Kasus KM, ananda berumur 4 tahun yang diperkosa bergantian dan dibunuh di Sorong menjadi potret kekejian, kemirisan, kesadisan yang merobek rasa kemanusiaan kita. Kebahagiaan kita atas UU Nomor 17 Tahun 2016 yang memperberat sanksi hukuman kejahatan seksual dengan kebiri, penanaman chip, dan peningkatan sangsi pidana ternyata belum mampu membuat ‘efek kebiri’ sebagai ‘efek kengerian’ bagi para pelaku. Faktanya korban kejahatan seksual anak tumbang satu persatu dan menjadi tambahan album kelam tragedi kemanusiaan setelah kisah Rejang Lebong, Tanggerang, Lampung dan Bogor.
Berikut tulisan kedua lanjutan dari judul yang sama sebelumnya. [Baca:
Dua Rancangan UU Diinisiasi Masyarakat Dalam Perangi Kejahatan Seksual (1)]
RUU Pengasuhan Anak
Beberapa hal yang dikhawatirkan diatas sebenarnya telah diatur. Rambu rambu dalam pengasuhan berkelanjutan yang diharapkan Konvensi Hak Anak pasal 19 yang telah di tanda tangani Negara diperankan dalam bentuk, diantaranya:
Jika Pelaku Masih AnakPelaku adalah sosok manusia yang tidak memiliki kekuatan mental, tidak memiliki kekuatan batiniah untuk mengendalikan dirinya. Sosok manusia yang tidak memiliki kekuatan mengendalikan dirinya, dalam pengasuhan masa kecil dan remaja mereka sebenarnya mengalami unsur unsur kekerasan yang terjadi dikeluarga, dan itu sarat berkaitan dengan cara mengasuh atau keterampilan pengasuhan.
Hubungannya dengan RUU Pengasuhan Anak adalah bahwa dalam RUU ini disediakan peluang bagi anak yang tidak memiliki kekuatan batiniah dan mental untuk mendapatkan konseling gratis di tingkat kabupaten dan kota masing masing.
Untuk Orang TuaDisediakan kesempatan bagi orang tua yang merasa bingung mengendalikan diri didalam mengasuh anak maka orang tua juga punya hak mendapatkan konseling gratis di kabupaten dan kota, tidak langsung diberi sangsi, terutama jika hanya tindak pidana ringan. Hal ini tidak diatur adalam UU sebelumnya.
Tugas Pemerintahan Daerah
Seharusnya Bupati/Walikota diberi mandat untuk mengembangkan sistem program keterampilan orang tua dalam pengasuhan anak (Parenting Skill), keterampilan dan kemampuan orangtua (empowerment), mendidik dan melindungi. Diberi kewenangan atau kewajiban membuat program konseling bagi anak dan keluarga (dan ini adanya di ruu pengsauhan anak)
EvaluasiSekarang kisah Sorong kita hubungkan dengan ketersediaan 2 UU pokok yang menjadi rujukan perlindungan anak yaitu UU Kesejahteraan Anak dan UU Perlindungan anak maka didalam keduanya Ngara tidak menyediakan rehabilitasi holistic terhadap korban dan keluarganya
Peran NegaraIndonesia termasuk Negara yang menyetujui komitmen Deklarasi Stockholm tahun 1996. Beberapa Negara menyatakan komitmen melakuan langkah langkah pencegahan kekerasan seksual terhadap anak. Saat itu semua Negara di dunia menyatakan bersedia dan komitmen untuk membuat program program penanganan secara holistik terhadap korban dan keluarganya.
Namun faktanya Deklarasi Stockholm tidak dituangkan dalam UU Perlindungan Anak, UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdanganan Orang dan UU Sistem Peradilan Pidana Anak. Sesungguhnya tekanan deklarasi ini adalah pencegahan, eksploitasi seksual (esa).
Rasionalisasi Kejahatan SeksualDalam kasus Sorong diperkirakan pelaku berumur 17 dan 18 tahun. Seseorang yang baru berumur 17 dan 18 tahun adalah seseoarang yang baru selesai menjalani masa anak anak. Mereka adalah manusia yang berbuat keji, sadis, dan kejam, -karena tidak mampu mengendalikan mentalnya, mengendalikan batiniahnya dengan baik. Atau kita sering mengenalnya dengan ketidakmampuan dalam mengelola kecerdasan emosi atau kecerdasan qolbu atau kecerdasan jiwa.
Anak yang tidak punya kecerdasan jiwa adalah anak yang mempunyai latar belakang karena sering menerima racun jiwa di kekerasan diantaranya kekerasan, tindakan kasar, kata kata tidak baik dari pengasuh. Pengasuh yang dimaksud bisa orang tua, nenek, paman, tetangga, panti asuhan, semua ini adalah bagian dari pengasuh anak.
Jadi anak yang berbuat nista seperti di sorong itu ataupun di kota kota lain di Indonesia, adalah anak korban kekerasan fisik dan mental (racun jiwa). Kumpulan racun jiwa itulah yang menyebabkan anak tidak mempunyai kekuatan batiniah (kecerdasan emosi/qolbu/jiwa). Sehingga mereka harus diperlakukan sebagai pelaku, juga korban.
Anak Sebagai PelakuSebagai pelaku Negara mengunakan UU SPPA pada penjeratan aspek hukumnya. Akan tetapi pelaku anak harus diperlakukan juga sebagai korban. Artinya harus terjadi pemulihan kondisi jiwanya. Bagaimana memulihkannya Negara dapat menggunakan KHA pasal 39 yang menyatakan setiap anak yang menjadi korban atau bahkan pelaku, punya hak pemulihan kondisi kejiwaannya (Psicological Recovery). Pemulihan psikologis atau kondisi jiwanya dapat dilakukan Pekerja Sosial, Pendampig, Psikolog atau Psikiater.
Kalau Pelaku hanya digunakan UU SPPA maka bisa dipastikan penjeratan hukumannya mungkin berhasil namun dampak buruk perkembagan jiwa anak terus berlangsung. Dan ini dampaknya kepada pengulangan perbuatan atas peristiwa hukum yang sama atau lainnya, terutama pelanggaran hukum. Jadi kebutuhan pelaku dalam proses psicologikal recovery niscaya tidak dilakukan.
Peran NegaraPengalaman yang terjadi dari kisah di Sorong, membuat peran Negara menjadi lebih strategis dalam mengambil inisiatif lintas sector diakibatkan tidak ada UU yang memadai. Dengan mengingatkan kembali mandate Presiden yang diberikan kepada Kepolsian, Kemenaker, KPPPA, Kemensos, Kemenag, Kemdikbud, Kemenpora, BNN, KPAI dan BKKBN. Mengapa semua Kementerian itu disebut, karena mereka mempunyai mandat menjaga tumbuh kembang anak secara normal, wajar, memadai, memenuhi syarat dan maksimum.
‘Mandat maksimum’ ini tentunya tidak bisa dibebankan hanya satu kementerian atau hanya satu lembaga. Para petugas pemerintah penting menyadari dan kritis bahwa Indonesia belum memiliki UU yang layak dalam pencegahan. Meski ada pencegahan namun tidak dapat memayungi rehabilitasi secara maksimal.
K/L termasuk BNN dan kepolisian, yatu menangani anak itu, anak yang berbuat nista tersebut, apakah ada keterkaitan dengan narkotika, narkoba dalam hal ini miras, miras adalash jenis narkotika yang tidak dilarang.
Indonesia tidak memiliki UU yang berisi didalamnya rehabilitasi yang komperhensif yaitu rehab medis, rebah sosial, rehab pengasuhan, rehab pendidikan, rehab kesehatan dan seterusnya. Itu harus terbentuk dalam sistem dan diatur UU. Karena tidak ada UU yang dimilki saat ini memadai, maka harus ada satu cara tersendiri rehabsos yang berhubungan dengan UU No 11 2009 tentang Kesejahteraan Sosial dengan mandatnya lintas sector, perlu amandenmen UU PTPPO, UU KDRT, UU Perlindungan Anak yang membicarakan bab khusus tentang rehabilitasi.
Kondisi Rehabilitasi saat ini adalah setiap kementerian punya standard sendiri. Kementerian Sosial bikin sendiri, BNN bikin sendiri, Kemenkes bikin sendiri, dan semua punya standar masing masing. Seperti Kemenkes punya rehabilitasi medis, Kemensos rehabilitasi sosial, BNN punya rehabilitasi narkotika, yang pada dasarnya adalah rehabilitasi medis dan sosial. Saya ingin katakan satu konsep yang menyatu tentang rehabilitasi komperhensif. Mengapa, karena amanat KHA pasal 19 negara harus membuat UU yang memadai agar tercapai tujuan rehabsos komperhensif.
Perjalanan RUU Pengasuhan AnakBerkaitan dengan hasil pertemuan terakhir dengan Komisi VIII DPR RI dalam pembahasan RUU Pengasuhan, DPR meminta dimasukkan dalam amandemen UU Perlindungan Anak saja dan hanya dibatasi 40 pasal dari 170 pasal yang diajukan. Kita semua harus belajar dalam peneratapan UU Otonomi Daerah yang diperjuangkan Kemendagri. Benar dan salah dalam pelaksanannya, Kemendagri tetap memperjuagngkan substansinya sampai saat ini.
Apakah Bisa Dihentikan?Pertanyaannya apakah akrifis lsm, akedemisi, kelompok profesi, orang orang pemerintah yang menangani anak, legislator di senayan, apakah mentalnya sehebat kemendagri dalam mengolkan RUU ini, atau kita hanya memandang ringan tentang pengasuhan anak. Bahwa soal pengasuhan anak sangat komplek, tidak sederhana, tidak bisa ide begitu saja dan disebut sebagai program baik. Perlu penanganan sejak dini dan pengasuhan berkelanjutan. Masyarakat yang tergabung dalam aliansi terbuka Asuh Siaga tetap memperjuangkan 200 pasal dan berfikir ekstra keras. Dengan pasal pasal yang sangat kompleks dan terus disempurnakan.
Faktanya semua pelaku kekerasan seksual, bahkan yang bersikap pelecehan seksual, pada saat ini semua pelakunya masuk penjara, -dan ini hanya sebuah sub dari isu perlindungan anak. Untuk itu perlu diusulkan pengaturan dengan menyertakan deteksi dini (early warning system) sebagaimana yang diharapkan masyarakat dan pemerintah.
Artinya secara parallel kedua RUU ini menjadi penting, antara RUU Pengasuhan Anak dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Bila tidak terjadi deteksi, dugaan sejak dini potensi ini akhirnya tidak dapat dicegah dan dipastikan jumlah korban dan pelaku tidak bisa ditekan. Deteksi dini ini bisa berjalan efektif jika yang melakukan adalah Negara bukan Masyarakat. Masyarakat cukup membantu melaporkan bila terjadi kejadian kekerasan. Peran strategis Negara dan Pemerintah adalah melakukan Deteksi nya. Masyarakat tidak mungkin menangani deteksi karena sangat rawan dan dapat menimbulkan kekacauan, kecuali mendapat mandate Negara.
Kita berharap kejadian kesekian kali ini menegaskan kita dan komitmen untuk memasukkan system pecegahan kekerasan dan dugaan pelecehan seksual sejak dini. Dengan memperhatikan kehadiran dua rancangan UU ini. [***]
Hadi UtomoPakar Hukum dan Kebijakan Perlindungan Anak
BERITA TERKAIT: