Membela Kebebasan Berbicara

Rabu, 10 Juni 2020, 11:37 WIB
Membela Kebebasan Berbicara
Ilustrasi/Sebastien Thibault
PADA saat ini, kita kembali mendengar atau membaca informasi dari berbagai media massa maupun media sosial bahwa hak atas kebebasan berbicara di negeri ini semakin terancam. Hal ini terutama berkaitan dengan pembatalan sebuah diskusi tentang pemberhentian presiden di sebuah kampus di Yogyakarta. Konon, pembatalan diskusi itu disebabkan oleh adanya ancaman dan intimidasi.

Sebetulnya, keprihatinan tentang adanya ancaman terhadap kebebasan berbicara telah disuarakan bukan kali ini saja. Sebelumya, banyak pihak cukup menyesalkan terjadinya sweeping buku-buku yang dianggap mengajarkan paham politik tertentu di beberapa toko buku di berbagai kota di Indonesia. Selain itu, kita juga pernah mendengar bahwa ada sekelompok orang yang membubarkan diskusi di Jakarta dan Yogyakarta karena narasumbernya dianggap memiliki paham yang tidak sesuai dengan pendapat arus utama.

Dalam tulisan ini, saya berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut. Apa itu kebebasan berbicara? Apa yang menjadi landasan sehingga kebebasan berbicara pada saat ini dianggap sebagai bagian dari hak-hak asasi manusia? Mengapa kita wajib membela kebebasan berbicara?

Kebebasan Berbicara sebagai HAM

Apa itu kebebasan berbicara? Ada banyak cara untuk mendefinisikan istilah kebebasan berbicara. Kita bisa melihat kamus istilah atau ensiklopedia. Namun demikian, karena kebebasan berbicara telah disepakati oleh bangsa-bangsa di seluruh dunia sebagai salah satu hak asasi manusia yang paling penting, ada baiknya kita menggunakan perspektif HAM untuk mendefinisikan kebebasan berbicara.

Dalam Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia, Pasal 19 menyatakan perlindungan terhadap hak untuk menyampaikan pendapat secara bebas tanpa campur tangan pemerintah atau siapapun. Kebebasan berpendapat di sini termasuk juga hak untuk mengungkapkan pandangan melalui protes dan unjuk rasa atau melalui penerbitan artikel, buku, dll, serta publikasi melalui media massa.

Oleh karena itu, negara wajib untuk menghargai  dan melindungi hak setiap warga negara untuk berbicara atau menyampaikan pendapat. Negara menghargai hak itu dengan cara tidak melakukan sensor atau menghalangi setiap orang untuk berbicara. Sementara itu, negara melindungi hak itu dengan cara memastikan tidak adanya gangguan dan halangan dari pihak lain terhadap hak warga negara untuk berbicara dan menyatakan pendapat.

Dalam kerangka kebebasan berbicara ini, setiap orang diharapkan dapat menyampaikan pandangan-pandangannya tanpa disertai rasa takut. Di sini, setiap orang sejatinya bisa menyampaikan berbagai pendapat yang berbeda dari pendapat orang lain tanpa ancaman kekerasan. Bahkan, kebebasan berbicara ini juga meliputi hak untuk menyatakan ketidaksetujuan terhadap pandang masyarakat umum dan kebijakan-kebijakan pemerintah.

Tentu, kita perlu memperhatikan bahwa pelaksanaan prinsip kebebasan berbicara ini tidak membenarkan apa yang disebut sebagai ujaran kebencian dan kebohongan publik. Sebab, ujaran kebencian pada dasarnya menyampaikan pendapat yang didasarkan pada perasaan-perasaan subyektif yang dapat merendahkan harkat dan martabat orang lain. Sementara itu, kebohongan publik jelas merupakan penyampaian informasi yang keliru dan merugikan masyarakat pada umumnya.

Kebebasan Berbicara dan Martabat Manusia

Apa yang menjadi landasan sehingga kebebasan berbicara dianggap sebagai bagian dari hak-hak asasi manusia? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita bisa melihat kembali pandangan falsafi tentang harkat dan martabat manusia. Dalam hal ini, mengakui dan menghormati hak seseorang untuk berbicara adalah salah satu upaya paling mendasar untuk menjaga nilai-nilai kemanusiaan yang paling hakiki.

Para faylasuf berbicara tentang gagasan otonomi sebagai landasan bagi prinsip kebebasan berbicara. Dalam hal ini, manusia disebut sebagai "hewan yang berbicara" (hayawan al-nathiq). Pada manusia, berbicara adalah manifestasi dari hakikatnya sebagai organisme yang berpikir, berkesadaran, berperasaan. Karenanya, berbicara adalah pembeda antara manusia dan yang bukan manusia.

Lebih dari itu, kemampuan manusia untuk berbicara adalah prasyarat bagi terbentuknya masyarakat. Sebab, masyarakat adalah jalinan tanda yang berisi serangkaian struktur dan fungsi sosial. Tanda itu dibaca, dipahami dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Itu semua tidak mungkin terjadi tanpa proses komunikasi di antara setiap anggota masyarakat melalui tindakan berbicara.

Dengan kata lain, pada manusia, berbicara bukan saja penting artinya untuk proses komunikasi, melainkan juga untuk mengorganisasikan dunianya. Melalui tindakan berbicara, manusia menempatkan tujuan dan jalan hidupnya di antara tujuan dan jalan hidup orang lain. Dengan berbicara satu sama lain, perbedaan tujuan dan jalan hidup di antara manusia tidak harus berakhir dengan sengketa dan perang, melainkan berujung pada saling memahami, harmoni dan perdamaian.

Intinya, upaya menghalagi seseorang untuk berbicara adalah sama dengan mengingkari hakikat kemanusiaannya. Sebaliknya, upaya untuk membiarkan seseorang untuk berbicara berarti telah mengakui dan menghormati hakikat kemanusiaannya. Dengan mengakui dan menghormati hakikat kemanusiaannya, kita telah menempatkan manusia dalam posisi yang mulia sesuai dengan harkat dan martabat yang selayaknya.

Kebebasan Berbicara dan Kebenaran

Argumen lain yang bisa dikemukakan untuk mendukung kebebasan berbicara adalah soal upaya untuk mencapai kebenaran. Karena kebenaran adalah perspektif manusia tentang kenyataan, semakin banyak perspektif yang dikemukakan tentang kenyataan, semakin besar kemungkinan bagi kebenaran untuk tersingkap. Sebaliknya, semakin sedikit perpektif yang dipakai, kebenaran juga hanya tersingkap secara terbatas.

John Stuart Mill pernah menyampaikan pandangannya tentang kebebasan berbicara dan kebenaran. Dalam buku On Liberty, Mill mencoba menjawab pertanyaan mengapa kita perlu membela kebebasan berbicara. Karenanya, Mill juga mencoba menjelaskan mengapa upaya untuk menghalangi seseorang untuk berbicara adalah sebuah kesalahan.

Menurut Mill, berbagai pendapat sebaiknya diizinkan untuk secara bebas dikemukakan. Bahkan, kontestasi gagasan dan pandangan harus diberikan kebebasan. Kita tidak boleh membatasi kontestasi gagasan atau pandangan karena tidak pernah ada gagasan atau pandangan yang sepenuhnya benar dan sepenuhnya salah.

Dengan demikian, membatasi atau menghalangi sebuah pendapat untuk dikemukakan telah membuat kita kehilangan kesempatan untuk memperoleh kebenaran. Jika tidak menghilangkan kebenaran seluruhnya, pembatasan untuk berpendapat akan menghilangkan sebagian dari kebenaran itu. Kita tidak pernah betul-betul tahu berapa banyak kebenaran yang hilang dari upaya pembatasan untuk berpendapat.

Bahkan, kata Mill, pendapat yang dipandang keliru sekalipun juga tidak sepantasnya untuk dilarang. Sebab, selain mengetahui kekeliruannya, kita juga bisa belajar darinya untuk mencari pendapat lain yang benar. Bukankah banyak kebenaran-kebenaran baru yang dihasilkan dari proses pengujian terhadap pandangan-pandangan yang keliru.

Dalam pelajaran sejarah, kita mendapat bukti dari apa yang dikatakan oleh Mill di atas. Pada zaman dulu, orang-orang berpandangan bahwa pusat Tata Surya adalah Bumi. Karenanya, orang yang berpendapat bahwa pusat Tata Surya bukan Bumi dianggap sebagai kekeliruan. Ketika itu, orang-orang akan tertawa sinis jika ada yang mengatakan bahwa pusat Tata Surya yang benar adalah Matahari.

Apa yang kemudian menjadi persoalan adalah upaya untuk membungkam pendapat yang berbeda tersebut. Para ilmuwan yang berpaham heliosentris (Matahari sebagai pusat Tata Surya) diminta untuk berhenti menyampaikan pendapatnya itu. Bahkan, sebagian dari mereka sampai ada yang dihukum mati. Belakangan, kita mengetahui bahwa pandangan yang dibungkam itu ternyata menjadi kebenaran saat ini; Matahari sebagai pusat Tata Surya.

Kebebasan Berbicara dan Sistem Politik Demokrasi

Selain sebagai bagian penting dari HAM, kebebasan berbicara merupakan bagian penting dari sistem politik demokrasi. Apa yang kita sebut sebagai demokrasi adalah pemilihan umum dan kebebasan-kebebasan sipil (civil liberties), di mana kebebasan berbicara adalah salah satu elemen pentingnya. Tanpa hak atas kebebasan berbicara, kualitas dari sebuah praktik berdemokrasi patut dipertanyakan kualitasnya.

Mengapa hak atas kebebasan berbicara sangat penting dalam demokrasi? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu mengingat kembali bagi demokrasi adalah sistem politik yang berpijak pada prinsip kedaulatan rakyat. Secara harfiah, demokrasi berarti pemerintahan oleh rakyat. Namun demikian, karena jumlah rakyat sedemikian banyak, dibutuhkan perwakilan untuk mengurus segala hal yang terkait dengan kebijakan-kebijakan publik. Untuk itu, pemilihan umum (pemilu) diadakan.

Dalam pemilu, rakyat memilih siapa saja yang akan menduduki badan eksekutif dan badan legislatif. Untuk badan eksekutif, kita memilih bupati/walikota, gubernur dan presiden-wakil presiden. Untuk badan legislatif, kita memilih anggota dewan perwakilan rakyat, mulai dari tingkat kabupaten/kota, provinsi hingga pusat. Belakangan, kita juga memiliki dewan perwakilan daerah untuk mewakili aspirasi daerah di pusat.

Dengan memilih orang-orang untuk duduk di pemerintahan dan parlemen dalam pemilu, apakah kita sudah kehilangan hak-hak kita sebagai rakyat, termasuk kebiasaan untuk berbicara? Jawabannya: tidak. Pemilu hanya sebuah mekanisme politik untuk menyaring siapa saja dari sekian banyak rakyat yang akan ditunjuk untuk menjadi pemimpin badan eksekutif dan parlemen. Pemilu tidak menghilangkan kedaulatan rakyat dalam kehidupan politik.

Oleh karena itu, rakyat masih berhak untuk berbicara tentang segala hal, termasuk tentang berbagai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dan parlemen. Kita diperbolehkan untuk menyayangi ketidaksetujuan terhadap rencana undang-undang, rencana pembangunan dan lain-lain. Kita juga boleh mengkritisi undang-undang yang sudah dibuat dan program pembangunan yang sedang dijalankan. Dalam demokrasi, rakyat berhak untuk "rewel" dan "berisik."

Terlebih, biaya-biaya untuk melaksanakan kebijakan publik itu, termasuk menggaji pemerintah dan lembaga legislatif, diambil juga dari uang rakyat melalui pajak. Sebagai pembayar pajak, kita perlu tahu uang yang kita bayarkan itu dipakai untuk apa, oleh siapa, kapan, di mana dan lain sebagainya. Kita berhak untuk berbicara guna menuntut akuntabilitas pelaksanaan pemerintahan.

Atas dasar pertimbangan tersebut, adanya jaminan hak untuk berbicara merupakan indikator dari sehatnya sebuah demokrasi. Melalui kebebasan berbicara, rakyat tetap memiliki kedaulatan dalam kehidupan politik. Tanpa hak berbicara, rakyat akan kehilangan kedaulatannya dan terasing dari proses-proses sosial yang terjadi. Karenanya, kita bisa mengatakan bahwa demokrasi tanpa kebebasan berbicara adalah sebuah demokrasi yang semu, bahkan bukan demokrasi sama sekali.

Sebagai catatan penutup, kita bisa menyimpulkan bahwa kebebasan berbicara adalah hak dasar yang wajib kita bela. Berbicara adalah bagian dari hakikat kemanusiaan kita. Mengatasi kulit berbicara sama dengan mengingkari harkat dan martabat kemanusiaan kita. Selain itu, kebebasan berbicara adalah cara agar kita bisa memiliki akses yang cukup kepada kebenaran. Membungkam orang untuk bicara berarti telah menutup jalan bagi kebenaran. Terakhir, kebebasan berbicara merupakan elemen penting dalam sistem politik demokrasi. Tanpa kebebasan berbicara, tidak ada demokrasi yang sejati.  rmol news logo article

Iqbal Hasanuddin
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Agama dan Filsafat (LSAF)


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA