaimana mengoptimalkan kekuatan, termasuk tipu muslihat untuk menang. Bagaimana memiting tapi lawan (kawan) merasa dirangkul. Bagaimana lawan (kawan) mati tapi ketawa.
Di sini pujian bisa berarti racun memabukkan. Di sini selimut bisa berubah jadi tirai penikaman. Di sini jarak antara kawanan dan musuhan menjadi nisbi.
Saya menduga, hal itulah yang mendasari Wakil Ketua Umum PKB, Jazilul Fawaid pagi-pagi sudah
warning bahwa membangun KB itu tidak mudah ketika sudah menyangkut Capres dan Cawapres. Fawaid punya
panggraita atau
feeling (mungkin juga berpengalaman).
Demikian pula PDIP dengan
malangkerik berteriak lantang. Mau bergabung kalau Capresnya dari PDIP. Walhasil bisa ditebak, PDIP pasti tidak akan mau bergabung jika hanya untuk mengusung calon di luar partainya. Meskipun Capres itu di-
endorse Jokowi.
Lha kok nyimut kalau PDIP cuma mau dijadikan alat Capres partai lain. Tanpa koalisi pun PDIP sudah bisa nyapres sendiri.
Dalam perkumpulan teplek, banyak orang itu secara kosmik mesti ada yang kalah, ada yang menang dan ada pula yang impas. Tidak ada kok harus menang semua. Kalau mau menang semua, untuk nomboki apa duit gambar Bagong?
Perkumpulan
teplek itu biasanya berakhir kalau waktunya habis, atau ada
obrakan polisi. Bisa juga bubar sendiri di tengah mainan karena pesertanya saling jotos-jotosan.
Bisa juga KB ini bubar di tengah mainan. Bisa juga berubah jadi perkumpulan selamatan jika tiba-tiba ada (investor) yang memberi tumpeng dengan
upo rampe (lauk-pauk)
maknyus. Mereka akan tinggalkan
teplek dengan ganti ngeroyok tumpeng sebanyak-banyaknya bahkan
mberkat seabrek-abreknya.
Astaghfirullah, rabbi a’lam.
*Wartawan senior tinggal di Sidoarjo
BERITA TERKAIT: