Virus SARS-CoV-2 ini ternyata menyebar tidak hanya di negara asal saja, tetapi telah menyebar ke seluruh negara di dunia. Covid-19 berhasil meluluhlantakkan kehidupan masyarakat.
Data yang disampaikan oleh Gugus Tugas setiap harinya terhadap kenaikan kasus menjadi momok menakutkan dan kebosanan parsial di tengah masyarakat. Pandemik tidak hanya berdampak pada jatuhnya korban yang terpapar saja, tetapi juga memberikan efek domino pada matinya aktivitas dalam berbagai sektor ekonomi, sosial dan budaya. Selain sektor kesehatan, sektor yang paling terdampak adalah sektor ekonomi.
Sebagai mana dikutip dari banyak pemberitaan, Menteri Keuangan Sri Mulyani memaparkan bahwa dampak ekonomi saat pandemik telah terlihat pada kuartal I-2020 (Q1) dimana pertumbuhan ekonomi mengalami perlemahan pertumbuhan yang hanya pada angka 2,97 persen, hal ini lebih rendah dibandingkan rata-rata pertumbuhan yang biasanya di atas 5 persen.
Semua sektor seakan dipaksa untuk beradaptasi dengan situasi ini. Sehingga para ahli memaparkan bahwa pandemik ini mendorong perubahan perilaku masyarakat yang familiar kita kenal dengan istilah The New Normal. Adapatasi baru ini membuat berbagai aktivitas yang biasa dilakukan di ruang publik berganti dilakukan dari rumah. Sehingga komunikasi dan interaksi manusia di dunia nyata bertransformasi ke dunia maya, yang menciptakan ruang publik baru yaitu ruang siber (cyberspace).
Hal ini dperkuat dengan hasil riset McKinsey terkait sentimen konsumen Indonesia, sebagaimana dikutip dari laman Kontan.co.id bahwa telah terjadi peningkatan aktivitas digital selama masa pandemik, dengan lebih dari 30 persen responden mengaku lebih sering memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan memesan makanan online.
Data ini juga didukung dari hasil paparan BPS pada tahun 2020 bahwa kebijakan Work From Home (WFH) di DKI Jakarta meningkatkan mobilitas di rumah sebanyak 8 persen. Proses transformasi ini dapat berdampak positif karena mampu menekan mobilitas masyarakat yang mampu menekan angka penyebaran virus.
Eskalasi Kejahatan Cyber vs Penegakan HukumBeralihnya kebiasaan masyarakat dalam The New Normal atau adaptasi kebiasaan baru juga bisa meningkatkan potensi berbagai pelanggaran dan kejahatan di dunia maya. Hal ini terjadi karena perubahan perilaku dalam penerapan norma sehari-hari.
Masa pandemik ini juga menyebabkan beberapa dampak sosial, seperti keresahan sosial (social unrest), berbagai keluhan sosial sampai persoalan masalah keamanan dan kejahatan. Lalu, secara spesifik bagaimana gambaran umum dinamika kejahatan pada masa pandemi ini secara global dan nasional.
Berdasarkan laporan Interpol (2020) dan Europol (2020), eskalasi kejahatan pada kondisi pandemik ditandai dengan turunnya angka kejahatan (crime decline) terhadap harta benda (property crime) dan beberapa kejahatan terorganisasi, namun meningkat pada kejahatan siber, penipuan, dan kekerasan domestik.
Laporan ini mengingatkan betapa dinamika kejahatan tetap bersifat fluktuatif with unpredictable long-term prediction. Kejahatan esensinya memang menyesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat. Frailing & Harper (2017) misalnya, meneliti mengenai perilaku antisosial dan kejahatan yang terjadi pada saat bencana serta pascabencana dan menemukan bahwa di dua masa tersebut, beberapa kejahatan memang terlihat dominan. Misalnya, kejahatan terkait kekerasan interpersonal, penipuan, dan kejahatan terhadap harta benda.
Kejahatan siber merupakan kejahatan yang disinyalir akan meningkat secara singular pada masa pandemik ini. Data dari Direktorat Siber Bareskrim Polri memperlihatkan tiga jenis kejahatan dengan angka tinggi dibandingkan dengan jenis kejahatan siber lainnya, yakni kejahatan pencemaran nama, baik penipuan dan pornografi. Ketiga jenis kejahatan ini mendominasi kejahatan siber di Indonesia mulai dari Januari hingga April 2020.
Seperti halnya disampaikan oleh ketua perlucutan senjata PBB Izumi Nakamitsu, bahwa terjadi peningkatan 600 persen dalam email berbahaya. Namun kondisi ini tidak diimbangi dengan upaya massif dalam penegakan hukumnya.
Bareskrim Polri mengungkapkan bahwa kemampuan Polri menyelesaikan kasus kejahatan siber berbanding lurus dengan meningkatnya jumlah kasus. 624 kasus terselesaikan pada 2015, dan 2.282 kasus selesai penanganannya pada 2019. Sehingga ada peningkatan 265,70 persen dalam hal penyelesaian perkara.
Namun yang menjadi pertanyaan adalah, apakah penyelesaian kasus cyber crime yang telah dilakukan oleh Bareskrim sudah mengakomodir perlindungan hukum kepada masyarakat?
Pertanyaan di atas tertrigger dengan adanya beberapa kasus yang ditangani oleh Bareskrim Polri yang dirasa gagal. Seperti halnya pada kasus yang dialami oleh Founder of Ethical Hacker Indonesia bahwa Teguh Aprianto yang merupakan pemilik akun Twitter @secgron mengaku telah menemui penyidik Bareskrim Polri pada 17 Juni 2020 terkait cuitan informasi server data anggota Polri telah dibobol hacker.
Aparat penegak hukum menyangkakan tindakan tersebut mengarah pada hoax. Di sisi lain masih ada banyak kasus-kasus berita hoax yang masih diabaikan oleh penegak hukum dan represif seperti sekelompok orang yang sempat ditangkap atas dugaan mengkritik pemberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar di DKI Jakarta pada tanggal 14 April 2020 melalui video medsos walaupun sudah dibebaskan karena mereka merasa dirugikan karena tidak bias bekerja dan kritikan pengacara di Buleleng terhadap pemerintah karena tidak becus menangani corona.
Ini adalah sedikit dari contoh kasus yang menggambarkan betapa tidak cermat dan tebang pilih aparat penegak hukum dalam memilah kasus mana yang masuk menjadi delik pidana dan mana yang tidak.
Kewenangan yang diberikan pemerintah kepada aparat untuk menegakkan hukum selama masa pandemik seharusnya berbanding lurus dengan upaya aparat menghadapi keresahan sosial di masyarakat. Hal Ini dikarenakan keresahan sosial di masyarakat bisa berubah menjadi protes sosial sehingga bentuk penanganan yang diambil aparat penegak hukum pada masa pandemi juga harus diperhatikan.
Peristiwa di atas diperparah dengan konsepsi penegakan hukum kejahatan siber di Indonesia yang masih banyak kelemahannya. Terutama kebingungan Polri dalam menerapkan turunan hukum dalam menanggapi Keadaan dan perilaku baru di masa pandemik ini.
Terlihat misalkan Polri mengeluarkan Maklumat kapolri Nomor: Mak/2/III/2020 tentang Kepatuhan Terhadap Kebijakan Pemerintah dalam Penanganan Penyebaran Covid-19 dan TR Nomor 1100 tentang Penanganan Kejahatan Terkait Situasi dan Opini di Ruang Siber.
Kemudian penerapan pasal 212-218 tentang hukuman menolak atau melawan petugas yang berwenang dan penghinaan kepada penguasa/Presiden dan pejabat pemerintah sebagaimana dimaksud Pasal 207 KUHP (delik aduan oleh penguasa sesuai putusan MK No.013-022/puuIV/2006).
Hal ini yang menjadi pasal karet yang bias dan merembet ke bidang manapun seperti kasus-kasus di atas sehingga penerapan Actus Reus (keadaan tindak pidana) dan Mens Rea (niat pelaku) tidak bisa sinkron dalam penanganannya sehingga indikasi kegagalan Polri dalam menangani kasus kejahatan cyber di masa pandemik semakin terlihat.
Dalam teori hukum progresif yang dicetuskan oleh Satjipto Rahardjo bahwa hukum seharusnya mampu beradaptasi dalam perkembangan zaman. Berbicara mengenai perlindungan hukum di ruang siber sebenarnya telah diakomodir dalam UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, atau yang lebih dikenal dengan istilah UU ITE.
Namun ketentuan yang ada dalam undang-undang tersebut banyak ditemukan pasal-pasal karet dan multitafsir yang justru merugikan dalam penegakan hukum di ruang siber. Sehingga ketentuan ini diperbaharui pada UU 19/2016 tentang Perubahan atas UU 11/2008 tentang ITE.
Kiranya undang-undang ini akan memberikan angin segar dalam penangan kasus kejahatan yang terjadi di ruang siber. Namun undang-undang ini malah mempertegas beberapa ketentuan pidana seperti pencemaran nama baik dan ujaran kebencian, disamakan dengan materi muatan yang ada di dalam KUHP. Sedangkan ketentuan dalam KUHP belum mampu mrngakomodir perkembangan arus digitalisasi. Sehingga dalam prosedur penegakan hukum terhadap kejahatan siber berpotensi menimbulkan fraud oleh aparatur penegak hukum sendiri.
Dengan kelemahan peraturan perundang-undangan yang ada, agaknya lebih mudah bagi aparatur penegak hukum menggunakannya untuk kepentingan sekelompok pihak saja. Hal ini bila tidak diiringi dengan pengawasan baik secara vertikal maupun horizontal, dikhwatirkan akan terjadi mal praktek dalam penanganan kasus cyber crime.
Untuk melindungi hak-hak masyarakat dalam proses fair trial, undang-undang khususnya dalam Pasal 9 ayat (2) UU 4/2004 Juncto UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa terhadap penegak hukum yang melakukan tindakan penegakan hukum tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dapat dikenai pidana atau ganti rugi.
Penegakan hukum dalam kejahatan siber itu mencakup banyak dimensi analisis. Dari sudut pandang aspek hukum materiilnya masih memiliki kelemahan. Di sisi lain praktik prosedur penindakan oleh penegak hukum masih saja terjadi salah tebang atau bahkan berpotensi cacat prosedur. Sehingga dibutuhkan pengawasan aktif oleh antar lembaga yang lain seperti ombudsman atau organisasi sipil masyarakat di bidang siber.
Dari sisi perlindungan hukum kepada saksi dan korban atas kejahatan di ruang siber, dibutuhkan langkah-langkah aktif oleh LPSK untuk memenuhi hak dan perlindungan baik dari segi hukum maupun lainnya.
Pencegahan Adalah SolusiDalam criminal justice system tidak ada penundaan pemidanaan terhadap kesalahan yang terbukti di pengadilan sehingga solusi yang terbaik dalam penegakan hukum di ruang siber adalah pencegahan.
Pencegahan yang dilakukan harus mempertimbangkan berbagai dinamika kondisi sosial masyarakat, aktivitas rutin, kesempatan, dan modus operandi kejahatan. Teori pencegahan kejahatan menjelaskan mengenai strategi dan langkah dalam upaya mereduksi kejahatan dengan penjelasan keadaan kejahatan tersebut. Dalam studi pencegahan kejahatan, terdapat tiga bentuk pencegahan sebagai berikut.
Pertama, pencegahan kejahatan situasional yang berfokus pada upaya mengurangi kesempatan dengan menambah risiko dan kesukaran dan mengurangi keuntungan yang didapat dari kejahatan melalui management design tempat secara berkelanjutan (Clarke, 1995).
Kedua, pendekatan komunitas membahas tentang pencegahan berbasis kekuatan komunitas (kapasitas informal) yang menekankan pada kerja sama antara lembaga formal dan komunitas pada konteks sosial tertentu sehingga diharapkan bisa lebih efektif dalam mencegah kejahatan (Hope, 2001).
Ketiga, pendekatan pencegahan sosial kejahatan (social crime prevention) yang berfokus pada beragam upaya menangani akar masalah kejahatan dan disposisi individu untuk melanggar hukum (Zhao & Lui, 2011). Salah satunya berupa penanganan faktor risiko yang dipengaruhi oleh keluarga, teman, sekolah, dan penguatan struktur, peran institusi sosial, serta organisasi komunitas.
Keempat, model pencegahan integratif yang menggabungkan ketiga pendekatan tersebut (Aulina, 2013). Model pencegahan integratif dapat menjadi pedoman pencegahan kejahatan pada masa pandemi yang tidak hanya bisa mencegah kejahatan, namun juga menjadi bentuk pengendalian sosial kejahatan.
Kelima, aparat penegak hukum terutama Polri harus bertransformasi menghindari kegiatan represif dan mengemukakan komunikasi dan tindakan persuasif karena perubahan perilaku dalam keadaan tidak normal atau force majeure bukanlah suatu kejahatan yang harus ditindak dengan pemidanaan yang seharusnya menjadi obat terakhir (ultimum remedium) bukan menjadi hal utama dalam menjerat pelanggar.
Upaya penegakan di masa pandemik adalah upaya administratit dalam menegakan ketertiban agar masyarakat sadar dan protokol Kesehatan dapat dipatuhi dengan kesadaran bukan ancaman ketakutan.
M. Rizqi AzmiDirektur Legal Culture Institute