Seperti biasanya, Guru menebar senyum sejuknya kepada kami. Senyuman yang membuat kami semua merasa nyaman, merasa terlindungi, merasa betul-betul serasa di rumah, merasa
ayem lan tentrem atine, benar-benar merasa satu saudara meski kami berbeda-beda suku, etnik, ras, dan juga agama. Perbedaan itulah kekuatan kami.
Bukankah sedari awal penciptaan dunia, segala sesuatunya dalam keanekaragaman. Ada terang ada gelap, ada matahari, ada bulan dan bintang, pegunungan maupun pantai/laut, aneka tumbuhan dan hewan, baik di darat dan di laut. Manusia-pun ada pria dan wanita. Bahkan, tubuh manusia juga terdiri dari anggota-anggota tubuh yang berbeda baik sifat maupun fungsinya.
Perbedaan manusia merupakan fenomena kodrati manusia. Keadaan semacam ini tidak bisa dihapuskan, karena menentang hukum alam. Di negeri ini—ada Jawa, ada Sunda, ada Bali, ada Flores, ada, Papua, ada Maluku, ada Ambon, ada Manado, ada Bugis, ada Dayak, ada Banjar, ada Aceh, ada Padang, ada Palembang, ada Madura, dan sebagainya.
Semua itu tidak bisa dihapus. Ibarat kata seperti organ-organ dalam tubuh manusia atau binatang yang beraneka ragam. Tidak bisa dihapus. Agama pun berbeda-beda. Di dunia ini tidak hanya satu agama. Dalam keanekaragaman manusia, dan seluruh alam ciptaan itu makin terlihat kemuliaan, keindahan dan kebesaran Tuhan.
Guru berdehem kecil sebelum mulai bicara. Kami pun segera diam.
Hari ini, kata Guru mengawali piwulangan-nya pagi ini, dengan sengaja aku akan mengutip pendapat seorang guru besar yang baru saja meninggal. Ia berhenti sebentar, menebarkan pandangan matanya kepada kami semua. Guru Besar Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada itu, Prof Cornelis Lay MA, mengatakan demikian:
“Bagi saya, ujian terbesar seorang intelektual bukanlah pada kemampuan untuk memaki kekuasaan dan para pelakunya, tetapi justru ketika ia (seorang intelektual) bisa bersahabat dengan kekuasaan sembari tetap mampu menjaga kewarasan dan karakter dasar intelektual: berpikir bebas dan bertindak bijak bagi kepentingan kemanusiaan.â€
Sangat benar yang dikatakan Profesor Cornelis, kalau hanya untuk memaki saja, tidak perlu seorang intelektual. Setiap orang bisa memaki. Sekarang ini, orang mudah memaki siapa saja, yang dirasa, dianggap, dipandang tidak hanya tidak sepaham, sealiran, tetapi siapa yang saja yang tidak disukai, yang telah mengecewakan, yang telah melakukan suatu kebijakan yang tidak sesuai kehendaknya, pasti dimaki.
Makian disebar di mana-mana: lewat media sosial—ini yang paling jamak; lewat televisi, juga lewat radio. Bahkan juga dipanggung-panggung demonstrasi. Yang memaki itu merasa dirinya paling hebat, paling pintar, paling pandai, paling tahu persoalan, paling mumpuni, paling bersih, dan serba paling yang lain. Orang lain, yang dimaki, dianggap sebagai orang yang paling bodoh sedunia.
Guru berhenti sebentar setelah bicara dengan penuh semangat, tidak seperti biasanya sareh. Tetapi, kali ini seperti ada yang mengganjal dalam hatinya. Kami semua paham, mengapa Guru begitu, agak emosi, sebab dia juga manusia biasa.
Lalu Guru berkata: Menjaga kewarasan di zaman sekarang ini sangat penting. Banyak orang yang menuding orang lain tidak waras, padahal dirinya sendiri justru yang tidak waras. Inilah yang oleh RNg. Ranggawarsita disebut zaman edan. Begitu banyak orang edan, orang yang tidak memiliki kewarasan.
Gelar boleh doktor, bahkan lulusan luar negeri, atau apapun gelar akademis yang tinggi-tinggi. Tetapi, semua itu tidak menjamin akan kemampuan menjaga kewarasan dan karakter dasar intelektual: berpikir bebas dan bertindak bijak bagi kepentingan kemanusiaan, seperti yang dikatakan Profesor Cornelis.
Dengarkanlah, akan aku kutipkan yang pernah dikatakan ulama besar Abu Abdullah Muhammad bin Idris As Syafi’i, atau Imam al-Syafi’I (150-204 H atau 767-820 M), tentang perbedaan, tentang menghormati orang lain sekalipun berbeda. “Pandanganku benar, namun ada kemungkinan salah, sedangkan pandangan orang lain salah, namun ada kemungkinan benar.†Begitu katanya.
Dengan mengatakan seperti itu, Imam al-Syafi’i tidak memonopoli kebenaran tetapi memberikan ruang berbeda pendapat. Dengan kata lain, Imam al-Syafi’i menghargai perbedaan.
Sikap semacam inilah, yang oleh Profesor Cornelis, dicatat sebagai sikap seorang intelektual. Sikap yang melihat perbedaan sebagai menjadi rahmat yang mendamaikan, bukan sebaliknya menjadi sumber konflik, sumber perpecahan.
Tiba-tiba seorang murid bertanya, setelah Guru menyeruput tehnya. Guru, mohon maaf, mengapa Guru lebih senang minum teh bukan kopi?
Mendengar pertanyaan itu, Guru tersenyum. Lalu berkata: Ingatkah kalian yang dulu pernah kukatakan tentang kehendak bebas yang dianugerahkan oleh Sang Pencipta kepada manusia? Tentang masalah ini, pernah kita bicarakan di pendopo ini. Dengan anugerah kehendak bebas itu, manusia diberi kebebasan untuk memilih dan membuat keputusan akhir seturut kehendaknya sendiri.
Manusia juga adalah mahkluk yang berakal budi—inilah yang membedakan manusia dengan binatang dan ciptaan lainnya—juga mahkluk memiliki martabat seorang pribadi. Dengan itu, manusia memiliki kebebasan bertindak seturut kehendaknya sendiri dan menguasai segala perbuatannya. Kita semua, memiliki kebebasan, kemerdekaan untuk “memilih yang ini†atau “memilih yang ituâ€, untuk “menolak yang ini†atau “menolak yang itu.â€
Kebebasan pertama-tama memang merupakan berkait dengan kemampuan untuk memilih dan menentukan diri sendiri. Egomet sum mihi imperator, akulah yang menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri. Begitu kata Plautus (254-184), penulis naskah-naskah drama.
Oleh karena manusia adalah mahkluk yang berakal budi dan bermartabat, maka diharapkan keputusan yang diambil dengan kehendak bebas tersebut bisa dipertanggung jawabkan. Kalau, misalnya, keputusannya salah, tentu adalah tanggung jawab manusia sepenuhnya.
Sebab, manusia bisa dikatakan adalah sekaligus arsitek, pelaksana, dan penanggung jawab tunggal atas kehidupannya sendiri. Manusia adalah tuan atas tingkah lakunya, kata Ireneus (125-303), seorang tokoh agung dari Smyrna, Asia Kecil.
Maka itu, Imam Al Ghazali (1058-1111), seorang sufi, teolog, dan filsuf terbesar dalam Islam dari wilayah Khurasan, Iran timur laut, mengatakan, “Siapa saja yang meyakini setiap jiwa sebagai permata tidak ternilai, ia pun berhati-hati agar tidak menyia-nyiakan (harus dengan tanggung jawab sebagai mahkluk yang berakal budi dan bermartabat)…termasuk faedahnya adalah mampu mengutamakan orang lain dan mencapai keutamaan.â€
Tetapi, kusampaikan pada kalian lagi apa yang dikatakan oleh Guru Besar Profesor Cornelis, bahwa “banyak intelektual (mahkluk ciptaan yang memiliki kehendak bebas, berakal budi, dan bermartabat) terjangkit sindrom superioritas yang secara keliru mengira dirinya unggul secara intelektual dan moral di hadapan kekuasaan.
Oleh karena itu, kemudian bertindak sesuka hatinya. Merasa paling hebat dalam segala-galanya, secara intelektual dan moral di hadapan kekuasaan. Padahal, kehormatan sejati manusia terletak pada kualitas moralnya, yaitu di dalam hal kebajikan. Suatu tindakan baru bernilai moral kalau mendukung dan menjamin keselarasan umum. Dengan kata lain, kebebasan yang benar hanya terdapat dalam pengabdian kepada yang baik dan adil.
Guru diam sesaat. Kami semua memikirkan apa yang dikatakan Guru, yang bagi kami sangat sulit. Lalu Guru melanjutkan: Ingatlah apa yang dikatakan oleh Guru Besar Prof Cornelis, bahwa ujian terbesar seorang intelektual bukanlah pada kemampuan untuk memaki kekuasaan dan para pelakunya—seperti yang sekarang ini banyak kita dengar—tetapi bertindak bijak bagi kepentingan kemanusiaan banyak orang.
Kepentingan banyak orang, bukan bagi kepentingan sendiri, kelompoknya sendiri, golongannya sendiri, sekadar untuk pelampiasan nafsu kecewa, sakit hati, frustrasi dari berbagai macam kegagalan dan sebagainya.
Oh iya, jadi kalian semua sudah tahu, mengapa aku memilih minum teh dan bukannya kopi, bukan? Itu sebuah tindakan yang berdasarkan kehendak bebas yang bisa dipertanggung-jawabkan tidak akan merugikan orang lain.
BERITA TERKAIT: