Pada tahun 1970-an banyak mahasiswa dari Malaysia dikirim ke Indonesia untuk belajar. Bahkan tidak sedikit orang-orang Indonesia menjadi dosen dan pengajar di sana. Namun sekarang, banyak pelajar Indonesia yang belajar di Malaysia. Bahkan yang paling memprihatinkan adalah banyaknya orang Indonesia yang bekerja di negeri Jiran tersebut, terutama tenaga kerja wanitanya.
Tahun 1980-an negara kita menjadi negara pengekspor utama beras di wilayah asia. Dahulu kala negara seperti Malaysia yang pernah belajar bagaimana cara bercocok tanam pada kita kini justru kondisinya terbalik, kini kita yang belajar pada mereka. Kini kitalah yang membeli beras dari mereka. Tahun 1980-an, Vietnam juga pernah belajar ke Indonesia mengenai pertanian. Tapi selang beberapa tahun lamanya, Vietnam telah melesat meninggalkan Indonesia. Sekarang, Vietnamlah yang mengekspor beras ke Indonesia.
Kenapa ini bisa terjadi? Bukankah Indonesia ini adalah negara yang sangat subur dengan lahan pertaniannya yang sangat luas? Kalau melihat kesuburan tanah dan luasnya lahan pertananian, semestinya Indonesia menjadi negara yang paling kaya dalam hal ketahanan pangan. Tanaman apa yang tidak bisa tumbuh di Indonesia? Saking suburnya, MH Ainun Najib yang akrab dipanggil Caknun menyebut Indonesia sebagai penggalan sorga.
Marilah tengok ke beberapa negara dengan sistem pertaniannya termasuk yang terbaik di dunia. Sebagai contoh, adalah negara yang pernah menjajah Indonesia, yakni Belanda. Belanda dengan luas Negara hanya 41.526 km persegi (bandingkan dengan luas Indonesia yang mencapai Indonesia 1.919.440 km) mampu menjadi Negara dengan besaran ekonomi urutan 16 di dunia dan memiliki pendapatan perkapita 2% lebih besar bila dibandingkan dengan rata-rata di eropa, sekitar 20% perekonomian mereka di topang dari sektor pertanian.
Martin J Kropff, Rektor Universitas dan Research Wageningen, Den Haag mengatakan bahwa salah satu kiat mereka dalam membangun industrialisasi pertanian adalah melakukan investasi dalam kegiatan riset. Dari riset ini akhirnya digulirkan inovasi-inovasi, yang salah satunya di bidang pertanian. Sekarang pertanian di negeri kincir angin itu telah dijalankan dengan sistem yang modern, direncanakan secara matang, menggunakan alat yang canggih dan keterampilan. Inustri pertanian Bunga/tanaman hias menjadi salah satu andalan di negeri Belanda, mereka menggembangkan teknologi yang mereka sebut tirai difragma untuk greenhouse, atapnya terlihat berwarna belang-belang abu-abu dan transparan yang dikendalikan secara mekanik bisa menutup dan membuka untuk mengatur suplai cahaya, karbondioksida, dan kelembaban udara di sekitar greenhouse seperti yang di inginkan.
Demikian halnya dengan Jepang. Melalui kebijakan nasional tentang konsolidasi lahan (1961), yang menekankan pentingnya merokalisasi lahan pertanian yang tadinya terpisah-pisah dalam jumlah yang kecil sehingga kurang efesien menjadi lahan yang terlokalisasi pada satu daerah secara terpusat. Selain itu, pemerintah Jepang memberi perhatian khusus terhadap sektor ini, seperti pendirian sejenis koperasi bernama Japan Agriculture Cooperative (JA Cooperative) yang secara baik mengatur pengadaan pupuk, benih, penjualan produk hasil pertaniaan hingga bimbingan teknis untuk anggota-anggotanya, memberikan subsidi untuk melindungi hak petani untuk hidup layak.
Kebijakan seperti itu pada akhirnya telah menjadikan Jepang sebagai negara dengan sistem pertanian terbaik di dunia. Padahal, dibandingkan dengan Indonesia, kesuburan dan luas tanahnya, Jepang jauh di bawah Indonesia. Terlebih lagi, Jepang seringkali ditimpa berbagai bencana, seperti gempa dan tsunami yang dapat merusak lahan pertanian. Namun sekarang, lahan bukan menjadi masalah, Jepang bisa menanam padi di atas gedung atau di ruangan tertutup dengan sistem pencahayaan dan suhu yang diatur sedemikian rupa. Keunggulan pertanian Jepang tersebut, tentu saja karena teknologinya di bidang pertanian yang semakin maju.
Begitu pula dengan Amerika Serikat. Negara ini termasuk pengekspor hasil pertanian terbesar di dunia. Selain mengekspor hasil pertanian, mereka juga mengkspor bibitnya, seperti bibit jagung, kentang, dan kedelai, gandum dan lain-lain. Australia pun begitu. Negara ini termasuk pengekspor buah-buahan dan hasil ternak seperti daging sapi dan susunya. China pun tidak ketinggalan. Banyak produk pertanian yang diimpor dari negara ini, terutama sayuran seperti cabe, beras, jagung dan kedelai.
Berdasarkan kenyataan tersebut, Gerakan Pemuda Tani Indonesia (Gempita) Kementerian Pertanian (Kementan) mengadakan “Agriventor 2017: Kompetisi Penemu Mudaâ€, lomba inovasi teknologi pertanian bagi generasi muda Indonesia dan bekerjasama dengan RILIS.ID sebagai event partner. Kegiatan ini untuk mendorong munculnya generasi muda yang maju dengan penemuan-penemuan mutakhir di bidang pertanian, yang kiranya dapat diterapkan dalam mendukung penggunaan teknologi maju dalam bidang pertanian untuk meningkatkan hasil pertanian dan kesejahteraan masyarakat Indonesia,†ujar Koordinator Nasional Gempita, M Riyada, di Kantor Pusat Kementan, Jakarta, Rabu (13/9).
Kegiatan ini dipandang sangat perlu dilakukan untuk menginventarisir semua penemuan anak-anak muda Indonesia yang cerdas dan berbakat dalam membangun kesejahteraan petani Indonesia. Di mana selama ini banyak anak-anak bangsa yang sangat berbakat, namun justru penemuananya kurang terpublikasi sehingga kurang termanfaatkan. Oleh sebab itu, diharapkan event seperti ini mampu mendongkrak semangat mereka untuk melakukan inovasi tanpa henti dan kreativitas tanpa batas.
Melalui penggunaan teknologi pertanian yang tepat guna, maka diharapkan para petani mampu mengelola lahan garapannya secara efektif dan efisien. Harapan jangka panjang ke depannya, hasil penemuan dari anak-anak muda berbakat tersebut dapat dipatenkan dan diproduksi secara masal dengan kualitas yang baik namun harga yang sangat terjangkau oleh petani. Sehingga dapat mewujudkan program nawacita pemerintahan Jokowi-JK, terutama butir ke-6 yakni; “Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya.â€
Pada akhirnya, kebutuhan akan adanya inovasi teknologi pertanian merupakan sebuah keniscayaan yang tak terbantahkan lagi, jika mau mengejar ketertinggalan Indonesia dari negara-negara maju.
Tidak dapat dipungkiri, jika sebuah negara telah mampu melakukan swa sembada pangan, itu adalah sebuah indikasi bahwa negara itu sudah makmur. Akan tetapi sebaliknya, jika ketahanan pangan negara itu ambruk, maka negara pun akan hancur. Dampaknya ditandai dengan naiknya harga kebutuhan pokok, sebagai akibat dari naiknya bahan baku, yang pada akhirnya akan memunculkan ekses-ekses yang tak dapat dihindarkan seperti bahaya kelaparan, banyaknya pengangguran dan kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin yang cepat atau lambat dapat memunculkan konflik sosial di masyarakat.[***]
SyamsudinDirektur Desa Foundation