Alhasil, Pancasila sejatinya merupakan produk para
founding fathers dalam menyelami watak dan liku-liku jiwa Indonesia. Jiwa yang kita pandang sebagai inti daripada budaya Indonesia. Sudah barang tentu, kekuatan spiritual Islam sangat berkontribusi dalam lahirnya Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4.
Keberhasilan Bung Karno dan para
founding fathers melahirkan Pancasila, merupakan hasil daya upaya untuk membebaskan diri dari dua penyakit spiritual bangsa kala itu, yang celakanya kambuh lagi sekarang.
Yaitu bebas dari Snobisme, alias tukang niru dan nyontek lapis luar pikiran dan gaya hidup bangsa lain. Kedua, bebas dari kecenderungan umum untuk terbelenggu kepada pengetahuan umum. Pada sesuatu yang konvensional. Tidak berani
out of the box.
Melalui Pancasila, para pemimpin bangsa telah menemukan kembali kekuatan kepribadian dan karakternya yang orisinal. Adapun pemikiran dan aliran ideologi asing yang mereka geluti kala itu, hanya untuk memantik munculnya wawasan baru dan cara pandang yang khas Indonesia.
Justru kearifan macam inilah yang sekarang lagi matisuri, sehingga polemik Pancasila pun melebar ke mana mana. Bukannya jadi landasan bersama sekaligus perangkat analisis untuk membahas wacana masa lalu.
Sehingga pro-kontra tentang Pancasila ini, malah menjurus ke fanatisme dua kubu. Yang satu terlalu fanatik mendukung dan meromantisir mentah-mentah Pancasila secara Snobisme itu tadi. Pada kutub ekstrem seberangnya, secara apriori antipati kepada Pancasila.
Dengan begitu, dua kutub ekstrem ini sama- sama tidak paham Pancasila. Kedua kutub ekstrem sama-sama hanya menyentuh lapis luar persoalan. Bukannya masuk ke inti pandangan, mengapa akhirnya Pancasila ditetapkan sebagai dasar falsafah negara. Artinya, Pancasila merupakan falsafah kolektif bangsa.
Maka itu kalau mau memolemikkan Pancasila, harus dimotori orang-orang yang berderajat filsuf. Bukan sekadar ahli filsafat.

HendrajitWartawan senior
BERITA TERKAIT: