Seperti kuliner Padang dengan kuah gule kental, sambal pedas, dan rendang maknyusnya, kemajuan pemikiran manusia dari Sumatera Barat itu mendominasi hidangan pemikiran Indonesia ketika dalam pembentukan dan berdirinya.
Bisa dikatakan, separuh Indonesia didirikan dari dan oleh urang awak, selain orang-orang Surabaya, Banjar, Menado, Medan, dan lain-lain.
Sebut saja orang Agam Abdul Rivai (1871-1937), seorang dokter dan wartawan cerdas yang ngotot kesejajaran antara pribumi dan Belanda di zamannya. Kulit putih adalah penjajah, yang membedakan strata status warga, yaitu Eropa penguasa, asing peranakan pedagang, blasteran, dan pribumi totok di Nusantara.
Ketimpangan ini yang dilawan Abdul Rivai dalam seluruh hidup dan karirnya. Dia peluk persamaan itu erat-erat. Dia praktekkan pemberontakannya dengan sepenuh jiwa. Dia wariskan semangat ini ke generasi setelahnya, bahwa pribumi seperti Melayu haruslah sejajar dengan Eropa. Warna kulit tiada makna beda.
Abdul Rivai mengejar karir dalam pendidikan sistem Belanda. Cara berfikir, karakter, dan mental dia raih bahkan melebihi orang-orang yang menjajah tanahnya.
Adul Rivai tidak hanya berbahasa Belanda dengan fasih, tapi dia kawini wanita-wanitanya. Dia buktikan bahwa pribumi bisa rasional dan meraih karir seperti orang Eropa. Pribumi juga manusia dan maju juga, seperti dokter dan wartawan. Dua profesi yang mewarnai Indonesia masa kelahiran.
Dalam seluruh hidupnya dia buktikan bahwa etnis tidak menghalangi kemajuan. Karena ia jauh lebih maju dari zamannya, Abdul Rivai meninggal dunia dalam keadaaan kecewa. Dia belum saksikan bahwa hiruk-pikuk perjuangan persamaan akan berhasil delapan tahun kemudian setelah ia mangkat.
Minangkabau era kemerdekaan menawarkan banyak kemajuan melampaui zamannya. Tanah ini menawarkan para petualang, pendobrak tradisi, dan bahkan gagasan kata Indonesia sebagai bangsa itu sendiri keluar dari mulut orang Minangkabau.
Tan Malaka (1897-1949) orangnya. Dia dihormati sebagai guru oleh hampir semua pejuang waktu itu, termasuk Soekarno, sang proklamator. Tan Malaka adalah Datuk Ibrahim yang misterius berkelana dari Eropa, Russia, China, bahkan hampir semua Asia dengan mengganti namanya berkali-kali agar tetap misterius. Bagaimana kematiannya menjemput pun masih teka-teki.
Tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia adalah bagian dari mimpi dan temuan Tan Malaka. Kritik tajamnya tentang agama, tradisi, budaya, dan sains masih terus relevan hingga kini. Tulisannya Madilog adalah karya yang layak mendapat renungan para akademisi, politisi, dan semua warga Indonesia sampai sekarang.
Siapa yang tidak kenal tokoh-tokoh Minangkabau: Mohammad Hatta (1902-1980), Mohammad Yamin (1903-1962), Sutan Syahrir (1909-1966), dan Hamka (1908-1981).
Mereka adalah orang-orang garda depan dalam pergerakan dan pergolakan pemikiran. Hatta, Yamin, dan Syahrir adalah orang-orang maju melampui zamannya, yang mungkin sampai kini masih terasa terlalu “bebas†dalam mendobrak semua rintangan. Tanpa mereka semua, kita tak akan mengecap nikmatnya bangsa merdeka.
Orang-orang Minang memang terasa nyeleneh. Taruhlah Mohammad Yamin, orang Sumatera yang mengagumi dan menjadikan simbol Gajah Mada dalam perannya sebagai pemersatu Nusantara di era sebelum penjajahan.
Bahkan konon, wajah Gajah Mada yang sekarang ada dimana-mana merupakan cerminan dari wajah Yamin itu sendiri. Kebetulan patung kepala yang dianggap sang Mahapatih, tak lebih menyerupai celengan tanah liat, mirip dengan wajah Yamin itu sendiri. Ingat Gajah Mada, ingat orang Sawahlunto, Yamin.
Semua warga Indonesia tentu tidak akan pernah melupakan dua orang berperawakan kecil dan agak kalem dari Sumatera Barat ini, Hatta dan Syahrir. Semua buku pelajaran sejarah dari SD sampai Perguruan Tinggi mencatat nama mereka dalam peran masa perjuangan bangsa.
Namun, yang harus juga dicamkan adalah kemajuan pemikiran dan keterbukaan ideologi mereka. Keduanya terasa sosialis dalam berhaluan, sebagaimana hampir semua pejuang kemerdekaan kita zaman itu. Keduanya agak kebarat-baratan dan terbuka pikirannya, karena pendidikan Belanda mereka.
Sampai kini adat matrilenial dengan rumah gadang itu tetap menjadi teka-teki, kenapa Minangkabau begitu banyak menyumbang kemajuan bangsa ini. Banyak penelitian Barat maupun Indonesia menekankan adat menyatu dengan agama, namun kurang menyangkut para pendobrak adat dan kritik tradisi agama juga lahir dari sana.
Nama-nama urang awak diatas bukanlah jenis manusia yang menerima adat apa adanya, tetapi mengawinkan pola pikir Barat dan adat. Mereka kritis terhadap Barat, namun cara berfikir mereka melampui Barat. Mereka menggunakan senjata logika dan sains untuk kebebasan kita semua.
Namun, surat dari Gubernur Sumatera Barat 555/327 kepada Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia tertanggal 28 Mei 2020 tentang penghapusan aplikasi Kitab Suci Injil Minangkabau yang tersebar luas di media sosial sungguh mengecewakan kita semua. Tidak hanya isi surat itu bertentangan dengan kemajuan pikiran tokoh-tokoh yang tersebut dalam tulisan ini, tetapi juga bertolakbelakang dengan ruh keragaman Indonesia masa kini.
Abdul Rivai, sang pendobrak, akan mengernyitkan dahi kalau membaca surat ini. Tan Malaka akan mengepalkan tangan kalau tahu ini. Hatta dan Syahrir akan menanggapi dengan kritis tapi santai atas surat itu. Surat itu adalah kemunduran berfikir. Sepakati saja.
Surat sang Gubernur mengingkari sejarah, bahwa Minangkabau itu sendiri mempunyai kisah dan adat yang panjang. Perpaduan masa lalu menjadikan Minangkabau sekarang, tradisi Budha, Islam, pendidikan Barat dan adat lokal telah berbaur dan menjadikan Islam di Minangkabau berbeda dengan Islam lain di seluruh Indonesia.
Rumah gadang itu seni yang unik, begitu juga cara ber-Islam para penghuninya. Itulah versi Islam Indonesia yang berbeda dengan interpretasi Islam di Timur Tengah dan dunia lain. Minangkabau dengan tradisi ninik dan mamaknya adalah tonggaknya.
Kitab Suci semua agama, sebagaimana para pembaca dan yang mengimaninya, berhak ditulis dan dibicarakan dalam bahasa apa saja di bumi ini.
Semua kitab dan gagasan juga boleh dibahasakan dengan lidah milik siapa saja, baik kita setuju atau tidak, baik diimani atau tidak. Semua Kitab Suci adalah milik semua manusia, tanpa kecuali.
Walaupun banyak pengamat mendasarkan penelitian dan survei kemudian heran dengan menguatnya konservatisme keagamaan di Sumatera Barat. Bahkan ada yang salah dan terputus dari generasi berkemajuan sebelumnya, Minangkabau masih menyisakan setidaknya dua orang yang patut didengar: Buya Syafi’i Ma’arif dan Azyumardi Azra. Mari kita tanyakan mereka berdua, bagaimana ini?
Penulis adalah Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
BERITA TERKAIT: