Dalam penerapannya di lapangan kebijakan tersebut bukan tanpa masalah, muncul berbagai pro dan kontra mulai dari ketidaksiapan masyarakat dalam penggunaanya, ancaman PHK pekerja tol, perdebatan skema harga untuk transaksi pengisian ulang (top-up) uang elektronik, hingga dasar hukum tentang Uang Elektronik yang dianggap bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi.
Namun melalui tulisan ini, saya hanya ingin memfokuskan pada kajian tentang adanya judicial reviewke Mahkamah Agung oleh Forum Warga Kota Jakarta (Fakta) berkaitan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/8/PBI/2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.Apabila uji materi ini dikabul oleh MA, maka tentu akan berdampak luas terhadap kewajiban penggunaan pembayaran tol dengan cara non-tunai yang telah mulai dilaksanakan di beberapa daerah di Indonesia.
Melalui keterangannya Forum Warga Kota Jakarta (Fakta) beralasan bahwa dalam UU Mata Uang tidak mengatur tentang Uang Elektronik, dalam UU Mata Uang hanya diatur uang yang sah adalah rupiah berbentuk kertas dan logam. Untuk itu PBI Nomor 16/8/PBI/2014 dianggap tidak memiliki dasar dan legitimasi hukum, karena bertentangan dengan Peraturan Perundang undangan yang lebih tinggi. Namun hal tersebut dibantah oleh Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara yang menyatakan ketentuan Uang Elektronik telah sesuai dengan ketentuan UU Mata Uang, Rupiah menurutnya ada yang berbentuk rupiah dalam bentuk tunai dan ada yang bentuk nontunai, transaksi dengan menggunakan rupiah baik secara tunai maupun nontunai sama saja dengan transaksi berupa transfer lewat giro atau tabungan di bank, sehingga transaksi tersebut sah menurut hukum.
Terhadap adanya Uji Materi ketentuan Uang Elektronik tersebut, setidaknya saya memiliki berbagai macam pandangan. Pertama, secara Yuridis dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Perbankan, Bank Indonesia, Perbankan Syariah, Transfer Uang dan Mata Uang tidak ditemukan pengaturan maupun ketentuan yang mengatur dan menyebutkan secara detail tentang “Uang Elektronikâ€, sehingga menurut saya ide Judicial Review tersebut merupakan ide yang cemerlang, karena memang secara Yuridis tidak ada dasar hukum yang memadai tentang “Uang Elektronik†dalam beberapa ketentuan peraturan-perundang-undagan yang ada, sehingga secara materiilhal tersebut dapat dipersoalkan atau diuji ke Mahkamah Agung dalam konteks Pengujian Peraturan Perundang-Undangan dibawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang.
Kedua, apabila dikaji menurut perspektif ilmu perundang-undangan, dalam konsideran PBI Nomor 16/8/PBI/2014 tidak satupun dalam point “mengingat†yang sejatinya memuat dasar hukumdalam pembentukannya dengan berpegang pada dasar hukum berupa UU Mata Uang. Dalam konsideran PBI Nomor 16/8/PBI/2014 hanya berlandaskan pada UU Perbankan, UU Bank Indonesia, UU Perbankan Syariah dan UU Transfer Uang yang tidak berhubungan secara langsung dengan ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang Mata Uang. Padahal jelas PBI Nomor 16/8/PBI/2014 mengatur tentang Uang Elektronik yang sangat berkaitan dan sangat berhubungan dengan UU Mata Uang, sehingga dengan demikian secara formildapat pula dipersoalkan atau diuji ke Mahkamah Agung.
Ketiga, secara sosiologis Uang Elektronik muncul dan berkembang seiring perkembangan ilmu Pengetahuan dan Teknologi Informasi yang semakin pesat. Hukum seringkali berada pada posisi stagnan dan tidak mampu mengikuti dinamika perkembangan sosial yang sangat begitu pesatnya. Contoh kecilnya adalah berkaitan dengan UU Mata Uang yang tidak dapat lagi diaplikasikan pada perkembangan masyarakat modern yang telah mengenal Teknologi dengan mengembangkan sistem pembayaran yang dikenal dengan Uang Elektronik. Untuk itu negara melalui Bank Indonesia mencoba mencari jalan keluar dengan membentuk regulasi berupa PBI Nomor 16/8/PBI/2014. Tujuannya adalah tidak lain untuk dapat merespon terhadap segala kemungkinan terjadinya kekosongan hukum akibat perkembangan dan dinamika di masyarakat. Argumen tersebut diperkuat dengan adanya keterangan dariDeputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara yang menegaskan bahwa PBI Nomor 16/8/PBI/2014 yang diterbitkan Bank Indonesia dibuat untuk kebaikan negeri.
Sehingga dengan demikian apabila berdasar pada uraian dan analisa diatas, maka peluang judicial review PBI Nomor 16/8/PBI/2014 terhadap UU Mata Uang, sangat bergantung pada Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut. Apabila Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut menggunakan perspektif Yuridis secara an sich, dengan tidak mempertimbangkan aspek sosiologis yang melatarbelakangi lahirnya PBI Nomor 16/8/PBI/2014, maka dapat dipastikan judicial reviewPBI Nomor 16/8/PBI/2014 akan dikabul, sehingga PBI Nomor 16/8/PBI/2014 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Namun apabila Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut merupakan penganut ajaran Hukum Progresif atau mempertimbangkan aspek-aspek diluar hukum sebagai dasar pertimbangan dan acuannya, maka dapat dipastikan pula atas dasar perkembangan ilmu Pengetahuan dan Teknologi Informasi dan dengan segala kemungkinan terjadinya kekosongan hukum di dalamnya, maka permohonan judicial review PBI Nomor 16/8/PBI/2014 kemungkinannya akan tolak, sehingga PBI Nomor 16/8/PBI/2014 tetap memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Atas dasar itulah diperlukan argumentasi hukum yang memadai baik oleh Pemohon Uji Materi maupun dari Termohon Uji Materi dalam hal ini Bank Indonesia, untuk dapat mengajukan legal reasoning sesuai dengan fakta beserta kedudukan hukum yang melatarbelakangi lahirnya PBI Nomor 16/8/PBI/2014, sehingga hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut dapat menerima secara objektif berdasarkan pertimbangan-pertimbangan baik dari sisi Filosofis, Yuridis, Teoritis dan Sosiologis.
Kedepan yang tak kalah pentingnya berkaitan dengan pengaturan Uang Elektronik maupun Transaksi Elektronik atau Pembayaran Non Tunai perlu menjadi perhatian bersama, baik oleh pemerintah maupun anggota DPR dan civil society yang konsen dengan persoalan ini, untuk bersama-sama mengawal untuk diadakannya revisi atau perubahan terhadap ketentuan-ketentuan yang belum memadai seiring berkembangnya teknologi informasi, utamanya berkaitan dengan regulasi Uang Elektronik dalam UU Mata Uang dan UU yang berkaitan dengannya seperti UU Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Perbankan, UU Bank Indonesia, UU Perbankan Syariah dan UU Transfer Uang. Kesemuanya perlu penyelarasan dan harmonisasi sehingga tidak tumpang tindih antar satu dengan yang lainnya.
Karena sebagaimana mengutip Selo Soemarjan : seharusnya perubahan sosial dan perubahan hukum itu berjalan bersama-sama karena hukum memfasilitasi perubahan sosial untuk mencapai keteraturan. Namun pada kenyataannya perubahan sosial dan perubahan hukum itu ada kalanya tidak berjalan bersama-sama. Terkadang perubahan sosial berubah lebih cepat karena memang perubahan sosial itu hidup di masyarakat dan selalu mengikuti perkembangan zaman yang selalu berubah. Untuk itu perlu harmonisasi yang berkelanjutan antar satu dengan yang lainnya, sehingga ketertinggalan hukum atas perkembangan zaman dapat diantisipasi secara komprehensif dan berkesinambungan.
Selain itu yang tak kalah pentingnya adalah perturan-peraturan pelaksanaannya juga perlu ditinjau ulang, guna mengantisipasi perkembangan global yang semakin tak terbendung. Karena saya berkeyakinan kedepan Uang Elektronik maupun Transaksi Elektronik atau Pembayaran Non Tunai akan semakin mendapat tempat dan menjadi pilihan bagi kalangan masyarakat, karena selain efektif dan efisien juga mempermudah peran Negara untuk melakukan kontrol terhadap segala kemungkinan kegiatan transaksi yang dilarang dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan seperti tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme.
[***]
Saiful Anam Ketua Komite Hukum Mata Garuda Institute;
Praktisi & Akademisi Hukum Tata Negara;
Kandidat Doktor Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Indonesia