Untuk mendapatkan dukungan partai, seorang bakal calon kepala/wakil kepala daerah, selain harus berjuang dengan berbagai kompentensinya, tak jarang mereka harus merogoh kantong yang dalam.
Mahar politik, biaya pemenangan, biaya konsolidasi dan berbagai nama lainnya digunakan untuk menyebutkan biaya yang harus dibayar oleh seorang bakal calon untuk mendapat dukungan dari partai politik.
Apakah itu hanya diberlakukan kepada bakal calon kandidat kepala/wakil kepala daerah yang berpotensi besar menang? Tidak! Layaknya para marketer handal, mereka akan menjual mimpi kekuatan mesin partai untuk pemenangan sang kandidat.
Sedangkan partai politik biasanya melakukan penjaringan bakal calon kepala/wakil kepala daerah secara terbuka. Tidak hanya bagi anggotanya saja. Semakin besar partainya, dengan jumlah kursi yang tinggi di legislatif, tentu maharnya semakin mahal.
Itulah kegiatan 'bawah meja' dari partai politik, tidak akan bisa dijumpai dalam aturan baku pemberian dukungan partai terhadap sepasang bakal calon kepala dan wakil kepala daerah. Jadi fungsionaris partai politik di DPP dan Bappilu suatu partai politik yang paling rawan terhadap tindakan penyalahgunaan wewenang dan jabatan dalam proses perekrutan bakal calon kepala dan wakil kepala daerah.
Semakin tinggi jabatan Anda di DPP dan semakin terkenal nama anda di publik, maka tarif membawakan nama seorang bakal calon agar dibahas dan mendapat dukungan parpol semakin tinggi.
Range-nya bisa ratusan juta hingga miliaran, untuk level kabupaten/kota saja.
Contoh, seorang fungsionaris partai yang dulu dikenal sebagai aktivis 98, tidak segan memasang tarif Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar untuk membawa nama bakal calon dari sebuah kabupaten di Provinsi Sulawei Tenggara. Tujuannya agar bakal calon tersebut mendapat dukungan dari partainya. Namun, hasilnya, dana bakal calon kandidat melayang, dukungan tidak turun karena pelaku menjual 'mimpi' sama ke banyak kandidat.
Apakah salah? Ya! Dari sisi etika politik, si fungsionaris partai yang juga anggota legislatif ini menyalahgunakan wewenangnya dan berperan sebagai broker politik. Tak salah bila curiga muncul, dana yang diperoleh lebih banyak masuk ke kantong pribadinya. Apalagi jika dirunut dari sepak terjangnya sebagai aktivis 98 yang getol memperjuangkan demokrasi dan kini merendahkan martabatnya sebagai broker politik. Tentu saja: jauh panggang daripada api.
Dengan jumlah daerah otonom di Indonesia yang mencapai 530-an di seluruh Indonesia yang semuanya menjalani pilkada, bayangkan betapa banyak potensi market dari broker-broker politik, terutama yang juga memiliki jabatan strategis di partai politik. Broker-broker seperti inilah yang paling mencederai dan merusak tatanan demokrasi kita.
Tanggalkan sebutan aktivis 98 bahkan dengan sebutan mantan sekalipun, Bung! Kau menodai demokrasi kita!
[***]Hasrul HarahapKetua Aktivis Pemuda Demokrasi Sulawesi Tenggara