Tantangan yang paling serius dari bangsa ini yaitu menyangkut bonus demografi. Bonus demografi ini harus benar-benar disikapi dengan bijaksana oleh pemerintah Indoenesia, sebab jika tidak bonus demografi bisa menjadi bencana demografi.
Bonus demografi bagi bangsa manapun adalah simalakama, ia bisa membawa sebuah bangsa ke masa depan yang gemilang tapi bisa juga sebaliknya. Kembali soal bagaimana kemampuan mengelola bonus ini.
Ada hal-hal yang tentunya harus disiapakan, mulai dari mempersiapkan sumber daya manusianya hingga membangun infrastruktur dan segala perkakasnya.
Masalahnya untuk bangsa Indonesia, bonus demografi tidak berhenti pada persoalan penghidupan semata sebatas pada pemenuhan kebutuhan ekonomi.
Jauh dari itu, bonus demografi juga di lain sisi mengancam keberadaan Indonesia itu sendiri. Suka tidak suka, bonus demografi juga akan tumbuh beriringan dengan paham-paham atau idelogi, entah itu baru atau versi update dari paham-paham yang sudah tumbuh sebelumnya.
Kita lihat, bagaimana menjelang kemerdekaan, simpul-simpul antikolonialisme muncul dengan corak dan ideologi yang berbeda-beda. Mulai dari Islamisme, Nasionalisme hingga Marxisme. Beruntung, saat Republik Indonesia berdiri, semua sepakat dengan Pancasila sebagai sebuah asaz, sebagai sebuah ideologi negara dan falsafah bangsa.
Pancasila inilah yang kemudian mempersatukan, ialah perekat bangsa ini. Dan hari ini kita lihat, Indonesia masih berdiri sebagai sebuah negara setelah 74 tahun merdeka, tak lain karena bangsa ini punya Pancasila.
Pertanyaannya, siapkah kita sebagai bangsa bila mana bonus demografi juga dibarengi dengan tumbuhnya aneka paham dan idelogi yang pada giliriannya mengancam keberadan Pancasila?
Apalagi dengan sistem demokrasi langsung yang saat ini kita anut. Jelas peluang untuk merubah arah bangsa terbuka lebar, cukup dengan memenangi pertarungan lewat bilik suara saja. Toh hari ini dunia sudah mempertontonkan, bagaimana demokrasi menjadi tragedi dengan melahirkan pemimpin model Donald Trump atau Hitler di masa lampau?
Tapi usah risau dengan itu, hari ini selain Pancasila, kita masih punya Didi Kempot. Lihatlah, bagaimana di tengah laju pertumbuhan teknologi informasi yang tumbuh sangat cepat di tengah bertumbuhannya paham-paham dan idelogi baru yang masuk ke republik ini, nyatannya Didi Kempot punya tempatnya sendiri di hati generasi muda kita.
Lihatlah, bagaimana konser Didi dipenuhi dan dijejali anak-anak muda. Mereka larut dalam lagu-lagu cinta karya Didi Kempot. Lagu-lagu yang kerap kali menceritakan tentang ketulusan cinta, penghianatan dan penantian.
Melihat fenomena itu, setidaknya kita bisa bernafas lega. Bahwa artinya, hari ini generasi muda kita, adalah generasi yang lembut hatinya, yang bila mendengar lagu karya Didi Kempot bisa menangis histeris.
Seperti petikan lagu Kalung Emas yang begini lirinya, "Loro atiku, atiku keloro-loro. Rasane nganti tembus ning dodo. Nangisku iki mergo kowe sing njalari. Kebangeten opo salahku iki. Opo dosaku iki".
Sebagai sebuah generasi yang lembut hati, mudah-mudahan paham-paham radikal atau esktrem susah untuk diterima generasi muda bangsa ini.
Jadi jangan khawatir, mau dengerin lagu sendirian atau tidak, Indonesia akan tetap menjadi Indonesia sesuai dengan cita-cita kemerdekaan kita. Yakni sebuah negara yang bertumpu pada Pancasila dan UUD 1945. Dirgahayu ke-74 Republik Indonesia. Merdeka!!!
Ivan Faizal Affandi
Wartawan.
BERITA TERKAIT: