Dia khawatir bila namanya ditulis lengkap, keselamatan keluarganya akan terancam.
Abdurrahman lahir tahun 1986 di Prefektur Hotan, di Tarim Basin, di selatan Daerah Otonomi Xinjiang Uyghur atau Xinjiang Uyghur Autonomous Region (XUAR) di Republik Rakyat China (RRC) yang dikuasai Partai Komunis China.
Xinjiang dan Uyghur. Dua kata ini sudah cukup membuat saya mengerti mengapa ia mengkhawatirkan keselamatan keluarganya yang masih berada di Hotan.
Abdurrahman lahir dari keluarga yang religius. Ayahnya seorang imam di kota kelahirannya yang berada tak jauh dari Sungai Yurungkax.
Tahun 2010, Abdurrahman melanjutkan pendidikannya di jenjang master pada jurusan ilmu politik di Universitas Ankara, Turki. Setelah menamatkan pendidikannya, Abdurrahman memutuskan untuk tidak kembali ke kampung halaman. Ia memilih menetap di Istanbul.
Tahun 2020, sepuluh tahun setelah meninggalkan Hotan, ia resmi menjadi warga negara Turki.
***
Prefektur Hotan merupakan satu dari belasan prefektur di wilayah yang di masa lampau dikenal sebagai Turkestan Timur. Mayoritas masyarakatnya menetap di sekitar oasis yang terletak di antara Gurun Taklamakan yang sunyi dan Pegunungan Kunlun.
Prefektur ini berbatasan dengan Daerah Otonomi Tibet (RRC) di sisi selatan. Sementara di sisi barat berbatasan dengan dua wilayah Kashmir yang dikuasai Pakistan, yakni Wilayah Persatuan Ladakh dan Gilgit-Baltistan.
Sebagian besar wilayah Aksai Chin yang masih jadi sengketa antara China dan India dimasukkan dalam wilayah prefektur ini.
Mayoritas penduduk Prefektur Hotan dan Tarim Basin umumnya adalah Muslim Uyghur, seperti keluarga Abdurrahman.
Cerita tentang kawasan tempat tinggal suku atau bangsa Uyghur memang tidak sederhana. Kita bisa menariknya jauh ke belakang, sampai abad ke-3 Sebelum Masehi, di mana kawasan ini merupakan bagian dari Emporium Hun.
Di abad ke-6, Khaganate Turkis Pertama didirikan Bumin Qaghan dari Klan Ashina. Wilayahnya terbentang begitu luas, dari tepi Laut Hitam di sebelah barat sampai Manchuria di sebelah timur.
Di abad ke-10 Masehi agama Islam disebutkan mulai menyebar di kawasan ini. Di abad ke-14, Islam menjadi agama resmi di Khanate Chagatai Timur atau Moghulistan.
Sejarah panjang inilah yang membuat masyarakat Uyghur kini mayoritas beragama Islam, menggunakan ragam bahasa Turkis, serta membaca dan menulis dengan aksara Arab.
Pengaruh Emporium Turki Utsmaniah sangat kuat di Uyghur walaupun sejak Turki Ustmaniah didirikan Usman Gazi di akhir abad ke-13 sampai bubar di tahun 1922 di era Mehmed VI Vahideddin, Turki Ustmaniah tidak pernah secara formal menguasai Uyghur dan kerajaan-kerajaan lain di sayap kanan Asia Tengah.
Pengaruh Ustmaniah disalurkan dengan berbagai cara, salah satunya lewat Yaqub Beg yang lahir di Kokand, Uzbekistan kini. Dia mulai berkuasa di Turkestan di era 1860an dan menjalin hubungan dengan Kerajaan Inggris dan Kekaisaran Rusia.
Kehadiran Inggris dan Rusia di kawasan membuat gerah Dinasti Qing. Operasi untuk menggulingkan Yaqub Beg pun dimulai. Operasi ini tidak terlalu sulit bagi Jenderal Zuo Zontang. Apalagi Yaqub Beg oleh rakyat Turkestan dianggap tidak amanah. Seperti biasa, raja kalau alim pasti disembah, dan kalau lalim pasti disanggah.
Suku-suku yang terpinggirkan memilih bergabung dengan Jenderal Zuo Zontang. Persenjataan modern yang didapatkan Yaqub Beg dari Inggris dan Rusia pun tak berarti banyak. Dia tersingkir.
Cerita tentang kematian Yaqub Beg di akhir Mei 1877 tidak begitu jelas. Ada yang mengatakan dia tewas diracun oleh mantan penguasa yang ditaklukkannya. Ada yang mengatakan dia tewas di medan perang. Yang jelas, pada Desember 1877 Turkestan dikuasai sepenuhnya oleh Dinasti Qing. Ibukotanya dipindahkan ke Urumqi. Dan nama Xinjiang yang berarti "front terdepan" mulai digunakan.
Paruh pertama abad ke-20 menawarkan berbagai perubahan besar di arena politik global. Kaum nasionalis Kuomintang tahun 1911 berhasil membubarkan monarki dan memaksa kaisar terakhir Pu Yi angkat kaki dari Kota Terlarang. Kuomintang mendirikan Republik China.
Antara 1914 sampai 1918 Eropa terbakar perang besar yang kelak di kenal sebagai Perang Dunia Pertama.
Di bulan Oktober 1917, Bolshevik menguasai Rusia.
Turki Ustmaniah yang berkoalisi dengan Jerman (Prusia) di Perang Dunia Pertama akhirnya bubar dan kehilangan banyak wilayah. Inggris dan Prancis menguasai negeri-negeri bangsa Arab di Timur Tengah dan Afrika Utara. Sentimen Pan Arabisme dibesarkan untuk mempermudah pemisahan Arab dan Turki.
Adapun Bolshevik yang baru berkuasa di Rusia menundukkan satu persatu negeri-negeri di Asia Tengah dan mengumpulkan mereka di bawah payung Uni Soviet.
Angin revolusi juga tiba di Turkestan. Di tahun 1928, penguasa Xinjiang dari Partai Kuomintang, Yang Zengxin, dibunuh kelompok oposisi.
Penggantinya, Jin Shuren, menerapkan kebijakan yang lebih keras. Dia memulai sinofikasi. Pejabat-pejabat pemerintah lokal diturunkan. Diganti dengan pejabat dari suku Han. Perjalanan haji ke Mekah dilarang. Keadaan menjadi tidak stabil di Xinjiang untuk waktu yang cukup lama.
Bibit perlawanan kembali disemai. Di masjid-masjid. Ulama dan umat merapatkan barisan. Bentrokan terjadi di banyak tempat. Rakyat melawan pejabat.
Di bulan November 1933, Republik Turkestan Timur diproklamasikan. Tapi tak berusia panjang. Di bulan April setahun kemudian republik muda ini ditumpas.
Kuomintang mengerahkan tentara dari suku Hui Muslim untuk menghadapi pemberontak Uyghur.
Salah satu jenderal Kuomintang dari suku Hui Muslim yang terkenal masa itu adalah Ma Zhancang dari Divisi 36 Tentara Revolusi Nasional. Dia tak kenal takut merengsek basis pertahanan Uyghur di Kashgar. Serangan yang dipimpinnya berhasil menewaskan pemimpin Uyghur seperti Timur Beg, Abdullah Bughra, dan Nur Ahmad Jan Bughra.
***
Abdurrahman duduk di hadapan saya, di bagian belakang kedai kopi Meshur Tekirdag di Gumusyaka, di tepi Laut Marmara. Kami sedang beristirahat sebentar setelah shalat subuh di Masjid Gumusyaka tak jauh dari kedai kopi itu.
Matahari sudah naik menerangi jalan. Tapi penghujung musim dingin masih sulit diajak kompromi. Suhunya minus 3 derajat Celcius menusuk tulang.
Salju masih terlihat di beberapa pojok jalan. Waktu pesawat yang saya tumpangi mendarat, hujan salju turun cukup deras.
Abdurrahman ikut menjemput saya di Bandara Istanbul, Selasa (7/2). Dalam kunjungan transit kali ini saya mau mengunjungi lokasi Kerajaan Troya di Canakkale. Abdurrahman yang mengendarai mobil.
Sambil ngopi itulah saya menggali kisahnya dan kisah tanah kelahirannya.
Kata Abdurrahman, ketika meninggalkan Hotan di tahun 2010 kehidupan umat Muslim Uyghur sudah sulit, walau ibadah masih bisa dilakukan di masjid-masjid dan penggunaan huruf Arab juga masih diizinkan. Tapi represi dan diskriminasi amat terasa.
Di tahun 2015 keadaan menjadi jauh lebih buruk. Kaum laki-laki, termasuk imam masjid, dimasukkan ke dalam kamp khusus untuk mengikuti pendidikan ideologi komunis.
"Tidak sedikit yang tewas di kamp. Ini genosida," ujar Abdurrahman. Bahasa Inggrisnya cukup lancar.
Ayahnya, yang juga seorang imam, meninggal dunia di dalam kamp.
Saya tanya, "Kapan?"
"Mungkin tahun 2017. Tapi saya baru mendapatkan kabar ini tahun 2018," jawabnya.
Abdurrahman tak mau kembali ke Hotan. Setidaknya selama Partai Komunis China masih berkuasa.
"Kalau saya pulang, saya akan ditangkap dan dimasukkan ke kamp yang sama," katanya.
Dia memperlihatkan foto saudara laki-lakinya dan beberapa keponakannya. Foto itu diambil tahun 2012, saat keadaan masih normal walau sulit. Saya minta dia memperlihatkan foto itu, lalu saya potret.
"Ini jangan dimuat. Nanti wajah saudara saya bisa dikenali, dan dia bisa bahaya," katanya lagi.
"Tapi foto Anda boleh saya muat?" tanya saya.
"Boleh," jawabnya cepat.
Menurut ceritanya, Abdurrahman memiliki sembilan saudara. Tiga perempuan, enam laki-laki.
"Di mana mereka?" tanya Abdurrahman sendiri.
"Saya tidak tahu. Mungkin semuanya di kamp karena keluarga saya religius," dia jawab sendiri pula.
Bulan September tahun lalu Abdurrahman menikah. Istrinya juga orang Uyghur. Dalam waktu tidak lama lagi akan diwisuda sebagai doktor di bidang matematika.
Dia memperlihatkan foto pernikahan mereka yang menjadi wallpaper di hapenya.
"Apakah mungkin pemerintah China mengubah kebijakannya di Uyghur?" saya bertanya lagi
"Itu
impossible," Abdurrahman menjawab lagi. Matanya kosong, tapi masih menyimpan asa.
***
Di tahun 1944, sepuluh tahun setelah Republik Turkestan Timur dibubarkan paksa, pemberontakan kembali terjadi. Awalnya Uyghur mendapat dukungan dari Uni Soviet. Tapi tidak lama. Di bulan Agustus 1945 Soviet dan Kuomintang menandatangani satu perjanjian yang menjamin bagian Uni Soviet pasca Perang Dunia Kedua.
Di sisi lain, Kuomintang juga menawarkan pembentukan pemerintahan koalisi di Urumqi.
Dengan berbagai dinamika, pemerintahan koalisi ini berjalan tertatih-tatih, dan kembali tersungkur setelah Kuomintang kalah dalam perang melawan Partai Komunis China yang mendirikan Republik Rakyat China.
Kuomintang dan pemerintahan Republik China yang dipimpin Chiang Kaishek melarikan diri ke Taiwan tahun 1949, meninggalkan China daratan termasuk persoalan mengenai Uyghur.
Sampai sekarang.
BERITA TERKAIT: