Jokowi berulang merespon dengan keras sekali. Itu isu ingin menjebloskannya. Seolah itu isu menyanjungnya, tapi Jokowi segera menjadi
the common enemy.
Jokowi segera dianggap lawan dari spirit reformasi. Baik di Indonesia ataupun di Amerika Serikat, amandemen UUD itu dibuat membatasi kekuasaan cukup dua periode. Ini kok melawan spirit reformasi, bukan membatasi kekuasaan, malah menambahnya?
Megawati selaku partai utama pengusung Jokowi juga sudah merespon. Dan merespon dengan sinis sekali. Menurut Megawati, politisi dibalik isu ini (jika ada), dia lah yang sebenarnya ingin tiga periode jika ada kesempatan.
Prabowo tak terdengar responnya. Tapi cukup melihat common sense saja. Prabowo sudah dua kali menjadi Capres. Apa iya, Ia mau turun pangkat kembali menjadi cawapres?
Bukankah jika menjadi Capres, jika menang, Gerindra bahkan juga bisa menjadi partai terbesar? Apalagi sangat mungkin tahun 2024 adalah pilpres terakhir yang Prabowo ikuti.
Jokowi, Megawati dan Prabowo adalah pelaku utama jika isu Jokowi tiga periode berjalan, dengan pasangan Jokowi- Prabowo.
Tapi di kandangnya sendiri, tiga pelaku utama itu yang sudah membunuh isu Jokowi tiga periode.
Isu yang riel dihadapi PDIP dan Megawati bukan Jokowi tiga periode. Tapi isu yang kini diistilahkan dengan Teh Botol Puan Maharani.
Agar lengkap, saya tambahkan satu lagi, Nasi Ganjar Pranowo.
Teh botol mempunyai iklan yang sangat populer: “Apapun makanannya, minumnya Teh Botol (Sosro)".
Teh botol menjadi pendamping apapun menu utama. Teh botol dikiaskan dengan posisi Puan Maharani. Siapapun Capresnya, jika ingin tiket PDIP, Puan Maharani Cawapresnya.
Mengapa posisi Puan Maharani hanya Cawapres? Itu melihat elektabilitas Puan Maharani yang pada bulan Juni 2021, juga bulan sebelumnya, tak pernah lebih dari 2 persen.
Padahal capres lain sudah di angka elektabilitas belasan persen, bahkan sedikit di atas 20 persen.
Aura Puan Maharani dianggap bukan aura menu utama. Bukan aura Capres. Aura itu terlihat dari daya terima publik yang meresponnya.
Padahal Puan sudah dikenal oleh 61 persen populasi Indonesia. Sementara Ganjar Pranowo baru dikenal oleh 59 persen populasi Indonesia. Tapi elektabiltas Ganjar Prabowo 15,5 persen. (1)
Elektabilitas Ganjar 7 kali lipat elektabilitas Puan dalam posisi Ganjar dikenal lebih sedikit dibandingkan Puan.
PDIP kini memiliki kursi di DPR sebesar 128 kursi. Total kursi DPR 575 kursi. Kursi PDIP di atas 20 persen. PDIP satu satunya partai yang bisa mencalonkan pasangan Capres-Cawapres 2024, tanpa perlu koalisi dengan partai manapun.
Bukankah aman bagi PDIP hanya mengambil tiket Cawapres, bagi Capres manapun yang mungkin menang?
Karena tiket ada di PDIP, walau nanti Puan hanya Cawapres, tapi PDIP akan negosiasi untuk tetap mendominasi pemerintahan. Bukankah PDIP pemilik tiket? Bukankah PDIP pemegang saham mayoritas?
Isu Teh Botol Puan Maharani jelaslah isu yang kuat.
Tapi ada kelemahan utama isu ini. Jika Capresnya datang dari partai yang berbeda, katakanlah Gerindra dengan Prabowo sebagai Capres, ini sama dengan PDIP memberi panggung kepada Gerindra untuk mengalahkan PDIP di pemilu legeslatif untuk menjadi partai terbesar.
Sangat jelas, partai capres, bukan partai cawapres, yang akan dilirik pemilih. Apalagi dalam pemilu serentak Pilpres dan Pileg di hari yang sama.
Relakah PDIP selaku partai terbesar pemilu 2019, juga pemilu 2014, menyerahkan tahta kepada Gerindra menjadi terbesar di tahun 2024, dengan cara paling mudah: memberikan kursi Capres kepada Prabowo selaku ketum Gerindra?
PDIP mempunyai isu kedua. Ganjar Pranowo. Ia juga kader PDIP. Menjadi anggota DPR, lalu Gubernur Jateng dua periode juga melalui PDIP.
Elektabilitas Ganjar Pranowo selalu berada di tiga besar elektabilitas Capres 2024.
Aura Ganjar bukan Aura Teh Botol (pendamping menu utama). Ia adalah menu utama itu sendiri, salah satu pilihan menu utama.
Kasus Ganjar terbalik dengan Puan Maharani. Ganjar ibarat nasi. Yang utama adalah nasi. Lauk pauknya silahkan apa saja. Lauk pauk lebih sebagai pendamping. Nasi yang utama.
Dengan Ganjar sebagai Capres PDIP, maka PDIP tetap menjadi tiket partai dengan Capresnya sendiri.
Tapi Ganjar Pranowo akan memberikan komplikasinya sendiri.
Megawati lahir di tahun 1947. Kini di tahun 2021, usianya sudah 74 tahun. Di tahun 2024, usianya 77 tahun. Di tahun 2029, Pilpres berikutnya, usianya 82 tahun.
Megawati sudah terlatih melawan semua rezim. Ia terlatih menjadi oposisi. Ia bersebrangan dengan Pak Harto ketika Pak Harto sangat berkuasa.
Megawati apalagi juga terlatih menjadi penguasa. Ia anak presiden. Ia pernah menjadi presiden. Kini kader partainya, Jokowi, menjadi presiden.
Tapi ada yang tak bisa dilawan Megawati. Yaitu kearifan usia. Bagaimanapun usia terus menua. Bagaimanapun pada waktunya tahta harus diserahkan.
Jika datang itu waktu, tahta diserahkan, ketum PDIP, kepada siapa tahta diserahkan?
Jika Ganjar Pranowo menjadi presiden saat tahta itu diserahkan kepada siapapun yang dipilih Megawati, dan Ganjar saat itu sedang populer, sangat mungkin Ganjar terlalu kuat untuk diabaikan sebagai Ketum PDIP berikutnya.
Di sinilah komplikasi Ganjar Pranowo jika Ia yang menjadi Capres PDIP 2024. Terutama jika Ia terpilih dan kembali menjadi Capres PDIP 2029.
Isu besarnya adalah PDIP lepas dari Trah Soekarno. Tidak dari Megawati ke Puan atau anak Megawati yang lain: Prananda. Tapi ke “Bukan Trah Soekarno,â€: Ganjar Pranowo.
Pertarungan Trah Soekarno versus bukan Trah Soekarno selaku pelanjut ketum PDIP jelas akan menjadi isu besar partai ini. Kedua isu itu memiliki daya tarik sendiri.
Daya tarik Trah Soekarno sangat besar bagi pengagum Bung Karno. Juga pasti bagi Puan Maharani. Sedangkan daya tarik ketum PDIP “Bukan Trah Soekarno,†memiliki daya tarik bagi pendukung besar PDIP lainnya, agar menjadi partai modern dan terbuka.
Bahkan mungkin lebih besar dibandingkan isu siapa Capres PDIP 2024.
Siapa Capres PDIP 2024 sepenuhnya tergantung Megawati. Tapi siapa pengganti Megawati berikutnya selaku ketum PDIP, ketika Ganjar menjadi presiden dan popular, itu tak tergantung Megawati lagi.
Ini komplikasi jika Ganjar Pranowo diberi tahta Capres 2024.
Teh botol Puan Maharani, Puan sebagai pendamping (Cawapres) memiliki komplikasi. Nasi Ganjar Pranowo, Ganjar selaku menu utama (Capres) juga memiliki komplikasi.
Bagaimana jika Puan Maharani sendiri sebagai Capres PDIP?
Puan masih memiliki waktu dua tahun untuk meningkatkan elektabilitasnya.
Pilihan PDIP menjadi tiga: Teh Botol Puan Maharani (Puan sebagai Cawapres), Nasi Ganjar Pranowo (Ganjar sebagai Capres) atau Nasi Puan Maharani (Puan sebagai Capres).
Yang manapun pilihannya, yang pasti di tahun 2024, pilihan PDIP bukan Jokowi tiga periode. Itu Jokowi tiga periode justru membuat Jokowi ataupun PDIP dicatat dengan tinta hitam dalam sejarah, karena membalikkan spirit reformasi.
Penulis adalah pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA
BERITA TERKAIT: