Rencana pindah ibu kota batal karena isu ini ternyata digunakan Sukarno untuk merespon infiltran Malaysia, boneka Neokolim Inggris, yang mau kuasai penuh Borneo.
Sedang Semaun, ketua umum pertama PKI yang membisikkan pindah ibukota, punya kepentingan sendiri buat penetrasi komunisme.
Isu ibukota baru juga dipakai Sukarno untuk menghilangkan sentralisme Jawa yang menimbulkan ketidakpuasan & pergolakan di beberapa daerah seperti PRRI/Permesta.
Sukarno dua kali ke Palangkaraya, 1957 & 1959.
Waktu pertama datang pukul dua malam langsung meditasi di tepi sungai Kahayan.
Disambut sebagai pahlawan besar.
Dalam upacara adat, rakyat yang hadir berkata dalam bahasa Dayak:
“Selama darah kami masih merah, kami tidak mau dijajah ... â€.
Rakyat berebut salaman. Mesin mobil diminta dimatikan.
Saking cinta, mobil Sukarno ditarik dan didorong rakyat rame-rame sampai ke lokasi yang jaraknya tiga kilometer.
Batal memindahkan IKN (Ibu Kota Negara) adalah hal lumrah. Terlebih di masa sulit. Di musim banyak rakyat jatuh melarat seperti hari ini, akibat Covid-19 dan perekonomian nasional yang ngeblangsak, yang menteri keuangannya seakan ngumpet di kolong meja.
Soeharto nggak jadi pindahin ibukota ke Jonggol.
Dulu Raffles pernah mau geser pusat pemerintahan ke Semarang. Daendels ke Surabaya. Semua batal karena urusan geoekonomi waktu itu.
Sukarno sendiri sebenarnya tau tidak ada uang buat mindahin ibukota, karena tahun-tahun itu perekonomian rakyat sangat sulit, dan banyak rentetan event politik & kenegaraan yang dia bikin, sebagai mercusuar negara yang baru merdeka dan promosikan Indonesia ke luar negeri.
Mulai dari sulitnya bahan bangunan, proyek Asian Games (1962), Ganefo/Canefo (1963), Konferensi Wartawan Asia Afrika (1963), dst.
Intinya butuh biaya besar untuk infrastruktur.
Pada 1956 itu pula Sukarno mengeluarkan Dekrit kembali ke UUD 1945. Di pasal 2 ayat 2 UUD disebutkan:
“Majelis Permusyawaratan Rakyat Bersidang Sedikitnya Sekali Dalam Lima Tahun Di Ibu Kota Negaraâ€.
Inilah antara lain yang memperjelas pembatalan pindah ke Palangkaraya.
Ekonom pro rakyat Dr. Rizal Ramli sejalan dengan Sukarno.
Menurutnya dalam ekonomi sulit seperti ini harus ada prioritas. Pindah ibukota jelas bukan prioritas, melainkan ada yang lebih penting, yaitu memenuhi kebutuhan masyarakat.
Jauh sebelum tiba virus Corona dari negeri China komunis, Rizal Ramli sudah menyampaikan peringatan ini. Apalagi waktu itu kondisi perekonomian nasional sudah memburuk.
Studi pembangunan IKN menelan banyak biaya. Selain itu yang mengerjakan bukan orang Indonesia, melainkan sebuah lembaga yang menurutnya berkelas amatiran.
“Studinya Rp 75 miliar. Amatiran. Asal-asalan. Mereka semua orang asing,†kata Rizal.
Berkaitan dengan hal ini Rizal Ramli juga mempertanyakan peran Bappenas, yang tidak jelas. Mestinya total biaya yang sangat besar IKN dialihkan untuk penuntasan Covid-19 dan memompa perekonomian nasional.
Parahnya lagi, belakangan ini media massa memberitakan lokasi IKN tersebut rawan terjangan tsunami dengan tinggi gelombang yang sangat dahsyat.
Penulis adalah wartawan senior.
BERITA TERKAIT: