Kita membutuhkan pengertian Pancasila yang tidak rumit, tidak terlalu banyak keterangan, tidak terlalu ilmiah atau birokratis, dan mudah diterima oleh pola pikir masing-masing dari kita.
Hak pemahaman terhadap Pancasila dari para pengusaha pecel lele di tenda-tenda di pinggir jalan, sama dengan hak pemahaman yang duduk di gedung-gedung tinggi di ibukota. Hak ibu-ibu pengusaha jamu gendongan, sama denga hak mereka yang duduk di kantor.
Pancasila memang untuk semua warga, posisi apa saja yang sedang ditempati. Membuat arti Pancasila sederhana merupakan tuntutan dan sekaligus tantangan bagi kita semua, supaya semua merasa memahami dan memilikinya.
Tidak ada yang meragukan kelengkapan keterangan dari tiga puluh enam butir dalam ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Ekaprasetia Pancakarsa. Keterangan tiga puluh enam butir itu sudah lengkap dan menyentuh. Butir-butir itu sudah dijabarkan secara bijak dan benar.
Namun, persoalannya bukan pada seberapa canggih uraian dan keterangannya. Tetapi sebaliknya, warga akhirnya tidak sepenuhnya percaya pada kelengkapan dan kehebatan tafsir itu, karena yang mengatakan dan menyebarkan akhirnya tidak menjalaninya sesuai dengan yang dijanjikan.
Bukan soal tafsir dan keterangannya, tetapi perilaku dan sikap kita, sehingga era pemerintahan tempo itu tidak bertahan. Tentu saja tafsir ada pasang dan surutnya.
Ketika Orde Baru runtuh tahun 1998, seluruh butir-butir itu juga mengikutinya, sebagaimana termaktub dalam ketetapan MPR No. XVIII/MPR/1998.
Sedangkan versi setelah reformasi sesuai dengan ketetapan MPR No. I/MPR/2003 memuat 45 butir yang lebih rinci lagi. Perbedaan makna dan tafsir tidak begitu mencolok, dan mungkin tidak berasa, karena persoalan sosialisasinya. Perbedaan dua tap MPR era Orde Baru dengan era Reformasi terletak pada metode penyebarannya.
Era Orde Baru Pancasila diajarkan dengan begitu sistematis: sekolah dasar, menengah, atas, dan perguruan tinggi. Pendidikan formal, informal, dan perkumpulan di masyarakat selalu didasari Pancasila. Sedangkan pada TP MPR no. 1/MPR/2003 belum terlihat skema pengenalan secara massal sebagaimana yang terjadi di era Orde Baru.
Pemerintahan setelah Reformasi ini tidak lagi mengadakan penataran, debat, diskusi, dan berbagai sosialisasi Pancasila. Tidak ada lagi ruang doktrinisasi sebagaimana era Orde Baru.
Apakah kita membutuhkan itu?
Yang kita butuhkan adalah kesederhanaan, tetapi dengan bukti yang gamblang. Untuk apa keterangan dengan berbagai kata indah dan kalimat mahligai, tetapi pada perilaku dan sikap kita kurang memperkuat pesan dan kesan ke arah itu.
Era demokrasi langsung dengan sistem multi-partai ini membutuhkan kesederhaan pola pikir dan kesesuaian dengan apa yang terjadi. Upaya kita adalah realitas dan idealitas supaya berjumpa.
Itulah yang kita butuhkan. Bukan idealitas terlalu kompleks, sehingga idealitas berjalan sendiri tanpa berjumpa realitas. Realitas dan idealitas jangan biarkan berpisah.
Undang-undang, keputusan, dan peraturan supaya berjumpa dengan kenyataan di lapangan. Itulah kesederhanaan.
Era multi-partai demokrasi langsung ini melahirkan banyak partai. Pemahaman sederhana kadangkala sulit didapat. Multi-partai penuh dengan kompleksitas dan dinamika yang sepenuhnya tidak mudah difahami.
Apa yang terjadi tidak sepenuhnya kita fahami, meskipun banjir informasi dan desas desus di berbagai media.
Satu partai memang sangat sederhana, seperti di China. Semua perintah satu saja. Akibatnya tidak ada alternatif suara, tidak ada oposisi. Semua hanya mengikuti satu atasan. Di bawah harus megngikuti derap di atas. Itu saja.
Dua partai sedikit rumit, seperti di Amerika: Demokrat atau Republikan. Ada partai yang sedang berkuasa dan memerintah, serta ada yang berperan sebagai oposisi dan penyeimbang.
Kita di era Reformasi ini menganut banyak partai, antara pemerintah dan oposisi saling beririsan. Satu dengan yang lain bisa berpindah haluan, baik mendadak atau pelan-pelan atau lambat laun.
Model multi-partai jauh lebih dinamis dari pada model satu partai atau model dua partai. Maka dari itu, kita membutuhkan kesederhanaan pemahaman: yaitu kejujuran.
Kita mungkin beruntung era ini juga sekaligus diikuti oleh era keterbukaan, berkat teknologi informasi dengan kecepatan dan keluasan jangkauan.
Informasi darimana saja sudah ada di whatsapp group atau Facebook. Instagram dan Twitter dipenuhi dengan informasi, yang kadangkala tidak kita butuhkan.
Informasi melebihi dari kebutuhan dan rasa ingin tahu kita. Sebelum revolusi informasi dan teknologi, informasi begitu berharga. Saat ini, saringan informasi yang lebih dibutuhkan, untuk membedakan mana yang berita dan mana yang hoaks. Kita memimpikan kesederhanaan: saringan kejujuran.
Soekarno dulu memberi jalan ringkasan dari Pancasila menjadi trisila (sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan ketuhanan yang berkebudayaan), lalu menjadikannya lagi eka sila: gotong royong.
Saat ini mungkin kita juga membutuhkan contoh kesederhanaan itu, barangkali dengan bahasa lain yang sesuai dengan kondisi dan bisa jadi adalah jalan keluar dari kerumitan itu: kejujuran.
Penulis adalah Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
BERITA TERKAIT: