Saya akan ceritakan pengalaman persahabatan saya dengan seorang anggota Sangha Buddha, seorang Bhante yang masih muda. Usianya dua puluh tahun lebih muda dari saya. Tetapi sebagai Bhante, seumur hidup dia habiskan di Vihara dengan bermeditasi, merapal Tripitaka, Suta-Suta, Mantra-Mantra, bersemedi, dan melayani ummat yang memerlukan.
Bhante saya ini masuk sebagai Sramanira sejak lulus SMP. Mungkin dalam tradisi Muslim Indonesia, seperti pesantren atau madrasah, begitulah. Sang Bhante pergi ke Thailand untuk memperdalam Buddhisme, belajar bahasa Thai dan juga bahasa Pali.
Di Thailand Bhante sahabat kita bergabung dengan rekan-rekannya dan dibimbing para Bhikku yang lebih senior. Bhante kita itu belajar Sutta Pitaka, yaitu khotbah-khotbah Sang Buddha. Mungkin dalam Islam bisa dilihat seperti Hadits Nabi.
Kemudian ia memperdalam Vinaya Pitaka, berupa tata aturan khusus anggota Sangha, Bhikku dan Bhikkuni. Aturan itu ketat sekali. Misalnya selama saya bergaul, Bhante kita itu hanya makan siang, sekali dalam sehari. Pagi atau malam sudah tidak lagi, ia hanya minum.
Selanjutnya hari-hari dilalui dengan meditasi tanpa makan dan menghindari duniawi. Bhante sahabat saya tentu dilatih disiplin dan bermeditasi. Dalam Islam bisa difahami sebagai sholat atau zikir.
Dan Bhante kita belajar Abhidamma Pitaka yaitu pengetahun yang lebih tinggi berupa ajaran bijak, kosmologi, filsafat, ilmu jiwa, hakekat manusia dan alam semesta. Mungkin dalam tradisi islam berupa cabang-cabang ilmu filsafat, kalam, tasawuf, sirah, tarikh dan lain-lain.
Sebagai seorang yang banyak mendaras dan bermeditasi, Bhante sahabat saya itu tetap rendah hati. Pertama kali kita berjumpa di Medan, sepuluh tahun yang lalu dalam sebuah acara workshop antar iman.
Bhante tidak hanya mendengar ajaran-ajaran agama lain, Islam, Kristen, Katholik, Hindu dan para penghayat di Medan, tetapi Bhante juga bersenda gurau bersama dengan peserta yang lain. Walaupun pakainnya berupa jubah oranye, tetapi sikapnya tetap biasa. Bhante tetap rendah hati, saling bergurau dan melawak.
Rendah hati inilah prasyarat utama dalam toleransi. Dalam mempertajam sikap ini, rendah hati adalah pintu utama untuk memahami orang lain yang beriman agama lain, beribadah cara lain, berdoa dengan bahasa yang berbeda, dan berkeyakinan dengan Kitab Suci yang tidak sama.
Rendah hati akan membuka wawasan kita mendengar ajaran lain, yang sama sekali tidak kita sangka. Ternyata ada ajaran dan laku yang berbeda.
Bhante kita bahkan setelah acara di Medan itu berkelana ke pulau-pulau di Indonesia. Dia berniat untuk menjadi lebih Indonesia. Dia ingin memperdalam keindonesiaan dan ajaran-ajaran agama di Indonesia. Bhante tidak ragu-ragu untuk menginap dan tinggal di pesantren, kapel, gereja, pure dan tempat-tempat ibadah dengan mendaras Kitab Suci lain.
Bahkan di pulau Madura, Bhante sahabat saya mempertemukan kelompok yang berbeda dalam majelis tahlilan. Bhante ikut dan duduk bersama dalam tahlilan itu. Bahkan salah satu dari anggota jamaah tahlilan itu menikah dengan jamaah yang lain, yang pesantrennya berbeda. Karena perbedaan pesantren juga berimplikasi kelompok lain.
Bhante ikut serta dalam mempertemukan perbedaan itu. Dia membantu kelompok tahlilan yang berseberangan untuk bertemu dan berdialog. Kemudian pasangan dari pesantren dan kelompok tahlilan berbeda itu menikah. Bhante menghadirinya.
Sungguh indah perjalanan Bhante itu. Dia siap belajar. Dia terbuka. Dia bergaul seluas-luasnya.
Tentu Buddhisme di Indonesia adalah minoritas. Menjadi berbeda, apalagi dengan pakaian kain oranye yang dililit ke badan, tidak lah perkara mudah. Kemanapun pergi, Bhante menjadi perhatian. Ke kantor saya, banyak yang penasaran. Bahkan saya ajak podcast di Youtube channel saya: almakinbooks. Hasilnya bisa dilihat.
Toleransi bukan hanya berupa pengetahuan. Toleransi adalah sikap terbuka. Toleransi perlu dipelajari, bukan anugerah dari langit. Tidak ada yang terlahir toleran otomatis. Tidak ada masyarakat yang toleran tanpa perjuangan dan tanpa kepemimpinan yang mengarah pada toleransi.
Toleransi adalah program sosial. Toleransi itu disengaja dan diatur lewat aturan dan struktur sosial. Toleransi itu pendidikan, dari pribadi dan masyakarat.
Yang pertama kali saya pelajari dari Bhante ini adalah sikap rendah hati. Sikap yang terbuka untuk belajar darimana saja. Jika kita merasa tidak benar sendiri, tidak memegang asumsi dan tafsir kita atas realitas dengan ketat, memahami dunia secara luwes, dan siap untuk menerima yang berbeda, itulah toleransi.
Sikap ini perlu kita tanamkan pada diri sendiri, dan pendidikan kita, baik formal di sekolah dan kuliah ataupun informal, hendaknya ditanamkan dengan sengaja di kurikulum. Saat ini di Indonesia belum.
Jujur saja, dalam kurikulum dasar kita, setiap siswa diarahkan pada mendengar dan belajar satu agama saja. Agama lain dihindari karena takut konversi. Ketakutan pada agama lain ini terasa dalam berbagai kesempatan para siswa, bahkan dalam masyarakat kita.
Maka, jika ada tindakan intoleran dalam masyarakat kita, yang perlu kita lihat ulang, pikirkan, refleksikan, dan perhatikan adalah model pendidikan kita. Kurikulum mengenalkan keberagaman dan perbedaan haruslah menjadi prioritas kita saat ini. Toleransi bukan hasil dari proses ringan, sesaat, dan mudah.
Toleransi perlu usaha panjang yang disengaja. Toleransi perlu pendidikan yang didukung oleh kebijakan dari yang berwenang. Letupan-letupan intoleran bermuara dari pendidikan kita yang kurang menekankan toleransi. Pendidikan kita belum mencerminkan perbedaan agama, mazhab, ideologi, politik, dan tradisi.
Penulis adalah Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
BERITA TERKAIT: