Perampok Politik

Senin, 26 Agustus 2019, 10:57 WIB
Perampok Politik
Ilustrasi perampok/Net
DALAM kitab "Minhajjul Mursyidin" karya Syekh Ali Mahfudz dikisahkan tiga orang penjahat yang merampok "tiga keping emas" dan membunuh korbannya. Ketiganya sepakat sebelum membagi rata masing masing satu keping, ada makan-makan terlebih dahulu.

Salah seorang di antaranya disuruh membeli makanan ke pasar. Saat ia pergi, dua perampok berkomplot untuk membagi dua saja tiga keping emas tersebut. Artinya teman yang pergi tersebut mesti dibunuh.

Yang membeli makanan, juga sama ingin menguasai semua hasil rampokan. Maka makanannya dibubuhi racun.

Rencana berjalan lancar. Ketika tiba, dibunuhlah teman pembawa makanan. Lalu kedua orang perampok itu pun makan makananan yang dibawa. Yang dimakan sudah jelas beracun. Akhirnya matilah semuanya.

Dalam politik, berebut hasil sepertinya suatu hal yang lazim. Soal halal atau haram tidak dipedulikan. Fenomena politik kita saat ini menampakkan kelaziman tersebut.

Jokowi yang baru "memenangkan" Pilpres menghadapi lingkungan perebutan tersebut. Untuk jabatan Menteri yang utama dan posisi lain komplemennya. Klik terbentuk dalam rangka "tekan menekan" atau "ancam mengancam".

Aksi aksi pun terjadi. Peristiwa "rusuh" Mei 21-22 adalah aksi awal mempertahankan hasil yang tidak halal.

Selanjutnya dibuat modus beragam dari rekonsiliasi sampai bakar-bakaran. Ada kolaborasi dengan lawan politik, memadamkan "blockout" listrik, pancingan soal "salib", hingga yang terakhir kerusuhan Papua.

Banyak analis menyimpulkan semua tidak berdiri sendiri, tetapi dalam rangka cari posisi. Bahasanya "rusuh di Papua berebut di Jakarta". Bintang Kejora berkibar tanpa tindakan berarti dari Istana.

Negara memang bukan milik rakyat, tapi milik para penguasa yang kekuasaannya didapat dengan cara rampok merampok.

Sebenarnya perebutan seperti ini bisa dihindari jika Presiden kuat. Kita menganut "Presidential System" di mana Presiden punya kewenangan otoritatif untuk menyusun Kabinet. Semua tergantung pada "maunya" Presiden.

Akan tetapi mengingat kondisi yang ada, di mana sistem ini hanya bersifat kuasi, maka Presiden bukan menjadi penentu. Justru yang ditentukan. Kekuatan sekitarlah yang mencoba untuk memperkokoh posisi sebagai pengendali. Akibatnya seperti yang kita rasakan yakni pertarungan antarklik. Antargank.

Belajar dari kisah tiga perampok di atas, jika kilauan emasnya memang sangat menggiurkan atau menentukan, maka bukan mustahil di antara perampok yang satu dengan yang lain akan saling bunuh. Rakyat hanya bisa menonton tayangan film  horor berjudul "NKRI dibuat mati".

"Negeri ini telah membuat cerita baru lagi
Tidak membutuhkan orang berhati suci
Negeri ini telah menjadi negeri para perampok sejati
Negeri persekutuan pejabat korupsi dan mafia berdasi
Ini nyata bukan kisah lagi"

(Puisi Negeri Perampok--Arka)

M Rizal Fadillah

Pemerhati Politik, tinggal di Bandung


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA