Di tengah ketidakpastian ekonomi dunia seperti sekarang, kue investasi kian sedikit, dan diperebutkan kian ketat antara negara. Negara-negara bersaing satu sama lain memberi tawaran paling baik untuk bisa memikat investasi.
Salah satu cara adalah menurunkan standar perlindungan sosial dan lingkungan: menutup mata terhadap potensi pelanggaran HAM, serta kerusakan lingkungan yang diakibatkan investasi.
Demokrasi rezim Jokowi ini tak hanya memperjumpakan oligarki kuasa ekonomi politik, tetapi juga memberi jalan bagi menguatnya impunitas yang menangguk keuntungan dari sistem politik kartel (cartelised political system).
Tak mengherankan, HAM hanya ditampilkan secara selektif, karikatif, dan tak jarang manipulatif. Politik HAM diposisikan subordinasi di bawah bayang-bayang kepentingan dominan pemilik modal (investor) dan kuasa politik birokrasi.
Tidaklah mengherankan, dalam naskah akademik RUU Cipta Kerja, isu hak asasi manusia hanya disinggung dalam tiga hal.
Pertama, terkait dengan isu pengupahan (pasal 88); kedua, pembahasan aspek moral dan budaya dalam isu perfilman; dan ketiga, penjelasan soal penguatan good governance.
Ketiganya tentu jauh dari ideal untuk upaya pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia mengenai hak ekonomi, sosial dan budaya, maupun hak-hak sipil serta politik.

Abdullah RasyidKetua Departemen Dalam Negeri Partai Demokrat
BERITA TERKAIT: