Kesalahan Itu Bernama Mudik

Rabu, 28 Juni 2017, 17:54 WIB
RAMADHAN hampir tiba di penghujungnya, tampak keriaan dari kebiasaan menyambut hari kemenangan yang raya menggema.

Di Indonesia hari raya disambut gegap gempita, dijadikannya hari istimewa dan simbol dari sebuah metamorfosa diri menjadi fitri. Karena memang ramadhan bertujuan untuk La Alakum Ta'taqun (agar bertakwa) pada proses penempaan spiritualitas manusia dalam menghamba pasca ramadhan di hari-hari kedepan yang biasa kita akan lalui.

Sebagian lagi bersedih karena ditinggalkan oleh bulan ketika kebaikan dan peribadatan mendapatkan ganjaran tertinggi dari yang kuasa. Ramadhan adalah penantian dalam kehidupan dan akan selalu mengajarkan kita arti kerinduan terhadap kemuliaan yang diberikan, kali ini oleh Sang Maha Memberi, Tuhan YME, Allah SWT.

Pemaknaan, interpretasi dan penantian terhadap ramadhan dirasa beragam oleh umat muslim Indonesia. Selain sebagai bulan penuh ladang ibadah, ramadhan yang berujung pada perayaan hari raya Idul Fitri juga membentuk kebiasaan yang tak kalah menjadi sebuah ritual keharusan dalam perayaannya. Rakyat dan umat muslim Indonesia menyebutnya dengan mudik. Kembali ke kampung halaman setelah sekian lama menghulubalang di perantauan. Berkumpul bersama keluarga tercinta, melepas rindu, mendekap silaturahim antar sesama.

Mudik telah menjadi sebuah kebiasaan yang mahfum adanya, malah hukumnya adalah wajib bagi yang memiliki sanak saudara juga keluarga di kampung halaman. Rasanya tidak ada yang salah dari prosesi ini. Semuanya ada dalam batas kewajaran saat manusia merindukan asalnya. Seperti hidup yang menanti mati dalam waktu-waktu merindu. Namun, prosesi atau kebiasaan mudik ini jika kita cermati hanya ada di negara berkembang seperti Indonesia dan Bangladesh. Ketika orang berduyun-duyun kembali ke asal. Lalu apa yang salah dengan mudik ini?

Sebelum masuk pada pembahasan, ada baiknya kita memahami sejak kapan sebetulnya kebiasaan mudik yang sudah menjadi budaya ini berlangsung?

Dahulu, antara mudik dan lebaran tidak memiliki kaitan satu sama lain. Artinya, lebaran atau Idul Fitri dalam prosesi keagamaan tidak mengenal mudik, namun akhirnya menjadi sebuah kebiasaan ketika ada titik sejarah yang keliru. Saya mencermati hal ini dalam soal pemerataan pembangunan dan kesejahteraan manusia Indonesia. Inilah yang menyebabkan tradisi mudik ada di negara berkembang.

Dalam bahasa Jawa ngoko, Mudik berarti ‘Mulih dilik’ yang berarti pulang sebentar saja. Namun kini, pengertian Mudik dikaitkan dengan kata ‘Udik’  yang artinya kampung, desa atau lokasi yang menunjukan antonim dari kota. Lantas pengertian ini ditambah menjadi ‘Mulih Udik’ yang artinya kembali ke kampung atau desa saat lebaran. Sebenarnya tradisi mudik merupakan tradisi primordial masyarakat petani Jawa yang sudah berjalan sejak sebelum zaman Kerajaan Majapahit. Dahulu para perantau pulang ke kampung halaman untuk membersihkan makam para leluhurnya. Hal ini dilakukan untuk meminta keselamatan dalam mencari rezeki.

Namun istilah mudik lebaran baru berkembang sekitar tahun 1970-an. Ketika itu Jakarta, sebagai ibukota Indonesia tampil menjadi satu-satunya kota di Indonesia yang mengalami perkembangan pesat secara pembangunan dan ekonomi. Saat itu sistem pemerintahan Indonesia tersentral di Jakarta dan ibukota negara melesat dengan berbagai kemajuannya dibandingkan daerah lain di Indonesia.

Bagi penduduk yang berdomisili di desa atau daerah yang tak terjamah pembangunan, Jakarta menjadi salah satu kota tujuan impian untuk mereka mengubah nasib, Jakarta menawarkan mimpi dan harapan terhadap kehidupan. Lebih dari 80 persen para urbanis datang ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Karena di desa dan kampung halaman mereka dirasa sangatlah sulit untuk mengais rezeki dan mendapatkan pekerjaan akibat belum meratanya pembangunan.

Mereka yang sudah mendapatkan pekerjaan biasanya hanya mendapatkan libur panjang pada saat lebaran saja. Momentum inilah yang dimanfaatkan untuk kembali ke kampung halaman atau melakukan tradisi mudik.

Akibat pembangunan yang tak merata tersebut dan buahnya adalah berduyunnya kaum urban memenuhi pelosok ibukota dengan membawa bekal harapan, maka di waktu sekarang dan kedepan, kampung akan tetap menjadi awal kehidupan tanpa penghidupan dan akhirnya jadi tempat berpulang.
Bagi saya ini kesalahan yang kaprah dari sebuah konsep pembangunan Indonesia. Bayangkan betapa lelahnya kita akhir-akhir ini untuk memunculkan pemerataan dengan konsep diversifikasi ekonomi. Itupun masih mengalami ketimpangan dalam berbagai aspek, infrastruktur dan modal misalnya. Bisa dikatakan kita ketinggalan puluhan tahun dalam pembangunan akibat pusat yang terlalu banyak diperhatikan dibanding dengan daerah.

Bayangkan lagi, jika konsep pembangunan sejak awal negara ini berdiri sudah memenuhi prinsip pemerataan, maka tak akan ada mudik karena orang-orang sudah mendapatkan mimpinya di kampung halaman dan desa masing-masing mereka berasal.

Desa dan kampung memiliki sumber daya ekonomi yang mampu mencukupi kebutuhan masyarakatnya, kota mendapatkan supply kebutuhan dari desa, desa menjadi lingkaran ekonomi yang mengitari & menghidupi kota, desa berdaya secara ekonomi maka mimpi-mimpi swasembada yang mandiri bukan hanya ilusi.

Mudik juga bukan tanpa kerugian dan resiko. Memang implikasi secara ekonomi langsung dirasakan. Tatkala orang-orang kota membawa pulang uangnya ke kampung. Namun hal itu tak menjamin bertumbuhnya ekonomi desa secara sustainable atau berkelanjutan. Sifatnya hanya periodik ketika periuk nasinya yang menjadi persembahan, bukan bibit padinya.

Jika kita hitung besar mana resiko dan kerugian melakukan perjalanan mudik dibanding jika kita memiliki keluarga dan sumber ekonomi yang berdekatan. Saat kendaraan bertumpuk karena macet, energi yang habis di perjalanan,  belum lagi resiko kecelakaan di jalan dan sebagainya. Maka kita pasti akan memilih poin kedua, keluarga dan sumber ekonomi yang dekat. Dirasa atau tidak, diperhatikan atau tidak, maka mudik bisa jadi merupakan suatu keterpaksaan yang harus diikhlaskan saat ini.

Beruntung kita kini menyadari betapa pentingnya pemerataan pembangunan dengan jalan menghidupkan ekonomi kawasan pedesaan. Walaupun belum benar-benar dirasakan manfaatnya namun hasil dari undang-undang desa nomor 6 tahun 2014 ini sudah mulai menunjukkan hasil.

Salah satu poin yang paling krusial dalam UU Desa, adalah terkait alokasi anggaran untuk desa, di dalam penjelasan Pasal 72 Ayat 2 tentang Keuangan Desa. Jumlah alokasi anggaran yang langsung ke desa, ditetapkan sebesar 10 persen dari dan di luar dana transfer daerah.

Kemudian dipertimbangkan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, kesulitan geografi. Hal ini dalam rangka meningkatkan masyarakat desa karena diperkirakan setiap desa akan mendapatkan dana sekitar 1,4 miliar berdasarkan perhitungan dalam penjelasan UU desa yaitu, 10 persen dari dan transfer daerah menurut APBN untuk perangkat desa sebesar Rp 59,2 triliun, ditambah dengan dana dari APBD sebesar 10 persen sekitar Rp 45,4 triliun. Total dana untuk desa adalah Rp 104,6 triliun yang akan dibagi ke 72 ribu desa se-Indonesia.

Jika apa yang digariskan UU ini berjalan sebagaimana mestinya dengan penuh pertanggung jawaban dan rasa amanah, bukan tak mungkin desa akan mengalami kemajuan ekonomi yang signifikan.

Sumber daya desa akan terkelola dengan baik dan memunculkan kesempatan kerja yang lebih luas. Artinya, desa akan menjadi sumber daya ekonomi yang dekat dengan tempat pulang masyarakat. Transfer dana perimbangan dari ibukota ke desa-desa sifatnya sangat urgent jika kita memilih untuk membenahi kesalahan masa lalu dalam konsep pembangunan kita.

Selama ini desa seringkali berteriak, kami punya sumber daya alam, tapi tak punya modal untuk mengelolanya. Sumber daya alam yang ada sudah kadung dimiliki pemodal dari kota. Jika pemodal itu memindahkan modalnya, kami kehilangan kembali sumber daya ekonomi kami akibat terhentinya pekerjaan.

Kini masyarakat desa bisa secara partisipatif menyampaikan kebutuhan pembangunan bagi desanya secara langsung karena sumber daya modal sudah tersedia tanpa harus menggantungkan diri pada pemodal. Catatannya adalah nihilkan kesewenangan apalagi penyelewengan terhadap dana desa tersebut. Uang rakyat biarlah digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat jangan lagi pejabat korup muncul melalui got-got desa untuk menggerogoti pipa aliran kehidupan masyarakat.

Disamping itu, dana desa yang ada, pengelolaannya juga membutuhkan kreatifitas dan inovasi untuk ikut pada arus zaman. Jika dana yang tersedia hanya digunakan untuk label konsumtif maka tak akan ada sisa dan pertumbuhan bagi ekonomi desa.

Namun jika kreatifitas dan inovasi mampu menopang dana desa pada pembangunan yang sifatnya produktif maka kemajuan dan kemandirian desa adalah sebuah keniscayaan. Tergantung kesungguhan berbagai pihak terkait nantinya. Pada akhirnya roda ekonomi akan berputar di pedesaan, masyarakat pedesaan tak perlu lagi bertaruh nasib di perkotaan yang semakin sesak dengan pertaruhan-pertaruhan. Dan perjalanan orang kota ke desa untuk mudik atau pulang kampung bisa jadi akan tinggal cerita.

Mudik adalah cerminan baik sebetulnya, cerminan jika batin kita sungguh haus akan kehangatan dan kebersamaan dengan keluarga juga kerabat tercinta. Namun, jika bisa dekat mengapa harus jauh mencari penghidupan. Upaya pemerataan pembangunan haruslah didukung berbagai pihak, desa tak bisa sendiri mencari jati dirinya. Bak anak kecil yang baru lulus sekolah, tuntunan orang tua masihlah dirasa penting agar tak terjadi kesalahan dalam melangkah.

Andai tercapai, 10 atau 20 tahun kemudian kita akan melihat mudik yang tak lagi menjadi trend karena telah berdayanya desa dan masyarakatnya. Masyarakat desa malah yang akan menghidupi kawasan perkotaan. Bermacet ria di jalanan kala idul fitri tiba akan menjadi pemandangan langka nantinya. Ketentraman, kedamaian dan kemandirian akan muncul di tempat kita mengawali kehidupan, menjalani kehidupan, mencari penghidupan hingga sampai berakhirnya kehidupan desa dan kampung tempat kita berpulang.[***]


Rezha Nata Suhandi
Peneliti muda di Sang Gerilya Institute

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA