Dua Rancangan UU Diinisiasi Masyarakat Dalam Perangi Kejahatan Seksual (1)

Selasa, 17 Januari 2017, 15:51 WIB
Dua Rancangan UU Diinisiasi Masyarakat Dalam Perangi Kejahatan Seksual (1)
Net
Pengantar

Kasus KM, ananda berumur 4 tahun yang diperkosa bergantian dan dibunuh di Sorong menjadi potret kekejian, kemirisan, kesadisan yang merobek rasa kemanusiaan kita. Kebahagiaan kita atas UU Nomor 17 Tahun 2016 yang memperberat sanksi hukuman kejahatan seksual dengan kebiri, penanaman chip, dan peningkatan sangsi pidana ternyata belum mampu membuat ‘efek kebiri’ sebagai ‘efek kengerian’ bagi para pelaku. Faktanya korban  kejahatan seksual anak tumbang satu persatu dan menjadi tambahan album kelam tragedi kemanusiaan setelah kisah Rejang Lebong, Tanggerang, Lampung dan Bogor.

Sebenarnya Indonesia telah memiliki tiga Undang-Undang yakni Nomor 1 Tahun 1974 tentang Kesejahteraan Anak dan UU No 35 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Anak dan UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan pemerintah pengganti UU Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kdua Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang. Ketiganya dimandatkan menjaga kegembiraan dan keceriaan dalam penyelenggaraan perlindungan anak.

Namun sayangnya dianggap belum lengkap memadai. Hal ini terjadi karena: Pertama, Negara belum menunjuk ‘Lembaga yang benar benar diberi kewenangan mendeteksi kemungkinan atau dugaan terjadinya kekerasan’. Kalau peristiwa atau kasusnya sering kita saksikan ‘seperti selungsuran’ es salju yang semakin banyak diberitakan.  Kedua, Sebenarnya Indonesia telah berkomitmen dengan meratifikasi Konvensi Hak Hak Anak �" KHA (Convention On The Rights of The Child) 1989 dan diadopsi Indonesia pada tahun 1996 melalui Perpres.

Sayangnya ratifikasi ini belum dilaksanakan sepenuhnya. Salah satu yang menjadi perhatian adalah KHA pasal 19 yang menyatakan ‘anak harus  diasuh oleh orang tua atau wali atau orang yang dianggap bisa dan bertangungjawab mengasuh anak’.

Terutama yang kita sering dengar dan polemik berkepanjangan dalam kasus anak adalah perebutan kuasa asuh. Yang menyebabkan anak jadi korban berlapis. Memang tidak mudah melakukan deteksi awal, apalagi ini memasuki ruang seperti keluarga, sekolah, lembaga lembaga yang melakukan pelayanan anak. Yang secara pribadi tidak pernah berkaitan dengan ‘bantuan Negara’ alias mereka memenuhi kebutuhannya sendiri, lalu ada anggapan ‘mengapa Negara harus campur tangan?’. Hal ini terjadi karena Negara memasuki ruang privat yang diduga terjadi kekerasan (domestic violence). Tarik menarik kepentingan ayah-ibu, keluarga besarnya telah menyebabkan anak menjadi korban berlapis, bahkan mengikuti proses panjang perebutan itu di dalam wadah resmi pengadilan.

Di Indonesia sendiri menjadi fenomena menarik, tugas deteksi dan dugaan kekerasan justru dilakukan para pengamat, pemerhati dan aktifis anak. Kita bisa belajar dari kisah AB yang ‘lari dari rumah’ karena potensi kekerasan yang ia rasakan. Kemudian meminta perlindungan anak ke beberapa tokoh dan aktifis anak seperti Kak Seto yang saat itu Ketua Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA), Muhammad Ihsan - Sekretaris Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Muhammad Gufron - Sekretaris Satuan Tugas Perlindungan Anak (Satgas-PA). Begitu juga kisah anak meminta perlindungan Ilma Sovri Yanti - Ketua Forum Dialog Kesejahteraan Holistik Anak (Fordakha). Semuanya berakhir menjadi buronan Kepolisian karena dijatuhkan pasal ‘penculikan anak’. Akhirnya pelaksanaan KHA Pasal 19 tentang pelaksanaan early warning system tentang deteksi dini dan dugaan kekerasan pada anak tidak dikedepankan dalam kasus ini.

Hal ini tergambarkan oleh pendamping Kasus KM, dalam asessmentnya menyatakan sebenarnya target awal ke tiga pemuda ini adalah kakaknya KM perempuan berumur 8 tahun, namun kakak KM dapat menghindar, sedangkan adiknya tidak.

RUU Pengasuhan Anak


Untuk itu saran kepada Negara untuk menerjemah sistem deteksi dini (early warning system) dalam bentuk RUU Pengasuhan Anak. Terutama dalam pelaksanaan tentang kemunginan terjadinya kekerasan terhadap anak atau dugaan kekerasan terhadap anak. Salah satunya usulan masyarakat memasukkan regulasi yang mengatur pengasuhan berkelanjutan bagi anak. Dengan mandat ini, Negara dapat membentuk atau menunjuk lembaga yang mampu menjalankan fungsinya.

Artinya, Negara perlu memberikan solusi memadai untuk menopang ketiga UU dimaksud diatas. Meski ada peran yang sebenarnya dilakukan masyarakat dalam menghidupkan sistem ini, namun sangat terbatas, belum sampai pada penanganan secara komperhensif. Kadang justru dalam pelaksanaan mengancam jiwa para pelaksananya. Ini terbukti dengan beberapa aktifis yang sebenarnya melakukan perlindungan anak justru menghadapi pesakitan di panggil Kepolisian karena ditahan dengan sangkaan pasal 332 KUHP tentang penculikan anak.

Pasal ini mengatakan mengancam hukuman penjara maksimal tujuh tahun siapapun yang membawa pergi seorang perempuan yang belum dewasa, tanpa dikehendaki orangtuanya atau walinya tetapi dengan persetujuannya, dengan maksud untuk memastikan penguasaan terhadap perempuan itu, baik di dalam maupun di luar perkawinan. Pidana dalam Pasal 332 KUHP adalah delik aduan. Sayangnya, orang yang berniat membantu atau melindungi kepentingan si anak pun bisa dilaporkan, seperti yang dialami para aktivis pendamping anak diatas.

Lalu bagaimana peran masyarakat seperti dalam Kasus Sorong yang sebenarnya melihat para pelaku. Tentunya dampak pasal ini memberikan keengganan masyarakat melapor. Dan dapat mematikan kepekaan dan kepedulian kita, terutama yang terdekat pada kejadian kejadian kekerasan anak.

Oleh karena itu salah satu pelaksanaan deteksi dini (early warning system) adalah dengan memasukkan agenda legislasi Rancangan Undang Undang Pengasuhan Anak menjadi prioritas. Sudah 2 tahun masyarakat sipil yang menamakan diri Aliansi Pengasuhan Berbasis Keluarga (Asuh Siaga) memberi tawaran RUU Pengasuhan Anak yang telah diterima DPR RI, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindunan Anak dan Kementerian Sosial.

Dalam RUU ini Negara diminta berperan aktif dalam melakukan deteksi dini dengan membentuk Lembaga yang dapat melaksanakan hal tersebut. RUU ini berisi 170 pasal yang Norma, Struktur, Prosedur dan Kriteria terus disempurnakan. Ada baiknya dokumen yang telah diberikan itu dibahas pada pembukaan sidang DPR bersama Pemerintah setelah masa reses. Dengan Negara memberi ruang masyarakat yang berinisiatif memberi solusi aktif dalam mengatur pengasuhan berkelanjutan (continuum of care). Aliansi mendorong agar Negara mau memasukkan instrument pengasuhan berkelanjutan yang telah berlangsung secara adat maupun hukum positif di masyarakat agar diformalkan. Sehingga menjaga penyelewengan, eksploitasi dan kekerasan dalam pelaksanannya.

Di beberapa Negara proses pengasuhan berkelanjutan dalam pelaksanannya dibebankan pada profesi pekerjaan sosial. Tapi di Indonesia fenomenanya menarik, Negara secara tidak formal menggunakan pekerja badan aktifis perlindungan anak. Untuk itu dalam RUU ini dibunyikan aktifis perlindungan anak yang bukan pekerjaan sosial juga dapat melaksanakan ini. Profesi mereka yang telah lama sudah seharusnya mendapatkan pengakuan dari Negara. Hanya agar tidak kacau dalam mendatnya perlu dihubungkan langsung dengan profesi peksos, artinya aktifis perlindungan dari masyarakat ini wajib diperkenalkan Negara tentang profesi Pekerja Sosial.

Sepanjang hal seperti ini tidak diatur, maka kekerasan anak didalam lingkungan pengasuhan akan terus terjadi. Karena anak yang mendapatkan kekerasan dikeluarga dan lingkungan tidak boleh diintervensi siapapun, karena tidak ada kewenangan yang diberikan kepada siapapun.

Keprihatinan Kasus sorong

Semuanya prihatin dan bicara sangat prihatin. Tapi pertanyaannya apa yang akan dilakuakan selanjutnya (what next), apa agenda yang bisa kita jalankan bersama. [***]

Hadi Utomo

Pakar Hukum dan Kebijakan Perlindungan Anak

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA