Gerakan Golput selalu menyeruak di setiap pemilu, tak terkecuali dalam Pemilu 2019 yang akan digelar 17 April nanti. Tak besar, namun warnanya cukup menarik untuk menjadi pembicaraan.
Pertanyaannya, relevankah Golput di era kebebasan seperti sekarang? Golput selalu dinamis dan mengikuti perkembangan zaman. Lalu mengapa saat ini Golput kembali mencuat? Selain masyarakat yang jenuh dengan perdebatan panas kubu pendukung Jokowi dan Prabowo, kelompok Golput yang terorganisir (jika dapat dikatakan demikian) beranggapan kedua pasangan capres dan cawapres tidak layak dipilih karena persoalan oligarki politik.
Dan siapa pun pemenangnya, akan melindungi kepentingan industri pertambangan dan kelapa sawit. Selain tidak memiliki itikad kuat dalam penuntasan kasus pelanggaran Hak Azazi Manusia (HAM) warisan Soeharto (yang kini anak-anaknya berkumpul di Partai Berkarya dan menjanjikan kebangkitan Orde Baru jika Prabowo berkuasa). Sepintas, argumentasi kelompok Golput mudah dicerna dan diminati generasi milenial dan generasi Z.
Namun alih-alih menawarkan alternatif politk (dalam bentuk apapun), kelompok yang menyuarakan Golput justru mendorong apatisme politik dalam skala massif yang pada akhirnya akan melemahkan penguatan civil society. Tepatnya menjadi anarkisme politik. Dan hal ini akan membahayakan perkembangan demokrasi, karena urusan politik diserahkan hanya kepada para politisi dan pendukungnya.
Saat ini justru gerakan Golput hanya bergerombolan di sosial media dan tak memberikan alternatif politik atas kebuntuan sistem politik yang saat ini subur oleh praktek oligarki. Mereka, kelompok yang menyuarakan Golput, telah mendorong apatisme politik dan realita sosial.
Sulitnya menentukan pilihan terhadap dua pasangan calon presiden dan wakil presiden saat ini karena tidak sesuai dengan ekspektasi dan idealisme yang diusung, membuat apatisme berbungkus Golput menjadi pilihan.
Politik dan preferensinya sebenarnya tidak terlalu sulit. Parameter mudahnya adalah siapa pasangan yang relatif mendekati persyaratan ekepektasi dan idealisme, atau jika diperuncing lagi, siapa pilihan yang lebih sedikit mendatangkan kerugian bagi prinsip politik yang dianut. Namun berpaling dari realita dan tidak memilih hanya akan mendegradasi perkembangan demokrasi yang dicita-citakan.
Dengan sistem politik seperti saat ini, oligarki dan kepentingan Industri menemukan lahan suburnya. Bohir-bohir yang siap melakukan investasi terhadap capresnya tinggal menentukan pilihan kepada siapa mereka akan menyalurkan logistiknya, dengan kompensasi kepentingan bisnisnya tidak terganggu.
Ongkos politik yang tinggi, membuat presiden dari faksi Independen pun tidak akan dapat menghindari dua kekuatan di atas.
Sedihnya, kelompok yang menyuarakan Golput nampaknya tidak siap untuk mengkonsolidasikan diri menjadi alat politik yang akan mengubah sistem oligarki politik ini. Yang terlihat justru menjadi kegenitan intelektual yang tak mampu membuat pilihan.
Jangan bayangkan kelompok ini akan menjadi kawah candradimuka bagi para pemuda-pemuda yang tidak puas dengan keadaan dan menjadi gerakan seperti di Amerika dan Eropa yang saat ini ideologi Sosialisme Demokrasi digandrungi generasi milenial.
Golput Ancaman Probabilitas Kemenangan Jokowi?Setiap petahana wajib mengkhawatirkan Golput, karena berpotensi mereduksi probabilitas kemenangannya dalam pemilu.
Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebutkan, partisipasi pemilih pada pemilu legislatif 2014 mencapai 75,11 persen. Angka golput Pileg 2014 mencapai 24,89 persen, sementara dalam pilpres angkanya mencapai 29,01 persen.
Kubu Jokowi wajib khawatir, mengingat angka kemenangannya atas Prabowo pada Pilpres 2014 hanya terpaut selisih sekitar 7 persen. Oleh karena itu Golput menjadi ancaman besar ketimbang merebut kubu suara pemilih Prabowo.
Namun sebagai petahana, Jokowi tidak mampu menjawab ketidakpuasan pemilih yang Golput karena tidak dituntaskannya kasus-kasus pelanggaran HAM dengan membentuk pengadilan Ad Hoc yang sebenarnya menjadi wewenang pemerintah. Dalam hal ini, Jokowi menghadapi dilema, karena jika hal ini dilakukan bukan mustahil kekuatan tentara akan balik badan.
Jatuhnya Gus Dur yang saat itu sukses mengembalikan tentara ke barak dengan mempreteli privilege TNI, mungkin menjadi salah satu perhitungan Jokowi untuk tidak mencoba-coba mengusik “urusan†tentara. Alih-alih, justru menghadiahkan TNI dengan diperbolehkannya menduduki jabatan sipil. Hal ini seperti membuka kotak Pandora TNI yang sudah meninggalkan doktrin dwifungsinya pasca reformasi.
Begitu juga dengan kebijakan pemerintah disektor pertambangan dan sawit yang dianggap amat permisif terhadap pelanggaran atas hak-hak adat masyarakat lokal dan kerusakan lingkungan, yang jika diatur dengan ketat akan berpotensi mengurangim pendapatan negara yang saat ini tengah membutuhkan banyak biaya untuk pembangunan infrastruktur.
Bagaimana dengan Prabowo? Percayalah, hal-hal akan di atas akan tetap berlangsung. Namun, tidak dapat disangkal, dengan segala kekurangannya Jokowi tidak memiliki dosa sejarah dan beban masa lalu yang kelam.
Kelompok Golput idealnya berkonsolidasi dan menjadi pressure yang efektif agar calon presiden yang memiliki resiko kerusakan yang minimal segera melaksanakan agenda-agenda yang sesuai dengan yang disuarakan.
Karena dengan besar atau tidaknya angka golput, pemerintahan akan tetap berjalan. Dan apatisme dan anarkisme politik? Tak ubahnya bagaikan sinisme yang tak mampu melakukan apapun.
***
Fauzan Luthsa
Intelektual Muda
BERITA TERKAIT: