Pimpinan Teater Koma itu mengembuskan napas terakhir Jumat (20/1) pagi pukul 06.58 WIB di rumahnya. Ia meninggal dalam usia 73 tahun. Meninggalkan seorang istri, aktris terkenal Ratna Riantiarno, tiga anak, dan satu cucu.
"Dia pergi dengan amat tenang. Sempat beberapa kali mengucap salam perpisahan sebelum menutup mata selamanya," cerita Ratna yang saya hubungi Jumat pagi pertelepon.
Nano meninggal akibat kanker. Itu diketahui belakangan, beberapa bulan terakhir setelah menyebar luas sampai ke paru-paru. Semula hanya pembengkakan paha yang disangka “hanya†tumor.
Namun awal Januari ketika dibawa ke RS Kanker Dharmais, dia menghadapi vonis Tim medis: kanker itu sudah stadium akhir. Ada dua pilihan, salah satunya kemoterapi (
chemotherapy).
Tetapi keluarga memutuskan pilihan kedua: dibawa pulang dan dirawat di rumah saja, sesuai permintaan Nano sendiri. "Mas Nano memang selalu minta pulang, nggak betah di RS," kata Ratna.
Menurut cerita Ratna, sejak pulang dari RS, kondisi almarhum terus menurun. Jumat subuh tadi tekanan darah anjlok ke 60 (120/80). Sama dengan angka saturasinya, 60 juga (normal 95).
Biarpun dalam kondisi lemah tidak menyebabkan semangat berkesenian Nano mengendor. Tahun ini ia merencanakan untuk pementasan teater di Papua. Judulnya "Matahari di Papua", naskahnya sudah dia rampungkan. Malah, Nano sudah pula memikirkan pementasan lanjutan "Matahari di Papua" itu.
"Belakangan baru sadar itu sulit diwujudkan mengingat kondisinya. Mas Nano lalu bilang, naskahnya nanti dia selesaikan di tempat lain," kenang Ratna.
Nano salah satu seniman Indonesia yang saya kagumi. Kami puluhan tahun berkawan. Nano pribadi yang baik.
Humble dan familiar. Saya sedang berada di Melbourne, Australia ketika Nano masuk RS. Saya mengikuti proses penanganan medis almarhum di RS melalui WAG artis senior di mana ada Ratna di dalamnya.
Seniman TangguhNano seniman tangguh. Nano berhasil mengatasi problem yang umumnya dialami seniman dan grup teater di Tanah Air: kekurangan biaya produksi dan kurang apresiasi dari penonton. Nano berhasil mengelola Teater Koma dengan manajemen modern, menjadikannya grup teater satu-satunya di Tanah Air yang berhasil menjadi "provit center".
Maka itu bisa bertahan hingga kini, sementara grup-grup teater besar yang lebih dulu berkiprah bertumbangan. Bahkan sepeninggal almarhum, saya yakin Teater Koma tetap akan berjaya. Ada Ratna Riantiarno bisa menggantikan posisinya memutar baling-baling kreativitas Teater Koma.
Teater Koma punya agenda panggung yang teratur, punya penonton setia, punya hubungan kemitraan dengan banyak institusi bisnis. Kapan saja menggelar pementasan, dijamin ada penonton dan sponsor untuk membiayai produksinya. Pada waktu pandemi Covid-19 saja pun Teater Koma tetap eksis dengan pertunjukan secara virtual.
Bernama lengkap Norbertus Riantiarno, pria kelahiran Cirebon 6 Juni 1949 berlimpah bakat: aktor, penulis, sutradara, wartawan dan tokoh teater Indonesia.
Nano sendiri sudah aktif di teater sejak 1965 di kota kelahirannya. Setamat SMA tahun 1967, ia melanjutkan kuliah di Akademi Teater Nasional Indonesia, ATNI, Jakarta, kemudian pada 1971 masuk ke Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di Jakarta.
Tahun 1968 Nano bergabung dengan Teguh Karya, salah seorang dramawan terkemuka Indonesia dan ikut mendirikan Teater Populer di tahun itu. Pada 1 Maret 1977, dia mendirikan Teater Koma, sangat produktif di Indonesia saat ini. Ratusan naskah telah dipentasksn untuk panggung dan televisi.
Film layar lebar karya perdananya CEMENG 2005 (The Last Primadona), 1995, diproduksi oleh Dewan Film Nasional Indonesia. Nano sendiri menulis sebagian besar karya panggungnya, seperti "Rumah Kertas", "Pialang Segitiga Emas", “Trilogi Opera Kecoaâ€, dan “Opera Primadonnaâ€, dan banyak lagi.
Teater Koma juga pernah memanggungkan karya-karya penulis kelas dunia, antara lain; Woyzeck karya George Buchner,The Threepenny Opera karya Bertolt Brecht, The Good Person of Shechzwan karya Bertolt Brech, The Comedy of Errors dan Romeo Juliet karya William Shakespeare, Women in Parliament karya Aristophanes, Orang Kaya Baru dan Tartuffe atau Republik Togog karya Moliere.
Langganan Pencekalan Sebagai seniman perjalanan karier Nano tidak seluruhnya mulus. Ia pernah menghadapi interogasi, pencekalan dan pelarangan, kecurigaan serta ancaman bom, ketika akan mementaskan pertunjukannya, tetapi semua itu dihadapi sebagai sebuah dinamika perjalanan hidup.
Beberapa karyanya bersama Teater Koma, batal pentas karena masalah perizinan dengan pihak yang berwajib. Antara lain: Maaf Maaf Maaf (1978), Sampek Engtay (1989) di Medan, Sumatra Utara, Suksesi, dan Opera Kecoa (1990), keduanya di Jakarta.
Akibat pelarangan itu, rencana pementasan Opera Kecoa di empat kota di Jepang (Tokyo, Osaka, Fukuoka, Hiroshima), 1991, urung digelar karena alasan serupa. Opera Kecoa, pada Juli-Agustus 1992, dipanggungkan oleh Belvoir Theatre, salah satu grup teater garda depan di Sydney, Australia.
Saat ini jenasah mendiang disemayamkan di Rumah Duka: Sanggar Teater Koma, Jalan Cempaka Raya No. 15, Bintaro, Jakarta Selatan. Rencana pemakamannya Sabtu, (21/1) siang di Taman Makam Giri Tama, Tonjong, Bogor.
Tiada lagi Mas Nano.
Penulis adalah Wartawan Senior
BERITA TERKAIT: