Narasi Oposisi Dan Prasangka Politik

Selasa, 26 Februari 2019, 20:49 WIB
Narasi Oposisi Dan Prasangka Politik
Ilustrasi/Net
TERJEPIT! Posisi oposisi yang berseberangan dengan kekuasaan, dengan mudah menjadi sasaran tembak prasangka. Politik berbicara tentang dominasi serta kekuasaan. Dengan demikian, kelompok oposisi memang bertindak sebagai penantang, terhadap penguasa lama alias petahana. Oposisi asal katanya opposite, bermakna yang berlawanan, sehingga bertindak sebagai oposan.

Padahal mengeliminasi peran oposisi, justru menyebabkan kekuasaan tergelincir pada situasi otoritarianisme. Sehingga keberadaan oposisi, adalah jembatan kesetimbangan bagi kekuasaan, dimana terdapat upaya untuk menjaga, sekaligus mengawasi kerja kekuasaan. Dalam demokrasi, peran oposisi menjadi bagian penting dari upaya merawat nalar publik dari hegemoni nalar penguasa.

Kebekuan oposisi adalah indikasi dari kemunduran demokrasi. Justru peran oposisi harus dilembagakan, sekaligus merupakan penyeimbang narasi. Disisi lain, kekuasaan tanpa kontrol, berpotensi sebagai ancaman bagi kepentingan publik itu sendiri, maka paripurna tugas oposisi, untuk menjadi kontra narasi atas logika kekuasaan. Dengan demikian, oposisi bukan sekedar barisan sakit hati.

Menariknya, pada peta pertarungan politik kali ini, dalam wujud nyata Pilpres 2019, kita justru melihat situasi yang anomali. Kekuasaan bersikap ofensif, bahkan secara aktif mendesak oposisi. sebagai sebuah strategi hal ini dapat dipahami, tetapi keluar dari kelaziman model yang secara normal kerap terjadi.

Pada kasus kompetisi politik, dalam posisi berhadapan incumbent dan penantang, situasinya kerap menempatkan kelompok oposan untuk menggunakan tipe attacking campaign. Tapi kali ini berbeda dan menarik, karena mekanisme aksi-reaksi sedemikian hebat terjadi, dan posisi petahana aktif bahkan terbilang sangat responsif, atau jatuh pada tindakan super reaktif.

Sekali lagi, sebagai metode pemenangan pada sebuah pertandingan tentu saja tidak ada yang salah. Meski kemudian hal tersebut dapat berpotensi melemahkan daya kritis oposisi, tetapi sekaligus menandakan bahwa posisi penantang harus memiliki mental bertanding yang lebih baik, karena tahap kompetisi adalah ujian awal memasuki kursi kekuasaan.

Hoaks dan Prasangka

Over sensitif! Dalam tahun politik semua hal diukur dan dinilai dalam kerangka politik. Terlebih karena kita juga secara bersamaan, beranjak ke dalam satu fase kehidupan baru yakni ranah sosial di dunia digital. Kehadiran internet menstimulasi berbagai hal dari aspek positif hingga potensi negatif. Dan kita tengah beradaptasi dengan kondisi tersebut.

Salah satu yang kemudian muncul sebagai kajian adalah daya rusak persebaran berita palsu. Kategorinya juga meliputi potensi berita kurang lengkap, berita bias interpretasi, hingga berita bohong termanipulasi. Dalam hal tersebut, sebuah berita yang memuat informasi, harus dapat dipastikan utuh, jelas terverifikasi sumber serta arah tujuannya.

Saat misinformasi berubah menjadi disinformasi, lalu berkembang sebagai opini publik, maka hoaks adalah jelmaan dari berita bohong yang sarat kepentingan. Di dalam hoaks, fakta dan realita terlampaui. Tantangan tersebut menghebat, bersamaan dengan abad informasi melalui teknologi komunikasi. Internet memfasilitasi jejaring sosial secara maya.

Kemudian realitas dalam jagad online berpadu dalam bentuk yang seolah-olah, kita mengenalnya sebagai virtual reality sebagai bentuk proyeksi virtual dari realitas. Kini, lambat laun, kita kemudian justru terperangkap dalam reality virtual, kenyataan yang fantasi. Imajinasi ditangkap sebagai kebenaran, karena setiap hari kita mengkonsumsi kepalsuan. Ilustrasi ini yang dinyatakan Baudrillard sebagai hiperrealitas, sebuah situasi yang terlepas serta melampaui kebenaran, dalam dunia simulasi alias simulacra.

Di jagad simulacra, fragmentasi terjadi melalui pengelompokan issue yang diminati. Kita mengenal istilah interaksi sosial homophily dan heterophily, sehingga secara psikologis dan alamiah, pengelompokan terjadi untuk hal-hal sejenis. Berbekal basis tersebut, maka kubu petahana dan oposisi yang terpolarisasi secara kuat, akan melibatkan rombongan yang berasosiasi sebagai barisan pendukung dan pembela.

Disini kemudian prasangka bermula, dalam sentimen kelompok ada klaim kebenaran tunggal, baik pada sisi petahana ataupun oposisi. Sehingga aksi balas membalas, maupun jual beli serangan nyaris tidak bisa terdamaikan. Perlu otoritas dengan kemampuan otorisasi yang kuat untuk bertindak menjadi penengah. Terlebih ketika sensitifitas dijadikan sebagai dasar pembenaran, maka segala sesuatu bisa berujung pada penyelesaian dengan model pelaporan hukum.

Membangun Trust

Era post truth adalah periode ketika kebenaran dikesampingkan, sementara sisi emosionalitas dikedepankan. Distrust terjadi sebagai akibat kekosongan kebenaran. Lantas masing-masing kelompok memandang curiga pihak lainnya. Pada situasi tersebut, oposisi berada dalam posisi terlemah karena publik dipenuhi oleh kekuatan kekuasaan dengan seluruh perangkat instrumen yang dimilikinya.

Pun termasuk pada pertarungan kekuasaan kali ini, hal itu juga yang terlihat dalam kalimat penutup artikel Ika Karlina Idris, Kompas (26/2) berjudul, "Mengenali Jaringan Penyebar Hoaks" dimana bagian akhir kesimpulannya menyatakan, "Jangan biarkan hoaks dan misinformasi, apalagi jika sampai disalahgunakan untuk merebut kekuasaan politik". Meski dapat dipahami sebagai sebuah kesimpulan, tetapi tarikan tersebut luput mengungkapkan bahwa hoaks dan misinformasi, justru dapat pula dipergunakan untuk mempertahankan kekuasaan.

Mengapa demikian? Karena seluruh sumber daya dimiliki oleh incumbent, termasuk penguasaan atas specific resources, termasuk data intelijen, kekuatan media serta para pakar, yang dalam kajian kekuasaan Gramsci dinyatakan sebagai Ideological State Apparatus, yang dapat dikombinasikan dengan Repressive State Apparatus berupa perangkat hukum serta instrumen keamanan, untuk membangun situasi hegemonik secara dominan.

Logika dasarnya, kekuasaan bersifat koruptif, dan kekuasaan yang tanpa batas akan menjadi akut serta kronis kadar korupsi yang diidapnya. Maka terdapat potensi sebagai upaya untuk melindungi kepentingan tersebut, dengan menebar prasangka kepada pihak lain, terlebih kepada kelompok oposisi. Situasi terbolak-balik ini, semakin mengukuhkan keberadaan era post truth, karena indikatornya berbicara tentang penguatan sentimen dibandingkan fakta presisi, dengan potensi yang sama bagi semua pihak, baik kelompok oposisi, atau dapat dimainkan pula oleh tangan kekuasaan.

Lalu bagaimana narasi oposisi, bisa menjadi kekuatan dalam membangun keseimbangan atas wacana dominan kekuasaan? Maka oposisi harus masuk ke dalam ruang-ruang substansial, apa yang dimaknai sebagai kegagalan petahana. Disini kita memang terjadi kegagapan, karena oposisi tidak bisa dibangun sekejap mata, butuh waktu pengorganisiran, sehingga oposisi bukan sekedar produk instan, melainkan hasil dari kerja yang permanen.

Kondisi kali ini, bisa menjadi ladang yang subur bagi oposisi bila mampu mengoptimalkan situasi, bukan berfokus pada gerak-gerik kekuasaan yang memang akan seperti itu sifat alamiahnya, melainkan dengan menciptakan trust kepada publik, dengan mendengar dan berdiskusi atas kehendak masyarakat, melihat sekaligus merasakan apa yang menjadi keluh kesah serta harapan dimasa mendatang. Hal tersebut, menjadi bekalan dalam membangun narasi perlawanan dari kuasa hegemoni, yang kerap menggunakan invisible hand guna menjepit oposisi![***]

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA