Satgas Penanganan Covid-19 mencatat, pada 7 hingga 13 Juni 2021 terjadi lonjakan kasus positif Covid-19 sebesar 38,3 persen dibanding pekan sebelumnya. Jumlah kematian dalam sepekan terakhir juga mengalami kenaikan sebesar 4,9 persen dibanding pekan sebelumnya.
Jumlah penderita Covid-19 hingga hari Sabtu (19/6), tercatat 1.963.266 orang; yang meninggal 54.043 orang; yang sembuh, 1.779.127 orang (Worldometer). Sehari sebelumnya, Jumat (18/6),
Kompas.com memberitakan penambahan kasus baru Covid-19 di Jakarta mencatat rekor tertinggi sejak Maret 2020, yakni 4.737 kasus.
Menurut data yang disiarkan
Kantor Berita Antara, Sabtu (19/6), jumlah penderita yang terkonfirmasi di Jakarta, 448.071 orang; Jawa Barat 328.940 orang; Jawa Tengah 215.684; Jawa Timur 159.059 orang; dan Yogyakarta 48.751 orang.
Jumlah penderita yang meninggal di Jakarta 7.453 orang, Jabar 4.427 orang, Jateng, 9.603 orang, Jatim 11.707, dan Yogyakarta 1.275 orang.
Semua itu menjelaskan bahwa pandemi masih terus menancapkan luka yang dalam, menyingkapkan kerapuhan kita. Tidak hanya di Indonesia, di setiap benua ada banyak orang yang terjangkit dan banyak yang meninggal.
Virus tidak membeda-bedakan. Tidak peduli, menyerang siapa saja: entah itu orang miskin atau orang kaya, orang kota atau orang desa, orang terpelajar atau kurang terpelajar, pejabat atau rakyat biasa, orang rendah hati atau orang sombong, pria atau wanita, orang-orang tua atau anak-anak. Semua bisa menjadi sasarannya.
Namun, masih banyak juga anggota masyarakat—bahkan pemimpin masyarakat—yang tidak peduli, menganggap remeh serangan Covid-19 ini; masih ngeyel, tidak mau mengikuti protokol kesehatan.
Apa yang terjadi di Kudus, Jawa Tengah, bisa menjadi contoh, betapa dahsyatnya serangan Covid-19 itu. Kota itu ditutup total.
Di tingkat internasional, tragedi India sangat jelas menggambarkan akibat serangan Covid-19. Hanya dalam dua bulan terakhir hingga hari Sabtu (19/6), tercatat 180.000 orang meninggal (
ABC News). Dan, dalam 24 jam terakhir (Sabtu) tercatat 60.753 kasus baru.
Banyak orang dan banyak keluarga menghadapi saat-saat ketidakpastian, karena berbagai persoalan sosial-ekonomi yang menyertai pandemi ini. Hal itu, terutama yang dialami oleh orang-orang miskin, sangat miskin. Hal yang sama juga terjadi di negeri ini.
IIPandemi menyingkapkan situasi buruk: kesenjangan sosial. Pandemi ini menyingkapkan betapa rentan dan saling berhubungan kita satu sama lain. Jika kita tidak saling mempedulikan satu sama lain, mulai dari yang paling lemah, dengan mereka yang paling terkena, kita akan semakin terpuruk.
Sangatlah terpuji upaya begitu banyak orang yang telah memberikan bukti kasih insani kepada sesama, membaktikan diri mereka kepada mereka yang sakit betapapun ada risiko terhadap kondisi kesehatannya sendiri.
Mereka itu adalah para pahlawan! Mereka tidak berteriak-teriak dari atas mimbar, lewat televisi, lewat media sosial dan disebarkan ke mana-mana. Tetapi, mereka bertindak bahkan mempertaruhkan nyawanya.
Bolehlah disebut di antara orang-orang yang masih memiliki kepedulian kepada sesama itu adalah penyanyi Agnez Mo. Penyanyi kondang ini, menurut berita yang tersebar, mendirikan klinik di sebuah lapangan dengan fasilitas untuk mereka yang ingin mendapatkan vaksin Covid-19 gratis.
Klinik yang dibangun di sebuah lapangan terbuka ini merupakan tindakan nyata Agnez Mo, bagi sesama. Ada kurang lebih 60 tenaga kesehatan dan 120 relawan non tenaga kesehatan yang mendukung. Melalui unggahan di akun Instagramnya, Agnez memperlihatkan seperti apa klinik yang sebenarnya sudah berjalan beberapa waktu.
Apa pun alasannya, yang dilakukan Agnez Mo menunjukkan pilihannya pada prinsip solidaritas, keberpihakan kepada mereka yang sangat membutuhkan, kepeduliannya kepada kepentingan umum, dan prinsip martabat pribadi. Solidaritas membantu kita melihat orang lain tidak sebagai alat tetapi sebagai sesama. Solidaritas adalah benih bagi tumbuhnya persatuan dan kesatuan masyarakat.
Apakah Agnez Mo memikirkan semua itu? Barangkali tidak. Tetapi, ia berbuat! Agama mengajarkan, “Berilah dan kamu akan diberiâ€. Nasihat orang bijak pun menegaskan, “Siapa menaruh belas kasihan kepada orang yang lemah, memiutangi Tuhan, yang akan membalas perbuatannya ituâ€.
Apakah karena akan mendapat imbalan sehingga kepedulian kepada sesama itu dilakukan? Mahatma Gandhi pernah mengatakan, berbuatlah, tetapi jangan mencari buah perbuatanmu. Perbuatanmu mengalirkan siapakah dirimu sebenarnya. Itulah buah. Hal ini sedikit banyak seperti jatuh cinta—ketika cinta mengalir ke luar begitu saja kepada orang yang Anda cintai.
IIIKepedulian sosial adalah sikap mengindahkan (memprihatinkan) sesuatu yang terjadi dalam masyarakat. Begitu menurut menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Peduli kepada sesama—baik yang kita kenal maupun yang tidak kita kenal.
Kepedulian sosial adalah ungkapan solidaritas. Solidaritas tidak hanya hakikat sosialitas manusia dan kemanusiaan, tetapi juga tugas umat beriman. Bukankah ada ajaran, “iman tanpa perbuatan adalah sia-siaâ€, “beriman, bersaudara dan berbela rasa merupakan kesatuan hakiki keberagamaan dan keberimananâ€.
Sikap semacam itu sangat dibutuhkan ketika bangsa ini tengah berjuang keluar dari krisis. Pandemi Covid-19 benar-benar menimbulkan krisis. Krisis dalam segala-galanya, termasuk krisis kemanusiaan yang begitu dalam.
Dalam situasi seperti ini, kita harus menyadari bahwa kita berada dalam satu perahu. Karena dalam satu perahu, perahu Indonesia, kita harus bersama-sama mengupayakan keselamatan sebagai satu persaudaraaan, bukan sebagai individu, bukan sebagai kelompok eksklusif. Indah rasanya bersolider sebagai saudara.
Pandemi Covid-19 semestinya membuka topeng egoisme. Pandemi semestinya juga menyingkap kenyataan bahwa kita telah mengabaikan harta bersama yang paling berharga: menjadi saudara satu sama lain. Itu berarti, kita tidak bisa keluar dari krisis bila tidak bersama-sama, saling dukung, saling membantu, saling peduli.
Akan menjadi seperti apa, setelah kita keluar dari krisis nanti? Tidak ada yang tahu secara pasti: entah menjadi lebih baik atau lebih buruk. Namun kita musti keluar menjadi lebih baik. Saat ini kita memiliki kesempatan untuk membangun sesuatu yang berbeda.
Negeri kita membutuhkan orang-orang yang memiliki kepedulian sosial tinggi, yang mau menyingsingkan lengan bajunya dan bekerja membantu sesama di zaman yang sangat sulit ini.
Yang dibutuhkan negara adalah orang-orang yang memiliki hati, bukan orang tak berhati atau hatinya telah membatu. Bukan orang-orang yang hanya berteriak-teriak mengkritik sana mengkritik sini, mencela sini mencela sana, menganggap dirinya paling hebat, menganggap dirinya paling suci, bersih, soleh, dan menjadi “Dewa Kipas Anginâ€â€¦
BERITA TERKAIT: