Memang, aktivitas mendengarkan musik audio streaming menurun selama pandemi. Tetapi, rupanya, orang hanya berubah dalam hal pola konsumsi media. Publik berbondong-bondong pindah ke
platform video streaming untuk menonton konser
live secara daring, videoklip, maupun rekaman penampilan lawas dari para musisi.
Studi yang dilakukan periset-periset Carnegie Mellon University (CMU), the Korea Advanced Institute of Science and Technology (KAIST), and City University of New York yang dilansir jurnal
Marketing Science baru-baru ini menunjukkan bahwa konsumsi musik audio melalui
digital streaming semacam
Spotify jatuh hingga 12.5 persen sejak setahun terakhir.
Orang mulai menghemat belanja musik lantaran pandemi juga menekan perekonomian yang berimbas pada instabilitas pendapatan. Penyebab lain yang lebih menonjol adalah berkurangnya aktivitas mobilitas manusia, baik dalam hal berkendara atau melakukan transit pada sebuah perjalanan. Aktivitas mendengarkan musik audio yang selama ini lebih identik sebagai teman bermobilitas seketika menyusut pasca terbitnya berbagai pembatasan mobilitas selama masa pandemi.
Meski demikian, aktivitas mendengarkan musik melalui platform video seperti youtube meningkat. Konsumsi melalui
platform video memerlukan fokus yang tinggi dari penyimaknya dan tak bisa dilakukan sebagai komplemen dari aktivitas menyetir atau naik moda transportasi publik. Kebutuhan musik dalam jenis ini meningkat secara dramatis di negara-negara yang memiliki banyak kasus Covid-19 atau di negara-negara yang menerapkan
lockdown serta pembatasan sosial yang ketat.
Pertunjukan musik secara
live di
Youtube atau
platform sejenis mungkin berhasil menggantikan kebutuhan untuk menyaksikan pentas-pentas musik secara
off air. Tak heran jika seniman musik di Indonesia pun beramai-ramai mengadakan konser
live atau mengunggah rekaman daring mereka ke wahana-wahana digital itu.
Para musisi juga kerap melakukan kolaborasi online dengan musisi-musisi lain yang lokasinya terpencar, dengan hasil kualitas sound yang tetap bagus. Pelbagai aktivitas rekaman musik tetap berjalan dan musisi tetap bisa produktif berkat bantuan teknologi digital. Syukurlah bahwa saat terjadi pandemi Covid-19 ini, pencapaian teknologi digital telah memungkinkan inovasi-inovasi dalam memproduksi dan mendistribusikan musik kepada publik.
Penurunan pasar musik audio streaming yang diiringi peningkatan jumlah pemirsa
video streaming itu setidaknya menandakan bahwa di masa pandemi, manusia memerlukan alat ekspresi perasaan dan emosi yang lebih utuh. Menonton pertunjukan musik secara live atau menonton video klip lebih menunjang terbentuknya lingkungan penciptaan perasaan atau emosi yang kerap pula disebut
soundscape (Prichard, C. dkk, 2017).
Di masa pandemi, banyak perasaan yang perlu ditumpahkan. Musik membantu agar tumpahan perasaan itu terbantu mencapai muaranya. Lewat musik, suasana kekhawatiran, ketakutan, kengerian pun dapat dikelola menjadi harapan dan keriangan. Apalagi, pandemi mengubah konstelasi dunia kerja. Banyak pekerja terpaksa menerima PHK, pengurangan gaji, atau perumahan sementara. Yang beruntung, musti beradaptasi dengan pola kerja dari rumah (WFH,
Work From Home). Tentu, musik berpotensi menjadi katalisator untuk beradaptasi dengan perubahan-perubahan tersebut.
Meski riset mengenai kaitan musik dengan kerja dan organisasi masih tergolong underexplored (Pruetipinultham &McLean, 2010; Landay & Harmas, 2019), beberapa studi terdahulu telah memberikan arah bagaimana memahami kaitan musik dan kerja dalam situasi pandemi ini. Musik, misalnya, berperan dan berdampak pada lingkungan kerja (contoh: Korzynski, 2005). Konsep, metafor dan representasi di dalam musik pun menjadi inspirasi untuk kerja, khususnya dalam pengelolaan dan pengorganisasian (contoh: Albert & Bell, 2002).
Dalam setting normal sebelum pandemi, berbagai riset mengungkapkan peran penting musik pada dunia kerja, seperti membangun produktifitas, semangat, kenyamanan, kebahagiaan, kekompakan, kerjasama, terapi, serta mendukung lingkungan untuk bersosialisasi dengan mitra bisnis. Sebuah riset yang dilakukan SONOS misalnya, menunjukkan bahwa 90% pekerja memiliki kinerja yang baik ketika mereka mendengarkan musik, 61% pekerja merasa lebih bahagia dan produktif ketika bekerja sambil mendengar musik, dan 88% merasa memiliki akurasi yang baik dalam pekerjaannya saat mendengarkan musik.
Ketika pandemi datang, dan banyak orang bekerja dari rumah, peran atau manfaat musik tidak banyak berubah. Pergeseran pola konsumsi media dari
platform audio ke
platform audio visual hanya menunjukkan kebutuhan medium yang membantu ekspresi perasaan dan emosi secara lebih kuat. Medium itu, barangkali, dirasakan lebih membantu pula mengatasi kecemasan-kecemasan yang hadir menyertai pandemi.
Dalam berbagai diskusi kelompok terfokus dengan para pekerja yang menjalani WFH, terdapat data yang menarik bahwa mereka rata-rata mengkonsumsi musik lebih banyak, mengeksplorasi genre musik dengan lebih bebas, juga kerap mampir ke musik-musik yang membawa mereka bernostalgia pada masa lalu. Di samping itu, terdapat pula ‘partisipasi musikal’ yang lebih aktif dari biasanya; mereka kerap mengupload atau membagi link musik di sosmed atau
Whats App, berkolaborasi membuat musik secara daring dengan teman-temannya untuk
event tertentu, serta antusias menonton konser
live secara daring.
Menyitir Witkin (2013), De Nora (2003), dan Adorno (1998), musik tampaknya telah menjadi afirmasi dari realitas yang melingkupi para pekerja saat ini: WFH dan pandemi. Musik juga telah menjalankan fungsi penyesuaian psikis pekerja dengan pandemi dan fungsi sosiopsikologis yang merekat hubungan sosial selama pandemi.
The last but not the least, musik juga menurunkan potensi kemarahan melalui kepatuhan ritmikal dan kepatuhan emosional.
Penulis adalah staf pengajar FEB UNPAD