SAYA jadi ingat cerita ludruk klasik. Cerita ini sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Lucu, ceritanya.
Suatu senja, sebuah cikar ditarik dua sapi�"gerobak sapi�"meninggalkan Mojosari, Mojokerto menuju Surabaya. Mojosari, kota kecil di kaki Gunung Welirang, adalah sebuah kota kecamatan, berada sekitar 18 km sebelah timur Mojokerto. Karena hawanya sejuk dan segar, kota kecamatan yang terletak sekitar 15 km utara Pacet ini, disebut sebagai Mozart van Java dan terkenal dengan bebeknya, bebek mojosari, kualitas unggulan.
Jarak antara Mojosari �" Surabaya, sekitar 85 km. Cikar itu mengangkut bambu. Berjalan pelan-pelan menyusuri jalan menuju Surabaya. Sepi, ketika itu, jalanan. Lewat tengah malam, sais cikar atau gerobak sapi itu, tertidur. Sapi berjalan terus menarik cikar menuju ke rumah pelanggan bambu, yang sudah dikenalnya. Sudah berkali-kali kedua sapi itu menarik cikar ke pelanggan yang sama.
Karena tidak dikendalikan, gerobak sapi itu berjalan terlalu ke tengah jalan. Kebetulan seorang Opas Polisi melihatnya. Opas Polisi tahu, bahwa sais-nya pasti tertidur. Tanpa berpikir panjang, Opas Polisi menghentikan gerobak sapi itu dan memutar arah, kembali ke Mojosari. Kedua sapi, menurut saja. Si sais, tidak tahu. Ia masih tidur pulas ditemani mimpi.
Dan, berjalanlah cikar, gerobak sapi itu kembali menuju Mojosari. Opas Polisi, tertawa melihat semua itu. Selepas subuh, kedua sapi dengan gerobaknya berhenti persis di depan kandang, balik kandang. Si sais terbangun. Ia terkaget-kaget, kok sudah di rumah, tidak di rumah pelanggan yang akan membeli bambunya.
Siapa yang mengendalikan gerobak sapinya kembali ke rumah, ke kandang? Siapa yang memutar-balik arah gerobak sapinya?
“Begitu ceritanya, Mas,†tulis Pakde yang mengirimkan cerita pendek ini.
IIPakde tidak banyak komentar. Tidak seperti biasanya. Ia hanya mengirimkan cerita tersebut.
Di bawah cerita, Pakde menulis, “mungkin euphoria reformasi Indonesia masih belum sampai membalikkan ‘Cikar Reformasi’.†Artinya, balik “pulang kandang†seperti gerobak sapi itu, yang pulang ke Mojosari tidak meneruskan jalan ke Surabaya. Gerobak sapi pengangkut bambu itu “balik kanan,†karena, saisnya tertidur. Tidak demikian dengan “Cikar Reformasi.â€
Sebab, sais “Cikar Reformasiâ€, sama sekali tidak tidur. Bahkan, tidak sempat tidur. Memejamkan matanya sekejap pun, tidak punya waktu. Memejamkan mata adalah sebuah kemewahan. Ia bekerja keras untuk mengendalikan kedua sapinya agar terus bergerak, maju ke depan menarik cikar sampai ke tujuan untuk mengantarkan bambu-bambu pesanan. Bila bambu-bambu terjual, maka akan memberikan kesejahteraan banyak petani bambu. Itu harapannya.
Akan tetapi, jalan ke “Surabaya†banyak gangguan. Ia terus diganggu oleh “Opas Polisi†yang ingin membalikkan arah gerak “Cikar Reformasi.†Dan, “Opas Polisi†sekarang beda dengan yang dulu. Dulu adalah kaki tangan penjajah Belanda. Sekarang, adalah manifestasi oligarki.
Kata Jeffre A Winters, oligarki tidak menunjuk pada sistem kekuasaan oleh sekumpulan pelaku tertentu. Oligarki menjabarkan proses dan tatanan politik terkait sejumlah kecil individu kaya yang bukan hanya berkuasa karena sumber daya material, melainkan juga terpisah karena berseteru dengan sebagian besar komunitas. Oligarki berpusat pada tantangan politik pertahanan konsentrasi kekayaan (Prisma, Vol.33, 2014).
Guru besar ilmu politik dari Universitas Northwestern, AS itu menambahkan, oligark adalah aktor yang diberdayakan oleh kekayaan�"sumber daya paling menonjol di antara bentuk-bentuk kekuasaan lainnya. Kekayaan yang jelas paling serba-guna dalam arti mudah diubah menjadi pengejawantahan kekuasaan yang lain. Penggunaannya berkisar mulai dari membeli jabatan dan hasil legal-politik sampai menyewa massa dan milisi bersenjata.
Banyak cerita berkait dengan jual-beli jabatan itu, mulai dari jabatan yang rendah sampai yang tinggi. Kasus di Probolinggo, sekadar menyebut sebagai salah satu contoh. Jatuhnya para pejabat, pemimpin daerah karena korupsi, contoh yang lain, tentang bagaimana dahsyatnya kekuasaan kekayaan itu. Demonstrasi bayaran, banyak dimuat media.
Dengan kata lain, mereka, para oligark, perkasa karena punya kuasa bersama atas sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya professional, dan sumber daya keuangan.
Itulah sebabnya, sais “Cikar Reformasi†harus berjuang keras, mengerahkan segala daya dan upaya untuk menghadapi para “Opas Polisi†yang adalah manifestasi para oligark. Pengaruh kaum oligark ada di mana-mana.
Saat sais bekerja keras, yang lain tidur nyenyak hingga mimpi,
ngelindur, dan bahkan ngoceh sesukanya dalam tidurnya. Dalam tidurnya, mereka merasa bekerja. Dalam tidurnya, mereka merasa telah melakukan banyak hal yang luar biasa, yang hebat. Dalam tidurnya ngelindur,
ngoceh tiada henti, mengatakan sais tidak mampu mengendalikan sapi penarik cikar, jalannya pelan, melenceng jalannya, goblok, dungu, tidak tahu arah jalan, dan sebagainya.
Mereka juga mengecam sais, menjatuhkan ultimatum akan menghukumnya karena dianggap tidak memenuhi tuntutan mereka. Bahkan, mereka mengancam akan memaksa sais turun dari cikar. Dan, berusaha merebut tali kekang.
Andaikata, oligarki dengan kaki-tangannya yang tersebar di mana-mana mampu merebut tali kekang, dan mengendalikan sapi penarik cikar, maka tak ayal lagi “Cikar Reformasi†akan balik kandang. Tentu, hal itu akan sangat melukai hati para petani bambu, yang sudah membayangkan kemakmuran dari jualan bambu.
IIIApakah oligarki akan abadi? Pasti tidak. Karena pada saat yang tepat mereka pun akan menggunakan “jurus renang katak†untuk menginjak pihak yang kalah dan menepis teman seiring. Hanya akan ada satu pemenang; otoritarian lagi. Begitu siklus kekuasaan kuno berulang kembali.
Persis seperti cerita ludruk, yang selalu di ulang-ulang …tetapi tetap bisa membuat orang tertawa…tertawa lepas dan bahkan tepuk tangan…
BERITA TERKAIT: