Ironisnya, Ketum Forum Honorer K2 Indonesia (FHK2I), Titi Purwaningsih dan timnya tidak berhasil menemui Presiden Jokowi. Hal ini tentu saja membuat mereka kembali menuai kecewa.
Bagaimana tidak, ternyata aksi untuk menarik simpati presiden itu belum juga membuahkan hasil. Diketahui, Titi serta timnya gagal bertemu Presiden Jokowi, meskipun sudah sempat masuk ke kawasan Istana Kepresidenan.
Awalnya Titi cs dipanggil ke Istana pukul 11.30 WIB. Namun, begitu tahu yang akan menerima mereka bukan presiden, Titi cs menolak masuk. "Buat apa masuk kalau hasilnya sama dengan kemarin? Kami maunya bertemu presiden bukan lainnya. Nyatanya presiden menolak menerima kami," kata Titi.
Penolakan ini membuat honorer K2 kecewa berat. Mereka pun memilih menentukan sikap. Pertama, mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kedua, menyatakan sikap terkait posisi politik honorer K2.
Adapun terkait penolakan tersebut, Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko mengatakan bahwa pemerintah sudah punya skema yang bijaksana untuk menyelesaikan masalah honorer K2 (kategori dua). Ini disampaikan Moeldoko saat ditanya mengapa Presiden Joko Widodo maupun menteri tidak ada yang menemui perwakilan honorer K2 ketika mereka menggelar demonstrasi dan menginap di seberang Istana Merdeka, 30-31 Oktober lalu.
"Sebenarnya bukan enggak mau nerima, sama-sama padat semua (agendanya) kemarin. Ya sebenarnya kan secara umum skemanya sudah ketemu, ada melaui tes, standarnya seperti itu," kata Moeldoko di Istana Kepresidenan Bogor, Jumat (2/11). Ia melanjutkan, bagi honorer K2 yang sudah mengikuti tes CPNS namun tidak lulus, masih ada skema Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Mengurai KisruhSaat ini, terhitung ada sebanyak 353.580 orang tenaga honorer K2, dimana kategori K2 ini merupakan tenaga honorer yang diangkat per 1 Januari 2005. Pada perjalanannya, para guru honorer rata-rata mendapatkan gaji sekitar Rp 400.000 hingga Rp 500.000 per bulan.
Gaji yang didapat tersebut, kata Nurbaiti selaku koordinator lapangan demo FHK2I, tidak sesuai dengan beban kerja yang mereka tanggung. Belum lagi, gaji mereka terkadang dibayarkan per tiga bulan. Ironis!
Ya, rencana pemerintah mengalokasikan 50 persen CPNS 2018 untuk posisi guru melalui seleksi umum memang sangat diharapkan oleh para guru honorer yang sudah mengabdi bertahun-tahun lamanya. Namun, kebijakan tersebut tidak dibarengi dengan mengakomodir tuntutan tenaga honorer K2 untuk diprioritaskan diangkat menjadi PNS.
Pemerintah beralasan bahwa kendala mengatasi persoalan tenaga honorer K2 memiliki tiga variabel, yakni: dasar hukum, validitas data, dan kondisi keuangan negara.dan kondisi keuangan negara tampaknya yang menjadi variabel krusial yang dijadikan pertimbangan pemerintah untuk mengangkat secara otomatis tenaga honorer K2. Jika semua tenaga honorer K2 diangkat jadi PNS maka dibutuhkan anggaran Rp 37 triliun untuk gaji dan tunjangan mereka.
Menurut Pendidik Generasi Haritsan Aminan Lil Islam di Kalimantan, Sri Wahyu Indawati, M.Pd, sudah seharusnya pemerintah memperhatikan nasib guru honorer. Karena, di sekolah-sekolah sangat memerlukan tenaga guru. Sementara jumlah PNS guru tidak mencukupi untuk memenuhi pelayanan pendidikan di berbagai daerah di Indonesia.
Dijelaskan, guru merupakan tombak terdepan dalam memajukan pendidikan dan pembinaan generasi di lingkungan sekolah. Tanpa guru, apalah jadinya dunia pendidikan, sehingga peran guru tak dapat dipisahkan dari aktivitas pembelajaran.
Untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia, maka perlu penempaan di dunia pendidikan. Profesi yang tepat untuk melakukan hal tersebut adalah guru. Tentunya di balik kewajiban dalam menjalankan amanah tersebut, harus diiringi dengan pemenuhan hak yang setara dengan tanggung jawab yang besar.
Selama ini kacamata pendidikan dalam sistem kapitalisme-demokrasi hanya memandang sebelah mata peran guru honorer. Dengan gaji yang mereka peroleh tidak sebanding dengan jasa mereka yang tanpa pamrih, untuk meningkatkan intelektualitas dan membentuk akhlak mulia pada peserta didik
Berdasarkan laporan Education Efficiency Index, Indonesia termasuk negara yang paling kurang mengapresiasi guru. Dari 30 negara yang masuk dalam survei tersebut, gaji guru di Swiss merupakan yang tertinggi dengan nilai 68.000 dolar AS atau sekitar Rp 950 juta per tahun. Angka ini lebih tinggi daripada gaji rata-rata kelas menengah di Swiss.
Gaji guru tertinggi berikutnya adalah Belanda, Jerman, dan Belgia. Di Perancis, gaji rata rata guru senilai 33.000 dolar AS per tahun, sedangkan Yunani 25.000 dolar AS per tahun.
Indonesia sendiri berada di urutan paling buncit dengan gaji 2.830 dolar AS atau Rp 39 juta per tahun. Gaji guru PNS ada dalam rentang Rp 1.486.500 dan Rp 5.620.300, bergantung pada golongan kepegawaiannya. Sementara itu, menurut surat dari Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) kepada Presiden RI, rata-rata penghasilan guru non-PNS pada 2012 adalah Rp 200 ribu. Maka tidak berlebihan jika dikatakan besar pasak daripada tiang.
Guru Dalam IslamDalam Islam, nash-nash syara’ telah menetapkan bahwa pendidikan merupakan hajah asasiyyah (kebutuhan dasar) yang harus dijamin ketersediaannya di tengah-tengah masyarakat. Islam juga memberikan perhatian yang sangat tinggi terhadap pada pengajar dengan memberikan upah yang sangat layak atas ilmunya.
Sebagai gambaran, diriwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah, dari Sadaqoh ad-Dimasyqi, dar al- Wadl-iah bin Atha, bahwasanya di masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab, ada tiga orang guru di Madinah yang mengajar anak-anak. Setiap guru mendapat gaji 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas; 15 dinar = 63,75 gram emas). Bila saat ini 1 gram emas Rp 500 ribu, berarti gaji guru pada saat itu setiap bulannya sebesar Rp 31.875.000.
Tentunya ini tidak memandang status guru tersebut PNS atau pun honorer. Apalagi bersertifikasi atau tidak, yang pasti profesinya adalah guru. Subhanallah, sungguh nilai yang fantastis! Guru tak perlu lagi pusing memikirkan soal tunjangan profesi, dan lain-lain.
Sungguh luar biasa, para guru akan terjamin kesejahteraannya dan dapat memberi perhatian penuh dalam mendidik muridnya. Tanpa harus dipusingkan lagi membagi waktu dan tenaga untuk mencari tambahan pendapatan.
Tidak hanya itu, negara juga menyediakan semua sarana dan prasarana secara cuma-cuma dalam menunjang profesionalitas guru menjalankan tugas mulianya.
Sehingga, selain mendapatkan gaji yang besar, mereka juga mendapatkan kemudahan untuk mengakses sarana dan prasarana untuk meningkatkan kualitas mengajarnya. Hal ini tentu akan membuat guru bisa fokus untuk menjalankan tugasnya sebagai pendidik dan pencetak Sumber Daya Manusia berkualitas yang dibutuhkan negara untuk membangun peradaban yang agung dan mulia.
Tidak ada ruang untuk merasa kecewa terhadap negara. Jika Islam memiliki pengaturan pendidikan secemerlang ini, maka mengapa kita mencoba menerapkannya? Bukankah ia datang dari Yang Maha Sempurna?
Wallahu a’lam bisshawab. [***]
Hasni Tagili, M. PdPraktisi Pendidikan Konawe