Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Soedjatmoko, Masyarakat Multibudaya dan Multikulturalisme

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/herdi-sahrasad-5'>HERDI SAHRASAD</a>
OLEH: HERDI SAHRASAD
  • Sabtu, 27 Agustus 2022, 23:41 WIB
Soedjatmoko, Masyarakat Multibudaya dan Multikulturalisme
DR. Soedjatmoko
AKTOR, struktur dan kultur politik di Indonesia  datang dan pergi silih berganti.  Setelah generasi  KH Hasyim Asyari, Ahmad Dahlan dan seterusnya, muncul kemudian Soekarno-Hatta-Sjahrir-Tan Malaka, lalu datang generasi Soedjatmoko, Muchtar Lubis, KH Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, Adi Sasono, Dawam Rahardjo, Arief Budiman dan seterusnya, secara alamiah patah, tumbuh, silih berganti, datang dan pergi.

Dalam pengalaman hidup saya selaku anak pinggiran, sosok Soedjatmoko adalah salah satu guru, senior, mentor dan sahabat yang humanis, lapang jiwa, hangat dan mencerahkan. Dialah guru bangsa yang disebut Nono Anwar Makarim sebagai sang Dekan intelektual bebas Indonesia.

Dan suatu hari, sebagai jurnalis dan aktivis pergerakan, sebelum bertolak ke Manila untuk melihat/meliput konflik di Filipina era Presiden Cory Aquino tahun 1989, saya singgah ke rumah DR Soedjatmoko di Jalan Tanjung Jakarta untuk kesekian kali, berdiskusi mengenai ketegangan dan panasnya politik Filipina periode itu.

Pak Koko waktu itu juga kedatangan tamu Rosihan Anwar, sahabat lamanya dan jurnalis senior yang menolak dijadikan Dubes RI untuk Vietnam oleh Presiden Soeharto pasca Peristiwa Demontrasi Mahasiswa Malari 1974 pimpinan Hariman Siregar, Ketua Umum Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia. Koran Rosihan yakni Pedoman diberangus oleh Orba Pak Harto. Pak Koko dan Pak Rosihan berbicara dalam bahasa Belanda dan Inggris, selain Indonesia. Saya menyimak keduanya bercakap serius.

Pak Koko waktu itu bilang pada saya agar kontak budayawan Muchtar Lubis, dan rekan-rekan intelektual di Universitas Filipina (University of Philippines) antara lain Prof Jose Abueva dan Prof Randolf David. Di Manila kelak saya bertemu kedua akademisi itu, selain bersua para jurnalis/aktivis di Press Foundation of Asia. Abueva adalah Sekretaris Soedjatmoko waktu menjadi Rektor Universitas Perserikatan Bangsa Bangsa (United Nations University) di Tokyo kurun 1980-an.

Saya pertama kali datang ke rumah Soedjatmoko (kader PSI dan adik ipar Perdana Menteri Sutan Sjahrir) bersama Dr. Taufiqulhadi, mantan anggota DPR-RI dari Aceh/Nasdem, juga Dr Saiful Bahry Ruray (mantan anggota DPR-RI dari Maluku), waktu itu sebagai anak-anak muda pinggiran dari PB-HMI yang seingat saya, berlatar sosio-kultural Nahdlatul Ulama.

Menarik bahwa cara pandang dunia Taufiqulhadi & lebih condong perjuangan Masyumi pimpinan Perdana Menteri Muhamad Natsir, sedang saya dan Bahry Ruray lebih condong pada sosio-demokrasi PSI Perdana Menteri Sjahrir. Pendidikan tinggi untuk sebagian telah mengubah sikap mental dan mindset kami.

Dalam konteks mengenang 100 tahun Soedjatmoko pada 2022 ini, rasanya kenangan itu menetes kembali. Soedjatmoko adalah sosok pemikir Indonesia pada masa awal kemerdekaan, lahir 10 Januari 1922 di Sawahlunto dan wafat 1990 di Yogyakarta.

Pak Koko mengungkapkan, masyarakat Filipina itu multi budaya, sarat oligarkisme,  dan dipandang kaum pribumi Asia Tenggara sebagai wilayah yang sarat dominasi warga keturunan China dalam kehidupan sosial-ekonominya. Realitasnya memang sangat mencolok. Marcos, Aquino dll itu keturunan China/Beijing. Sementara kaum bumiputera Filipina yang memeluk Islam berkonsentrasi di Filipina Selatan karena terusir dari Utara yang dijajah Spanyol, Amerika Serikat dan gelombang migrasi etnis China dari RRC/China daratan sehingga menjadi kaum marginal di kawasan selatan maupun utara.

Ketegangan dan konflik politik-ideologis yang panjang antara pemerintah Manila dan masyarakat Muslim di wilayah Filipina Selatan adalah suatu kenyataan. Radikalisme sosial di wilayah selatan Filipina adalah realitas keseharian.

"Modernisme yang hendak dibangun Manila, tidak bisa menyerap atau mengakomodasikan aspirasi dan nilai-nilai masyarakat di Selatan, apalagi Manila sengaja menganaktirikan kawasan selatan yang relatif jauh tertinggal. Pergolakan akibat ketidakadilan ini meruak. Walhasil, Filipina mengalami pembelahan antara pemerintah Pusat di Manila versus komunitas Muslim di Selatan atau kaum Moro yang waktu itu dipimpin Nur Misuari dkk," kata Soedjatmoko waktu itu.

"Indonesia tidak boleh seperti Filipina, kita harus mampu mengakomodasi dan menyerap segenap aspirasi dan kultur komunitas  dari seluruh daerah ke dalam bingkai negara bangsa modern yang plural, dan multikulturalisme harus diwujudkan di NKRI secara nyata dalam kehidupan berbangsa bernegara," kata Pak Koko.

Tapi anda tahu, Orde Baru sarat dominasi patrimonialisme, kapitalisme ersatz dan feodalisme  Mataram ala Pak Harto waktu itu, yang baru bisa kita akhiri ketika kita bersama kaum mahasiswa ramai-ramai menyerbu dan menduduki Gedung MPR-DPR pada Mei 1998 dalam suatu tsunami politik yang menggetarkan dunia.

Dan kita pun  paham, perubahan setiap kali datang tak terelakkan sebagai kehendak sejarah di Indonesia, sebuah negara bangsa modern dengan masyarakat berwajah multikultural yang sejak awal berdirinya Republik ini, sudah merancang Konstitusi UUD1945 yang aspiratif dan akomodatif bagi keberagaman sosial-budaya. Tentu saja, dalam praktik dan praksisnya, keindonesiaan yang modern itu harus terus diperbaiki secara kualitatif. Para pendiri bangsa menyadari dan memaklumi bahwa nusantara merupakanmelting potbudaya dan arena pertemuan dari ragam budaya dan agama-agama besar di dunia.

Penyebaran agama-agama besar tersebut tidak terlepas dari letak geografis kepulauan nusantara di dalam perdagangan dunia sejak abad-abad permulaan. Tidak mengherankan apabila pengaruh-pengaruh penyebaran agama Hindu, Budha, Islam, Katolik, Kristen, serta agama-agama lainnya terdapat di Kepulauan Nusantara (Farida Hanum, 2012).

Nusantara sering disebut menjadi kawasan melting pot budaya, suatu metafora untuk masyarakat heterogen (majemuk) yang semakin homogen dimana elemen yang berbeda "melebur menjadi satu" sebagai suatu kesamaan budaya yang relatif harmonis.

Dalam sensus 2000, tercatat 101 suku bangsa di Indonesia dengan jumlah total penduduk 201.092.238 jiwa sebagai warga negara (Leo Suryadinata dkk, 2003). Pada tahun 2021 ini penduduk Indonesia dipekirakan mencapai lebih dari 250 juta jiwa. Setiap sub etnis di Indonesia mempunyai kebudayaan sendiri. Kebudayaan berjenis-jenis etnis tersebut bukan hanya diperlihara dan berkembang di dalam teritori di mana terjadi konsentrasi etnis tersebut, tetapi juga telah menyebar di seluruh Nusantara.

Di masa lalu, pergolakan SARA (suku, agama, ras, antargolongan)_dalam suatu masyarakat multikultural sempat meledak di Ambon, Tolikara-Papua, Kalimantan Barat, Binjai Sumatera Utara dan daerah lainnya, yang ditengarai masih menyimpan bahaya, karena  dapat tumbuh dan berkembangnya sikap "fanatisme etnobudaya" dan menajamnya "pembedaan" dalam masyarakat. Apabila "fanatisme etnobudaya" dan "pembedaan" itu muncul maka akan terjadi konflik, tegangan sosial dan pertentangan di dalam kebudayaan yang pada akhirnya merontokkan seluruh bangunan kehidupa dari suatu komunitas.

Pelajaran dari Ambon Masa Lalu

Membangun kembali masyarakat yang plural, damai dan berkeadaban di Ambon (dan daerah lain), masih butuh waktu, penguatan modal sosial dan ekonomi, Konflik etnoreligius di Ambon 1999-2002, yang menelan sedikitnya 5.000 korban jiwa dan menyebabkan ratusan ribu orang mengungsi, masih menyisakan krisis tersembunyi. Meski konflik itu sudah berlalu, tapi masih mewariskan narasi kekerasan dan segregasi sosial yang nyata. Dulu, pada mulanya Muslim-Kristen berbaur, namun sejak konflik etno-religius meletus di Ambon 1999-2002, kini kampung Muslim dan kampung Kristen dapat dibedakan jelas karena segregasi.

Jangan lupa bahwa segregasi rentan mempersubur pewarisan narasi konflik berbasis kecurigaan dan stigma. Segregasi memindahkan konflik dari kekerasan ke tatanan sosial-budaya masyarakat (Hanry Harlen “Andi” Tapotubun, CRCS UGM, 2019).

Fenomena segregasi sosial di sini adalah kecenderungan orang memisahkan diri dari orang-orang lain (liyan), namun lebih senang berinteraksi dengan orang lain yang sama secara etnik, agama dan golongan.

Meminjam perspektif sosiologis, kita tahu egregasi adalah tidak adanya interaksi antara kelompok-kelompok sosial, sementara secara perspektif geografis, segregasi adalah distribusi yang tidak merata dari kelompok- kelompok osial dalam ruang fisik tertentu.

Pengalaman dari Berlin

Dalam kasus segregasi sosial yang hampir serupa tapi tak sama, pengalaman di Berlin tahun 1990-an dimana saya berdiskusi dengan para intelektual di sana, menunjukkan segregasi dan tegangan sosial terjadi karena ada wilayah perkotaan yang tertinggal, ditandai dengan meningkatnya polarisasi, pengangguran, kesenjangan sosial-ekonomi, diskriminasi, masalah keamanan, dan kurangnya infrastruktur (sosio-kultural).

Hal ini menyebabkan berbagai masalah sosial di Berlin yang saling terkait dan tumpang tindih, terutama di pusat kota, dan sangat mempengaruhi komunitas lokal maupun kaum pendatang yang kemudian tinggal di sana.

Meskipun reunifikasi fisik Berlin Timur dan Barat sudah sangat terlihat konkrit, Berlin sejak1990-an masih memiliki garis kesalahan sosial yang serius dan menantang, menyulitkan  integrasi masyarakatnya.

Keretakan Berlin Timur dan Barat, karena faktor lingkungan, agama, etnis, dan sosial ekonomi masih sangat berat kurun 1990 itu. Bahkan waktu itu konstruksi sosial dari sejarah kota dan penyematan memori kolektif dalam lingkungan sosial-kultural binaan pemerintah sekalipun, masih membukakan ketegangan dan perpecahan.

Untuk mencari solusinya, kemudian LSM, pemerintah dan kalangan swasta di Jerman bekerjasama  mengidentifikasi lingkungan warga yang terpinggirkan secara sosial melalui sistem pemantauan dalam mencermati dan menilai tingkat pengangguran, pembayaran tunjangan sosial, kemiskinan warga, perbedaan budaya dan masalah krusial lainnya di setiap area.

Setiap lingkungan yang dipilih, membentuk Dewan Lingkungan, yang terdiri dari sukarelawan dan organisasi penduduk setempat, seperti klub seni-budaya, olahraga, sekolah, dan gereja. Dewan Lingkungan mengidentifikasi kebutuhan dasar setempat dan mengembangkan solusi untuk mengatasinya, yang kemudian dibiayai oleh program negara. Di Berlin, institusionalisasi tersebut berjalan baik dengan capaian yang terukur dan obyektif, dan masyarakat merasa keberagaman budaya tetap dijaga.

Apa yang dilakukan di Berlin bisa menjadi pelajaran bagi masyarakat dan negara kita dalam membangun kembali harmoni sosial, kemajuan dan keadaban di Ambon (dan daerah lainnya).

Multikulturalisme


Harus kita akui, cukup banyak capaian yang dilakukan oleh negara dan masyarakat madani (civil society) dalam upaya menyelesaikan konflik sosial agama (SARA) yang terjadi di Indonesia masa Orde Baru, juga sepanjang tahun 1999 sampai 2006 dan sepanjang satu dekade terakhir, namun tetap saja konflik sosial (SARA) terus terjadi, bahkan belakangan terus berkembang pada tataran yang mungkin lebih rumit  karena makin  ruwet kompleksitas masalahnya.

Oleh sebab itu, kembali pada konteks Ambon (dan daerah lain), negara dan masyarakat harus mengidentifikasi dan merumuskan pertanyaan maupun masalahnya, lalu mencari solusi yang komprehensif. Misalnya, perlunya memenuhi kebutuhan dasar warga Ambon baik itu menyangkut sandang-papan-pangan, maupun pemberdayaan transformasi sosial yang bermoral-etis dan berakhlak, serta pendidikan dan kesehatan secara memadai.

Negara dan masyarakat harus mengupayakan langkah dan kebijakan untuk membangun dan memperkuat sikap saling menghargai, toleransi, saling asih-asah-asuh dan sanggup hidup bersama dalam keragaman sebagai tujuan dari modernisasi masyarakat multikultural (Renato Rosaldo, 2003).

Dalam isu Ambon, Poso, Tolikara-Papua dan daerah lainnya, peran pendidikan multikultural mutlak diperlukan, namun merujuk Soedjatmoko (Etika Pembebasan, 1986) harus didukung dengan suatu politik kebudayaan yang mampu mengikat masyarakat tersebut sebagai masyarakat bineka yang menjadi bagian integral dari Indonesia sebagai bangsa multibudaya, majemuk, dan bangsa besar, dengan keberagaman budaya di dalamnya, dimana multikulturalitas merupakan suatu kenyataan obyektif yang harus dirawat, dipelihara dengan kesadaran bersama untuk menjaganya. (Bhiku Parekh, 1996).

Dalam kaitan ini, multikulturalisme bisa menjamin setiap warga, termasuk minoritas, dapat mempertahankan jatidirinya (identity), bangga terhadap nenekmoyangnya (ancestry), dan mempunyai rasa memiliki (sense of belonging). Sebagai konsep politik, multikulturalisme menjadi penegasan dalam menghargai keragaman budaya, terutama dari kelompok minoritas yang selama ini tersisihkan, terpinggirkan.

Dalam konteks masyarakat bineka di Ambon dan daerah lainnya, multikulturalisme seyogyanya terus disosialisasikan, diinternalisasikan dan dipraksiskan masyarakat dengan baik sehingga, merujuk studi Will Kymlicka (2003), muncul rasa penghargaan dan toleransi terhadap semua komunitas dengan budayanya masing-masing. Multikulturalisme adalah penolakan terhadap kefanatikan, purbasangka, rasisme, tribalisme, dan menerima secara inklusif keanekaragaman yang ada.

Dalam kaitan ini, menurut Soedjatmoko, kekuatan di dalam masing-masing budaya dapat dipadukan, sinergik, di dalam penggalangan persatuan-kesatuan bangsa kita yang majemuk.

Sudah tentu, sebagai antisipasi ke depan, suatu resolusi konflik kekerasan berbasis agama dan budaya harus terus dikembangkan dari hal-hal yang paling praktis dan sederhana, seperti dialog, gotong-royong, pemberdayaan budaya sekolah, pengakuan kesetaraan dan penguatan jaringan sosial, dalam upaya memupuk sikap saling percaya, yang meskipun mungkin hal itu berupa tindakan kecil, asal berkesinambungan, dapat menjadi pengkondisian dan common groundbagi pembaruan dan transformasi sosial-kultural.

Soedjatmoko mengingatkan bahwa pembaruan dan transformasi social-kultural itu memerlukan keahlian sains, teknologi, nilai-nilai akhlak/moral dan etika. Perjuangan untuk menegakkan Multikulturalisme itu tidaklah mudah, penuh rintangan, maka harus dilakukan secara simultan dan harus berkelanjutan.

Sehingga tidak mengesankan bahwa proyek kebangsaan itu hanyalah suatu proyek negara yang biasanya berakhir dengan bentuk-bentuk formalitas dan rutinitas belaka, melainkan suatu proses kerja dan aksi bagi transformasi sosial dan perubahan gradual yang terarah, konstruktif, progresif, sinergik dan bermanfaat untuk semua anak bangsa. Semoga. rmol news logo article

Penulis adalah pengajar Sekolah Pasca Sarjana Universitas Paramadina dan aktivis senior Gerakan 1998.
EDITOR: JONRIS PURBA

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA