Bagi seorang pemimpin yang menganut faham ini, uang merupakan sumber daya yang sangat penting bagi kepemimpinan. Semakin banyak uang yang bisa dikelola, maka semakin tinggi derajat kepemimpinan yang bisa diraih.
Selanjutnya, semakin tinggi tingkat kepemimpinan yang bisa diraih, maka semakin besar kekuasaan yang bisa digenggam, kemudian dengan kekuasaan tersebut semakin banyak materi bisa dikumpulkan. Demikianlah siklus materi-kepemimpinan-kekuasaan.
Dalam hubungan kepemimpinan, kekuasaan, dan uang, Lord Acton melihat besarnya previladge yang dimiliki oleh seorang pemimpin, yang membuatnya rentan terhadap godaan menyalahgunakan kekuasaan, sehingga melahirkan ungkapan yang sangat terkenal:
Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.
Lawan dari faham materialisme adalah asketisme yang dalam bahasa Arab disebut zuhud, berarti faham yang meninggalkan kesenangan duniawi, pelakunya disebut Zahid. Dalam Islam faham ini berpijak pada kalimat:
Mataul gurur yang berarti: kebahagiaan yang semu, dalam menggambarkan kehidupan di dunia, yang banyak sekali muncul dalam ayat-ayat Al Qur'an.
Bagi kaum sufi yang berkumpul dalam berbagai kelompok tarekat, praktik zuhud dalam berbagai bentuk amalan seperti hidup bersahaja, menjauhkan diri dari berbagai aktifitas yang berpotensi menimbulkan dosa, serta memperbanyak ibadah, dilakukan sebagai bagian dari upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT, sang khaliq.
Para ulama banyak sekali yang memilih zuhud sebagai jalan hidup (
way of life), akan tetapi dalam tarikh Islam sedikit sekali menceritakan para pemimpin Islam yang menjalani hidup seperti ini. Diantara yang sedikit itu antara lain Rasulullah Muhammad SAW.
Sebelum menerima wahyu, Muhammad adalah seorang pengusaha yang sukses. Ia kemudian meminang parner bisnisnya, Khadijah yang juga pengusaha sukses terpandang, dengan mahar (mas kawin) 20 ekor unta (lebih dari 1 miliar rupiah).
Setelah menerima wahyu, Rasulullah mendermakan seluruh kekayaannya untuk kepentingan Ummat. Khadijah yang menjadi pendukungnya sejak awal, kemudian mengikuti jalan hidup suaminya. Keduanya menjalani kehidupan zuhud, sampai keduanya seringkali menahan lapar, sementara tempat tinggalnya berupa rumah kecil berlantai tanah dan beratap pelepah kurma.
Berikutnya Khalifahu Rasyidin mengikuti jejak Rasulullah menjalani kehidupan zuhud. Dari empat khalifah ini, Abu Bakar dan Usman bin Affan yang dikenal sebagai pengusaha sukses memiliki kegemaran berderma, sampai-sampai Rasulullah sering menahannya. Setelah mendapat amanah sebagai khalifah, kegemarannya berderma bukannya berkurang, bahkan semakin meningkat.
Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib, merupakan dua khalifah yang menjalani kehidupan zuhud sejak belia. Jika Umar menyibukkan dirinya pada urusan perang dan perlindungan ummat, Ali menyibukkan dirinya pada urusan ilmu.
Saat Ali melamar Fatimah anak Rasulullah, ia bingung ketika ditanya mahar yang akan diberikan kepada putri kesayangannya oleh sang calon mertua, karena dirinya tidak punya apa-apa. Lalu Rasulullah memberi jalanekeluar, dengan menyuruhnya mengambil rompi yang biasa digunakannya saat berperang sebagai mas kawinnya.
Selain dari Khalifahu Rasyidin, pemimpin Islam yang tercatat menjalani kehidupan zuhud adalah Umar bin Abdul Aziz. Umar bin Abdul Aziz adalah cucu dari Umar bin Khattab, dari anak laki-lakinya yang dinikahkan dengan seorang gadis, putri seorang penjual susu.
Saat diangkat menjadi Khalifah, Umar bin Abdul Aziz meninggalkan singgasana dan istana tempat bertahta pendahulunya. Ia kemudian memilih tempat tinggal sederhana dan menjalani hidup bersahaja.
Walau istri dan sejumlah bawahannya terus-menerus menentang pilihan hidupnya. Akan tetapi Umar tetap bergeming. Sejarah kemudian mencatat, tidak ada rakyatnya yang miskin, sampai-sampai pembayar zakat kebingungan kepada siapa zakat harus diberikan.
Di luar nama-nama di atas tidak muncul pemimpin Islam yang menjalani hidup zuhud. Kebanyakan justru menjalani kehidupan sebaliknya. Bahkan tidak cukup dengan kehidupan mewah bergelimang harta, akan tetapi juga diikuti dengan tindakan menghambur-hamburkanharta, yang tidak jarang kemudian bermuara pada malapetaka.
Penulis adalah pengamat politik Islam dan demokrasi
BERITA TERKAIT: