Menurut saya ada dua key persons yang tepat untuk menentukan jalan keluar kisruh ini, yaitu Mahathir sebagai PM Interim dan Yang Dipertuan Agung.
Jalan keluar ditetapkan di tengah desakan berbagai tuntutan dan skenario yang telah beredar. Tuntutan faksi Muhyiddin Yassin, misalnya, untuk membentuk pemerintahan koalisi baru Pekatan Nasional yang melibatkan UMNO dan PAS.
Tuntutan ini didukung oleh faksi Azmin dari PKR. Tuntutan lain ialah diselenggarakannya Pemilu Darurat supaya memperoleh lejitimasi dari rakyat.
Sinyal Pidato MahathirPidato permintaan maaf Mahathir yang disampaikan dengan sangat tenang setelah mengundurkan diri mengisyaratkan beberapa pokok pikiran yang sangat penting dalam kaitannya dengan penyelesaian kisruh politik:
1. Mahathir menolak ide pembentukan pemerintahan koalisi baru Pekatan Nasional. Karena, koalisi ini benar benar justru memberikan jalan lebar bagi UMNO untuk kembali memegang tampuk pimpinan nasional. Hemat saya, sikap ini sangat penting karena UMNO, di mana Mahathir menjadi pimpinan terlama sepanjang sejarahnya, adalah korup.
Sementara, hasil pemilu 2018 menurut saya adalah merupakan jalan "pertaubatan politik" Mahathir atas dosa-dosa masa lalu sambil secara serius berupaya berdedikasi untuk negara yang sedang mengalami kesulitan ekonomi. Bisa jadi, Mahathir berpandangan bahwa pembentukan pemerintah koalisi Pekatan Nasional ini adalah "pintu belakang" kudeta politik yang diinisiasi Muhyiddin dan karena itu harus ditolak.
2. Mahathir telah memberikan kesempatan kepada parlemen untuk menyepakati dan menentukan cara yang konstitusional melakukan penggantian PM hingga setelah sidang APEC November 2020. Alih-alih memanfaatkan kesempatan yang diberikan, manuver politik malah dilakukan oleh dua faksi partainya Mahathir dan Anwar Ibrahim. Karena itu Mahathir mencari jalan lain yang lebih bermaslahat, tidak terlibat dalam manuver politik faksi partisan yang justru akan menjebak dan jalan bunuh diri.
3. Mahathir menawarkan skema baru pembentukan kebinet transisi yang tidak berbasis kepada kepentingan partai apapun. Dengan cara ini, maka pemerintahan baru ini akan lebih berkonsentrasi kepada pembangunan negara. Seakan Mahathir ingin menegaskan bahwa "saat ini negara sangat membutuhkan negarawan, profesional ketimbang politisi".
Merekalah yang secara tekun dan serius menyelesaikan problem ekonomi dan sebagainya. Jika ide ini yang dilakukan, maka Mahathir membuat terobosan menawarkan sebuah model baru dalam negara monarki konstitusional berdemokrasi parlementer. Artinya, perangkat undang-undang yang selama ini digunakan sebagai dasar penerapan sistim politik di Malaysia harus direview; reformasi bidang hukum dan perundang-undangan menjadi langkah penting. Ke situ kira-kira arah gagasan Mahathir, sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh semua PM sepanjang sejarahnya.
Pola One To One InterviewSelama dua hari Yang Dipertuan Agung memanggil seluruh anggauta parlemen (222 orang) untuk diinterview masing-masing dua hingga tiga menit. Cara ini dinilai banyak kalangan sebagai sebuah keberanian untuk menerobos kemungkinan terjadinya kebuntuan politik yang akan berdampak negatif kepada negara. Sebagai Kepala Negara, Yang Dipertuan Agung merasa terpanggil mencari skema solusi politik. Ini langkah baru yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah Malaysia modern.
Melalui interview ini, Yang Dipertuan Agung akan memperoleh gambaran antara lain soal siapa yang diharapkan bisa melanjutkan Mahathir sebagai PM. Hal-hal lain, misalnya, informasi personal terkait dengan keluarnya puluhan anggauta parlemen juga akan diperoleh. Yang sangat penting, melalui one to one interview ini, Yang Dipertuan Agung bisa membuat sebuah keputusan politik yang lebih rasional, wise dan demi kemaslahatan rakyat dan negara.
Bisa saja, Yang Dipertuan Agung akan menetapkan PM dari pendukung terbanyak yang diperoleh saat interview. Atau, bisa saja dilakukan melalui penyelenggaraan Pemilu secepatnya (pemilu darurat). Atau, dia tunjuk saja tokoh-tokoh yang menurutnya tepat sebagai PM. Ada beberapa tokoh antara lain Mahathir sendiri, Anwar, istri Anwar yang kebetulan menjadi Wakil PM, Muhyiddin atau Azmin. Tidak banyak tokoh yang tersedia memang, akan tetapi ini juga solusi politik yang bisa dilakukan.
Pungkasan
Dua skema di atas, hemat saya, yang paling memungkinkan dilakukan. Dan hanya Mahathir sebagai PM Interim dan Yang Dipertuan Agung kuncinya. Cara lain, apalagi people power, tak mungkin dilakukan. Karena mereka berdua kuncinya, maka negosiasi politik akan semakin mengerucut meninggalkan manuver partai. Dan jika ini yang dilakukan, Malaysia akan mengalami satu babak baru transisi politik yang sangat penting dan belum pernah ada preseden historisnya. Kita tunggu.
Penulis adalah Associate Proffessor FAH UIN Jakarta, pengamat Malaysia, dan Ketua MUI bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional.
BERITA TERKAIT: