Logika Politik Para Intelektual

Jumat, 18 Januari 2019, 07:38 WIB
TETIBA, istilah alumni pun menjadi objek persengketaan di tahun politik.

Maklum saja, karena para pihak, khususnya aktor dan partai politik, hendak berupaya untuk melakukan identifikasi sekaligus asosiasi kepada kelompok intelektual tersebut.

Hal ini terjadi di kedua kubu. Para alumnus perguruan tinggi, terlebih dari kampus negeri dan ternama adalah mendapat bobot yang signifikan.

Padahal jika kemudian populasi alumni tersebut, dikalkulasi dalam struktur sosial, jumlahnya tidaklah seberapa. Lantas apa yang diperebutkan? Tentu saja efek pengaruh dari persepsi publik. Secara umum, masyarakat menilai bila kampus dapat menjadi indikator dari sebuah pilihan politik.

Tidak hanya di Indonesia, di banyak negara perguruan tinggi seolah menjadi magnet yang menarik bagi kelompok politik praktis. Hal ini dapat terlihat secara terang benderang misalnya, sebagaimana relasi dan kedudukan politik Universitas Al-Azhar, terhadap penduduk warga dan pemerintahan Mesir.

Jadi, apa yang dicari? Kemelekatan atas imajinasi publik, bila orang terdidik dan terpelajar memiliki tendensi politik tertentu akan mengakibatkan efek domino meluas. Mengapa begitu? Karena kelompok lapis sosial yang berkategori alumni perguruan tinggi, berada dalam struktur lapisan atas dari stratifikasi sosial.
Terlebih dengan embel-embel nama universitas negeri, dalam benak khalayak dimaknai dengan seleksi masuk nan ketat, sehingga hanya yang terpilih saja yang dapat berkuliah disana, serta mereka “beruntung” dalam kehidupan sosial.

Berharap Efek Ikutan


Indikator yang kemudian disempatkan pada alumni perguruan tinggi, setidaknya terdiri dari kombinasi (a) cerdas -karena pendidikan yang diterima, (b) mobilitas vertikal -naik kelas sosial terjadi karena peluang memasuki pekerjaan dengan level yang lebih tinggi. Artinya, dengan sudut pandang publik yang istimewa menempatkan para alumni kampus tersebut, diharapkan terjadi efek ikutan.

Dalam komunikasi terdapat istilah Bandwagon Effect, yang dinyatakan sebagai bentuk reaktifitas positif untuk mengikuti suatu trend tertentu, maka hal inilah tujuan perebutan simpati melalui jejaring simbolik bernama “alumni”. Jika pilihan politik saya dengan alumni tersebut, sekurangnya pemikiran individu tampak menjadi bagian, atau terasosiasi dengan identitas kelompok tersebut.

Pada banyak kasus pergerakan sosial di dunia, justru menempatkan kelompok terdidik yang ekslusif ini sebagai motor perubahan adalah sebuah kesia-siaan.

Kegagalan itu, sebagaimana dialami Herbert Marcuse -tokoh New Left, yang memandang kelompok mahasiswa dan intelektial serta ilmuwan menjadi perangkat pencerah tercerahkan serta progresif, namun pada akhirnya menuai penyesalan karena berkompromi melalui negosiasi kekuasaan.

Situasi ini terjadi, ketika kaum terdidik tersebut behadapan dengan mimpi mobilitas vertikal, menjadi kelompok sosial sebagai calon penguasa baru.

Kondisi ini yang kemudian dimaknai sebagai pengkhianatan intelektual, khas dari tipikal kelompok kelas sosial terdidik, jatuh dalam perangkap pragmatisme politik yang menawarkan pelepas dahaga kekuasaan, hingga kemudian terlepas dari realitas sosial yang ada disekitarnya.

Alumni dalam Konstruksi Sosial

Definisi “alumni” merupakan konstruksi sosial, dari pemikiran publik tentang kelompok terdidik disebuah kawah candradimuka yang dinamakan universitas. Padahal selama ini perguruan tinggi selalu mengambil ruang berjarak dengan publik, maka dikenal istilah menara gading yang nampak mentereng dan berposisi dalam ketinggian.

Lalu kemudian kelompok ini diperebutkan oleh parapihak dengan kepentingan politik, hendak menguatkan serta membentuk opini publik terkait arah dukungan kelompok sosial yang dapat dijadikan sebagai referensi publik.

Sesungguhnya pola seperti itu, diera keberlimpahan informasi bahkan overload, melalui fasilitasi internet dan kehadiran jagad digital, perlu dipertanyakan efektifitas dari dampak yang diharapkan terjadi. Membawa kelompok yang terdidik, dalam panggung terbuka perang politik, adalah sebuah penghinaan atas kecerdasan publik. Hibridisasi -persilangan motif kepentingan antara elit politik dan elit terdidik menghasilkan format “pembodohan” gaya baru.

Karena sejatinya, terpaan pendidikan hasil bentukan perguruan tinggi tidaklah merepresentasikan kepentingan publik, hal itu terlihat dari “tumpulnya” kemampuan berpikir kritis atas situasi sosial yang melingkupinya, lihat kebermanfaatan hasil penelitian dan kontribusi pendidikan tinggi, dengan kecenderungan bersifat praktis.

Wajah pendidikan, dalam dunia yang sarat dengan kepentingan anti humanisasi, sesuai Paulo Freire -tokoh pendidikan kerakyatan, tidak lebih menghasilkan replikasi lapis sosial, serta menjadi perangkat dari instrument untuk melanggengkan struktur kekuasaan lama.

Kekuasaan yang hegemonik, menguasai benak publik, menciptakan ketidaksadaran akan realitas yang dihadapinya secara langsung, larut dalam hingar bingar politik elit. Dalam bahasa Antonio Gramsci, dibutuhkan intelektual organik yang selalu setia dengan agenda perubahan sosial, karena berurat akar dari kehidupan sosial masyarakat secara riil, bukan diperlekatkan ketika tahun politik menjelang! [***]



Yudhi Hertanto

Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA