Pro kontra pun berlangsung sengit, meskipun tetap dalam tradisi NU, awalnya gegeran akhirnya ger geran. Ini khas mujadhalah nahdliyyah.
Di grup ini, saya dan Muktar Gozali terjadi silang sengketa pendangan perihal apresiasi terhadap pemikiran, sikap dan tindakan KH Abdurrahman Wahid atau lebih akrab dipanggil Gus Dur.
Lebih Dihargai di Luar Negeri Ternyata, perguruan tinggi dalam dan luar negeri berbeda dalam mengapreasiasi Gus Dur. Kendati, beliau pernah menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Presiden ke-4 Indonesia, penghormatan perguruan tinggi Islam tertinggal daripada perguruan tinggi sekuler.
Selama hidupnya, Gus Dur tak pernah mendapatkan Doktor Honoris Causa (HC) dari perguruan tinggi di Indonesia. Beliau justru menerima 10 gelar doktor kehormatan dari negara lain, seperti Thailand, Prancis, Belanda, India, Jepang, Israel, dan Korea Selatan.
Adapun 10 gelar doktor kehormatan itu antara lain:
Pertama, tahun 2000, menerima gelar Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Universitas Thammasat, Bangkok, Thailand.
Kedua, tahun 2000, menerima gelar Doktor Kehormatan dari Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand.
Ketiga, tahun 2000, menerima gelar Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari Pantheon Universitas Sorbonne, Paris, Prancis.
Keempat, tahun 2000, menerima gelar Doktor Kehormatan dari Universitas Chulalongkorn, Bangkok, Thailand.
Kelima, tahun 2000, menerima gelar Doktor Kehormatan dari Universitas Twente, Belanda.
Keenam, tahun 2000, merima gelar Doktor Kehormatan dari Universitas Jawaharlal Nehru, India.
Ketujuh, tahun 2002, menerima gelar Doktor Kehormatan dari Universitas Soka Gakkai, Tokyo, Jepang.
Kedelapan, tahun 2003, menerima gelar Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan dari Universitas Netanya, Israel.
Kesembilan, tahun 2003, menerima gelar Doktor Kehormatan bidang Hukum dari Universitas Konkuk, Seoul, Korea Selatan.
Kesepuluh, tahun 2003, menerima gelar Doktor Kehormatan dari Universitas Sun Moon, Seoul, Korea Selatan.
Berbagai gelar doktor kehormatan di atas, merupakan bentuk pengakuan kampus dunia terhadap kontribusi Gus Dur dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan, baik ilmu politik, ekonomi, hukum, humaniora, manajemen maupun kemanusiaan.
Ini berarti Gus Dur bukanlah ulama biasa akan tetapi ilmuwan besar dunia yang memiliki andil dalam pengembangan kajian multidisipliner. Beliau cendekiawan muslim terbesar yang lahir dari rahim tradisi pendidikan pesantren sampai sekarang.
Sayangnya, Indonesia terlambat mengabadikan nama guru bangsanya sendiri. Sebagai contoh perbandingan Temple University Philadelphia Amerika Serikat, Univeritas Indonesia (UI), dan Univeritas Islam Negeri (UIN) Pekalongan.
Almamater Alwi Shihab di AS ini mengabadikan nama Gus Dur sebagai kelompok studi: "Abdurrahman Wahid Chair of Islamic Studies", pada 2010.
Almamater Yenny Wahid di Jakarta ini membentuk Abdurrahman Wahid Center sebagai pusat kajian multikulturalisme pada 2012.
Sementara, di perguruan tinggi Islam, nama Gus Dur diabadikan menjadi nama UIN KH Abdurrahman Wahid sebagai alih status IAIN Pekalongan. Ini berdasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2022.
Jadi, Gus Dur sejatinya aset NU, aset Indonesia dan bahkan aset dunia, yang perlu dijaga, dipelihara dan dikembangkan. Sekarang, Gus Dur bukan sekadar nama kelompok studi, atau pusat kajian atau perguruan tinggi, beliau adalah objek kajian para ilmuwan mutakhir.
Merayakan Pemikiran Gus Dur Peringatan 1 Abad NU, juga merayakan pemikiran Gus Dur yang mendunia. Berbagai kampus besar di dunia, banyak yang telah menjadikannya sebagai tex books dalam politik, ekonomi, hukum, humaniora, manajemen dan kemanusiaan.
Gus Dur telah menjadi Gusdurologi. Suatu susunan kata Gus Dur dan Logi yang memiliki makna dua hal berikut ini, yaitu:
Pertama, Gusdurologi bermakna ilmu atau pengetahuan tentang Gus Dur. Beliau seorang penulis produktif sekaligus tokoh yang banyak ditulis dari berbagai sudut pandang yang bak mata air tak pernah kering.
Kedua, Gusdurologi juga bermakna kumpulan tulisan tentang Gus Dur. Seorang tokoh politik pesantren yang banyak ditulis oleh intelektual dalam maupun luar negeri.
Gus Dur adalah tokoh yang menikmati banyak publikasi ilmiah. Yang menarik, publikasi tersebut dalam bentuk buku yang sangat kaya perspektif. Sebagai contoh ilustratif berikut ini:
1. Ma'mun Murad Albrebesy, Menyingkap Pemikiran Politik Gus Dur dan Amien Rais Tentang Negara, Raja Grafindo Persada, 1999, 354 halaman.
2. Umaruddin Masdar, Membaca Pemikiran Gus Dur dan Amien Rais tentang Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, 233 halaman.
3. Greg Barton, Biografi Gus Dur The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, LKiS Yogyakarta, 2003, 516 halaman.
4. Mahfud MD, Setahun Bersama Gus Dur, Kenangan Menjadi Menteri di Saat Sulit, Pustaka LP3ES Indonesia, 2003, 322 halaman.
5. KH A Nur Alam Bakhtiar, 99 Keistimewaan Gus Dur, Kultura, Jakarta, 2008, 170 halaman.
6. Ellyasa KH Darwis, Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil, LKiS, Yogyakarta, 2010, 195 halaman.
7. M Shaleh Isre, Tabayun Gus Dur, Pribumisasi Islam, Hak Minoritas, Reformasi Kultural, LKiS, Yogyakarta, 2010, 276 halaman.
8. M Hanif Dzakiri, 41 Warisan Kebesaran Gus Dur, LKiS, Yogyakarta, 2010, 228 halaman.
9. Mohammad Sobary, Jejak Guru Bangsa, Mewarisi Kearifan Gus Dur, Gremedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010, 179 halaman.
10. Irwan Suanda (editor), Gus Dur Santri Par Excellence, Kompas, Jakarta, 2010, 314 halaman.
11. Muhammad Zikra, Tertawa Bersama Gus Dur, Humornya Kiai Indonesia, Mizania Bandung, 2010, 90 halaman.
12. Herman Sulistyo, Tertawa Bersama Gus Presiden Dur, Pensil Jakarta, 2010, 72 halaman.
13. Hamid Basyib dan Fajar W Hermawan, Ger-geran Bersama Gus Dur, Pustaka Alvabet, Ciputat Jakarta, 2010, 216 halaman.
14. Greg Fealy, Gila Gus Dur, Wacana Pembaca Abdurrahman Wahid, LKiS Yogyakarta, 2010, 306 halaman.
15. MN Ibad, Leadership Secrets of Gus Dur-Gus Miek, Rahasia Mengelola Potensi Diri Untuk Menjadi Pemimpin yang Dicintai, Pustaka Pesantren, Yogyakarta, 2012, 218 halaman.
16. MN Ibad dan Akhmad Fikri AF, Gus Dur Bapak Tionghoa Indonesia, LKiS Yogyakarta, 2012, 182 halaman.
17. Mukhlas Syarkun dan Shofiyullah Muzammil, Ensiklopedi Abdurrahman Wahid Jilid 1-6 Jilid, PPPKI, Jakarta, 2013.
18. Titus Pekei, Gus Dur Guru dan Masa Depan Papua, Suara Harapan Bangsa, Jakarta, 2014, 300 halaman.
19. Wijdan Fr dan M Sulton Fatoni, The Wisdom of Gus Dur, Butir-butir Kearifan Sang Waskita, Imania, Yogyakarta, 2014, 512 halaman.
20. Achmad Mukafi Niam dan Saifullah Amin, 99+ Bukti Gus Dur Wali, Kesaksian dan Kisah Nyata dari Para Sahabat, Kolega dan Keluarga, Renebook, Jakarta, 2014, 268 halaman.
21. KH Husein Muhammad, Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus, Noura Books, Jakarta, 2015, 179 halaman.
22 Aguk Irawan MN, Peci Miring, Novel Biografi Gus Dur, Javanica, Banten, 2015.
23. Drs Maswan, MM, Aida Farichatul Laila, Pendapat Tokoh tentang Gus Dur, Manusia Multidimensional, Deepublish Publisher, Yogyakarta, 2015, 254 halaman.
24. Abdullah Wong, Mata Penakluk, Manaqib Abdurrahman Wahid, Expose, Tangerang Banten, 2015, 301 halaman
25. Maria Ulfa Anshor dan Ala'i Nadjib, Gus Dur di Mata Perempuan, Gading Yogyakarta, 2015, 284 halaman.
26. Akhmad Basuni, Aktualisasi Pemikiran Pluralisme KH Abdurrahman Wahid (Studi Program Pendidikan The Wahid Institue), Deepublich, Yogyakarta, 2016, 190 halaman.
27. Muhammad AS Hikam, Gusdur Ku Gusdur Anda Gusdur Kita, Kenangan, Wawancara Imajiner dan Guyonan Gusdurian, Yrama Widya, Bandung, 2016, 345 halaman.
28. Muhammad Rifai, Gus Dur KH Abdurrahman Wahid, Biografi 1940-2009, Garasi, Yogyakarta, 2017, 202 halaman.
29. Nur Khalik Ridwan, Suluk Gus Dur, Bilik-bilik Spiritual Sang Guru Bangsa, Arruzz Media, Yogyakarta, 2017, 217 halaman.
30. Guntur Wiguna, Koleksi Humor Gus Dur Paling Nyeleneh, Narasi, Jakarta, 2017, 164 halaman.
31. Muhammad Rifai, Gus Dur KH Abdurrahman Wahid, Biografi 1940-2009, Garasi, Yogyakarta, 2017, 202 halaman.
32. M Sholahuddin, Tawa Aja Kok Repot: 101 Menit Ngakak Bersama Gus Dur, Garasi Yogyakarta, 2017, 176 halaman.
33. Ahmad Nurcholish, Celoteh Gus Dur, 222 Ujaran Bijak Sang Guru Bangsa, Elex Media Komputindo, 2017, 237 halaman.
34. M Sholahuddin, Tawa Aja Kok Repot: 101 Menit Ngakak Bersama Gus Dur, Garasi Yogyakarta, 2017, 176 halaman.
35. Bondan Gunawan, Hari-hari Terakhir Bersama Gus Dur, Kompas, Jakarta, 2018, 347 halaman.
36. H Sujiwo Tejo, Kelekar Madura Buat Gus Dur, Imania, Tengerang Selatan Banten, 2018, 200 halaman.
37. Anom Whani Wicaksono, Biografi Gus Dur, Jejak Bijak Sang Guru Bangsa, C-Klik Media, 2018, 170 halaman.
38. Ahmad Suaedy, Gus Dur, Islam Nusantara, & Kewarganegaraan Benika, Penyelesaian Konflik Aceh dan Papua 1999-2001, Kompas, Jakarta, 2018, 526 halaman.
39. Muhammad Zulian Alfarizi, Bhaaa Bhaaa Bhaaa Khas Gus Dur, Kaktus, 2018, 108 halaman.
40. Sumanto Al Qurtubi, Semar Dadi Ratu, Mengenang Gus Dur Kala Jadi Presiden, Elsa Press, Semarang, 2019, 197 halaman.
41. KH Husein Muhammad, Samudra Kezuhudan Gus Dur, Sang Guru Bangsa, Sang Sufi dalam Keseharian, Diva Press Yogyakarta, 2019, 300 halaman.
42. Dr Johari, Fikih Gus Dur, Pustaka Tebuireng, Jombang, 2019, 290 halaman.
43. Nur Kholis Ridwan, Ajaran-ajaran Gus Dur, Syarah 9 Nilai Utama Gus Dur, Noktah Yogyakarta, 2019, 180 halaman.
44. Marwini, Gus Dur, Kisah-kisah Jenaka dan Pesan-pesan Keberagamaan, Araska Publisher Yogyakarta, 2019, 288 halaman.
45. Muhammad Rafi'i, Islam Nusantara Persepektif Abdurrahman Wahid, Pemikiran dan Epistemologinya, Letari Nusantara, Malang, 2019, 114 halaman.
46. Saiful Arif, Humanisme Gus Dur, Pergumulan Islam dan Kemanusiaan, Arruzz Media, Yogyakarta, 2019, 342 halaman.
47. Virdika Rizky Utama, Menjerat Gus Dur, NU Media Digital, 2019, 376 halaman.
48. Jonar TH Situmorang, Gus Dur adalah Isme, Biografi Sang Pluralis, Arruzz Media Yogyakarta, 2020 354 halaman.
49. Dr Nur Kholid, SPdi, MSi, Interkoneksi Islam Liberal dan Pendidikan Agama Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Bintang Pustaka Madani, 2020, 512 halaman.
50. NR Akbar, Siapa Menjerat Gus Dur, Intrik Politik, Oligarki dan Konspirasi Pemakzulan, Media Pressindo, 2020.
51. Ahmad Zainul Hamdi (editor), Goro-goro Menjerat Gus Dur, Marah, Sedih, Tawa, Rindu, Panitia Tunas Gus Durian, 2020.
52. Hairus Salim, Gus Dur: Sang Kosmopolitan, EA Books Yogyakarta, 2020, 196 halaman.
53. Abdur Rahman, Gitu Aja Kok Repot Humor-Humor Gus Dur, Noktah, Yogyakarta, 2020, 156 halaman.
54. AS Laksana, Catatan Kenangan Yahya Cholil Staquf, Menghidupkan Gus Dur, LB Books, Jakarta, 2021, 158 halaman.
55. Ashilly Achidsti, Gender Gus Dur, Tonggak Kebijakan Kesetaraan Gender Era Presiden Abdurrahman Wahid, Gading, Yogyakarta, 2021, 149 halaman.
Mahkota IntelektualSetidak-tidaknya, 55 judul buku di atas membuktikan bahwa Gus Dur nyata-nyata telah menjadi materi tulisan para ahli di berbagai bidang. Adalah bukan ngecap menyebut Gus Dur sebagai Gusdurologi. Sebelum terpilih menjadi presiden, pemikiran Gus Dur tentang negara dan demokrasi menjadi episentrum diskursus intelektual.
Apalagi setelah Gus Dur terpilih menjadi presiden selepas Presiden BJ Habibie, pamor intelektualnya naik meski kekuasannya tak bertahan lama akibat intrik politik, oligarki dan konspirasi pemakzulan.
Gus Dur terjerat oleh goro-goro yang memaksa untuk mengalah pada kekuatan mayoritas parlemen, partai dan militer yang menghendaki suksesi kepemimpinan dari Gus Dur kepada Megawati Soekarnoputri.
Gus Dur lengser keprabon tak berdasar alasan atas berbagai skandal Bulogate dan Brunaigate yang dituduhkannya. Tetapi, lebih dominan karena alasan politik yang tak menghendaki untuk bertahan di singgasana kekuasaan.
Riwayat presidensinya memang seumur jagung, dan hikayat partainya terlepas dari genggaman kekuasaannya. Namun, Gus Dur mendapat ganti mahkota intelektual yang lebih kekal dan abadi. Gus Dur mendapat perhatian luar biasa dari para ilmuwan dalam maupun luar negeri.
Gus Dur memiliki kedudukan yang kokoh dan kuat di altar pemikiran umat dan bangsa. Posisinya tak tergoyah sedikipun. Bahkan, pengaruhnya semakin menghujam bumi intelektualisme Indonesia. Sampai sekarang, tak ada satu presiden pun Indonesia yang mendapat hak istimewa yang menyamai Gus Dur. Ajaran-ajaran Gus Dur tetap hidup melalui para muridnya yang tersebar di berbagai profesi dan lapangan pengabdian.
Yang menghidupkan Gus Dur adalah para penggila Gus Dur. Mereka yang bersimpati pada jalan politik Gus Dur. Mereka yang berempati pada nasib tragis kekuasaan Gus Dur di akhir hidupnya. Mereka yang mencinta dan merindukan Gus lantaran mata hati yang menerangi serta pengorbannya terhadap sesama manusia yang tulus ikhlas.
Gus Dur telah menjadi jalan. Perjalanan hidupnya selama 1940-2009, tak pernah sirna menginspirasi siapa pun yang memilih jalan damai dengan ambisi kekuasaan.
Gus Dur menjadi bilik pesantren yang mengajarkan kearifan sebagai guru bangsa . Dengan demikian, Gus Dur dalam sepanjang masa adalah guru sekaligus masa depan Indonesia yang multikultural ini.
*
Penulis adalah Pendiri Eksan Institute
BERITA TERKAIT: