Politisasi Proses Pengadilan

Rabu, 02 November 2016, 07:16 WIB
Politisasi Proses Pengadilan
Ilustrasi/Net
PARPOL atau gabungan Parpol dalam Pilkada hanya dapat mengusulkan satu pasangan calon. Ketentuan Pasal 40 ayat 4 dalam UU 10/2016 tentang Pilkada tersebut telah menambah kerumitan jalannya proses pengadilan atas pengaduan delik pidana penodaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama.

Penuntasan proses pengadilan yang menunggu Pilkada selesai itu telah menimbulkan pembesaran ketidakpercayaan sebagian masyarakat DKI Jakarta kepada proses penegakan hukum pada periode pemerintahan Joko Widodo. Terlebih proses pengadilan pada kasus itu sesungguhnya tidak mempersyaratkan adanya suatu pengaduan.

Ketidakpercayaan dipraktekkan dalam bentuk demonstrasi-demonstrasi dan pernyataan pendapat. Demonstrasi semula meminta keadilan kepada Basuki Tjahaja Purnama sebagai Gubernur DKI Jakarta. Tidak puas dengan durasi proses penegakan hukum dari Kepolisian, yang dipandang oleh sebagian kalangan telah memberikan perlakuan khusus pada Basuki Tjahaja Purnama, maka permintaan keadilan dinaikkan kepada Joko Widodo sebagai Presiden NKRI.

Permintaan keadilan itu hendak dipraktekkan dalam bentuk demonstrasi besar 4 November 2016 dari berbagai provinsi di Indonesia ke Istana Negara. Gabungan Parpol berkeberatan terhadap potensi teranulirnya pasangan calonnya. Potensi kalah sebelum hari pencoblosan di Ibukota Negara itu sulit diterimanya.

Keyakinan bahwa kota Jakarta sebagai barometer politik di Indonesia telah mendarahdaging. Hasil survey yang memprediksi kemenangan Basuki Tjahaja Purnama terkesan memperbesar penolakan percepatan proses penegakan hukum sebelum hari pencoblosan.

Gabungan Parpol ini menginginkan kesabaran ekstra dalam proses penegakan hukum melalui mekanisme hari pencoblosan. Supremasi hukum diharapkannya dilakukan setelah supremasi politik. Momentum hukum diharapkannya dapat dipisahkan secara tegas dengan momentum politik.

Gabungan Parpol juga menghendaki, agar adanya perlakuan yang sama untuk hak setiap Warga Negara Indonesia, supaya diberikan kesempatan yang serba sama sebagai calon Gubernur sebagaimana pasangan calon yang lain. Pihak yang berseberangan aspirasi justru tidak ingin terjadinya potensi pengulangan tentang tidak tersedianya minimal dua alat bukti yang cukup pada dugaan pelanggaran hukum untuk kasus Sumber Waras dan reklamasi pantai terulang kembali.

Kesan kuat persepsi adanya perlakuan khusus untuk Basuki Tjahaja Purnama telah sedemikian kuat mengakar, apabila dibandingkan kecepatan proses penegakan hukum kasus-kasus lain.

Opsi bergantung Basuki Tjahaja Purnama dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang. Sebab, penurunan saling ketidakpercayaan kepada suatu pemerintahan tentu tidak dikehendaki, namun itu justru terjadi pada batas tahun ketiga yang telah terjanjikan. Kedaulatan pangan, ternyata impor pangan terkesan naik besar-besaran. Banyak infrastruktur dibutuhkan selesai terbangun menggunakan pemangkasan subsidi energi, namun utang dinaikkan mencapai Rp 1000 triliun terbesar dalam sejarah. Itu sekalipun pemerintah berjargon kedaulatan dan kemandirian, sedangkan infrastruktur baru terkesan tidak kunjung selesai.***

Sugiyono Madelan
Peneliti INDEF dan dosen Universitas Mercu Buana

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA