Dilema Sami'na Wa Atha'na Dalam Politik Desa

Senin, 29 Juli 2019, 10:16 WIB
Dilema <i>Sami'na Wa Atha'na</i> Dalam Politik Desa
Ilutasi/Net
UNGKAPAN sami'na wa atha'na berarti "kami mendengar dan kami mematuhi". Di kalangan santri, ungkapan ini punya makna yang kuat, sarat moral tapi juga dilematis. Terutama jika ini dikaitkan dengan politik praktis. Persis di sinilah kita perlu bersikap kritis dan tak bosan-bosan membuat telaah: sudah betulkah ungkapan kepatuhan ini direalisasikan dalam satu momen pemilihan kepala desa – yang salah satunya dilaksanakan di Dempo Barat?

Pertanyaan ini menjadi penting sebab selama ini lumrah di masyarakat bahwa desa kepatuhan kepada guru seringkali berakhir pada soal kebebasan kita - terutama dalam keputusan politik. Dengan kata lain, ungkapan kepatuhan kepada guru itu (seolah dan selama ini seringkali) dipahami sebagai ketundukan untuk bersikap sama dengan pilihan politik sang guru. Inilah persisnya posisi dilematis yang patut kita renungkan tentang posisi ungkapan sami'na wa atha'na (kami mendengar dan kami patuh).

Tanpa mengurangi rasa hormat kepada guru (kiai/ustadz), posisi ungkapan kepatuhan sebaiknya dipahami dengan cara yang lebih bijaksana. Ungkapan tersebut tidak boleh menghilangkan kebebasan dan sikap kritis kita -  sebagai warga negara/desa - terhadap politik. Ungkapan tersebut tidak boleh menjadi semacam bayangan yang seolah-olah mengendalikan sikap dan kebebasan kita sebagai warnga negara/desa.

Pemilu - baik itu di tingkat desa - sejatinya adalah instrumen kontrak politik antara rakyat dan calon pemimpin. Di sini, seharusnya - dan ini harus ditekankan - warga diberi hak dan kebebasan yang sepenuhnya untuk menilai dan mengkritisi - dan seterusnya menentukan pilihan - siapa yang layak menjadi pelayan bagi mereka. Ini merupakan edukasi politik penting yang perlu ditanamkan bagi seluruh masyarakat di desa.

Berhentilah Menabur Stigma 'Tidak Patuh'

Apa yang harus dilakukan dengan pemahaman ini?

Pertama, sebagai warga negara/desa, mulailah untuk merenungkan sejenak bahwa politik adalah urusan publik tetapi keputusan memilih calon pemimpin adalah urusan privat. Sebagai urusan privat, seseorang harus berani mengatakan bahwa hanya Tuhan dan dirinyalah yang tahu siapa pilihan yang sesuai selera.

Kedua, kepada siapa pun, berhentilah memberi stigma (cap) buruk kepada mereka yang berbeda pilihan politik dari sang guru. Memberi cap 'tidak baik' atau 'tidak patuh' kepada mereka yang berseberangan politik dengan sang guru bukan saja tidak baik bagi tradisi demokrasi. Tetapi hal itu memberi dampak psikologis bagi publik sehingga mereka kehilangan hak dan kebebasan politiknya untuk menyatakan apa yang sejalan dengan pikirannya. Konsekuensi lanjutannya adalah terhambatnya proses-proses politik yang kian kehilangan semangat rasionalitasnya.

Politik Para Guru yang Kita Mau

Percayalah saya bukan penganut paham yang menyukai gagasan keterpisahan urusan politik dan agama atau keterpisahan tokoh agama dari urusan politik. Saya justru mendukung sikap pro-aktif tokoh agama dalam rangka memberi ruh/semangat moral bagi urusan politik atau pemerintahan. Dengan kata lain, tokoh agama perlu mengambil tindakan yang perlu demi mendorong politik tingkat tinggi (high politic) yakni menyangkut perjuangan terdistribusinya keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh warganya. Saya senang bila tokoh-tokoh agama aktif dalam politik dengan misi memperbanyak orang-orang baik di pemerintahan dan meminimalisir orang-orang yang tidak baik. Dengan harapan, produk kebijakan lebih banyak memberi manfaat (benefit) kepada masyarakat banyak.

Tetapi di dalam politik praktis - yang biasa kita kategorikan sebagai politik rendahan (low politic), porsi dukungan dan keterlibatan sebaiknya dipertimbangkan secara arif dan bijaksana. Para guru - sebagai panutan - sebaiknya menempatkan diri dalam posisi yang tidak berlebihan dalam memberi porsi dukungan. Target keberpihakan para guru (kiai/ustadz) selaku panutan seharusnya bukan kepada kontestan yang mana pun. Keberpihakan para guru seharusnya adalah kepada kita - sebagai warga.

Apa yang kita butuhkan? Pertama, dukungan moral dari para guru untuk mengajak dan mengedukasi kita tentang pentingnya membuat pilihan rasional, pentingnya menghindari tekanan politik yang irasional, pentingnya tidak terjebak pada fanatisme dalam politik, pentingnya memilih berdasarkan kemampuan atau kapasitas mereka. Yang kita butuhkan sebagai warga desa dari para guru adalah suntikan moral bahwa berpartisipasi dalam pemilu tingkat desa adalah bagian dari semangat untuk menegakkan pemerintahan yang terbaik. Nilai-nilai semacam itu yang kita inginkan - bukan kepada siapa kita (harus) menjatuhkan dukungan.

Kedua, di balik permukaan politik yang demokratis, kita tidak jarang diberi tontonan yang penuh intrik, penuh permainan, kontrak kepentingan sesaat, rebutan kekuasaan, bagi-bagi posisi atau jabatan. Jika para guru melibatkan diri dalam dukungan politik yang berlebihan, bisakah kami diberi jaminan bahwa calon pemimpin yang mereka beri dukungan besar merupakan pilihan ideal yang terbebas dari segala intrik kekuasaan seperti di atas?

Jika para guru tidak bisa memberikan jaminan itu, biarkan kami selaku warga desa menentukan sendiri pilihan politiknya. Restui jalan pilihan politik kami. Kelak siapa pun yang terpilih. Kita - warga desa - dan para guru bersatu padu untuk mengawal dan memberi kontrol demi tegaknya politik tingkat tinggi yakni pemerintahan desa yang terpilih mampu menjalankan nilai-nilai keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh warga desanya. rmol news logo article

AS. Nomialus
Warga Desa Dempo Barat, Pasean, Pamekasan, Jawa Timur.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA