Archandra Tahar adalah salah seorang dari anak bangsa yang brain drain ke Amerika Serikat. Archandra Tahar merupakan seorang dari lulusan Teknik Mesin ITB. Usai lulus, Archandra melanjutkan pendidikan S2 dan S3, dalam bidang Ocean Engineering, di A&M University Amerika Texas. Setelah lulus kuliah, Archandra berhasil berkiprah di Amerika. Beberapa posisi penting dalam perusahaan perminyakan telah didudukinya. Bahkan, sejak 2007-2009 Tahar menjabat Presiden Asia Pasific AGR Deepwater Development System. Pada 2009-2013 menduduki posisi Principal di Horton Wison Deepwater, kemudian 2013-2016 menduduki posisi Presiden Direktur Petroneering di Houston, Amerika Serikat. Petroneering sebuah perusahaan pengembangan teknologi dan engineering yang fokus dalam desain dan pengembangan kilang
offshore.
Jabatan yang pernah didudukinya tidak setiap orang dapat mendudukinya. Sebagai orang asing di Amerika Archandra dapat mengalahkan orang Amerika sendiri untuk duduk sebagai direktur di perusahaan minyak yang sangat bergengsi di Amerika. Hal ini menunjukan bahwa Archandra sebagai anak bangsa mempunyai kompetensi mumpuni yang mampu mengalahkan orang Amerika sendiri.
Sebagai bangsa yang mempunyai penduduk yang sangat banyak, jumlah manusia seperti Archandra tidak sedikit. Mereka tersebar ke berbagai belahan dunia (diaspora). Menurut data kementerian luar negeri, sebagaimana ditulis
www.tabloiddiplomasi.org, anak bangsa yang mempunyai anugerah kecerdasan di atas rata-rata dan berdiam di luar negeri tidak kurang dari delapan juta jiwa, hal itu merupakan sebuah jumlah yang fantastik.
Mengingat potensi yang sangat besar tersebut, Presiden Jokowi bermaksud untuk memanggil dan meminta partisipasi 24 profesor dari sekitar 74 profesor yang ada di Amerika saat ini. Para pprofesor itu diminta menyiapkan pendidikan terutama membantu sekolah vokasi dan membangun sebuah pusat riset untuk padi di Merauke. Lebih jauh Presiden menambahkan, saat ini para profesor asal Indonesia yang sekarang ada di Amerika sekitar 74 orang. Belum lagi, para profesor yang ada di Korea Selatan, Jepang, dan Jerman.
Fenomena DiasporaDiaspora merupakan konsekuensi dari globalisasi. Masyarakat Indonesia yang berjumlah sekitar 250 juta, hidup di berbagai tempat di dunia ini, khususnya mereka yang lahir dan memiliki keturunan Indonesia. Biasanya mereka adalah orang-orang yang mempunyai keistimewaan tersendiri.
Menurut Pan Muhammad, seperti ditulisnya dalam website pribadinya, bahwa sekitar tahun 1960-an dan tahun 1970-an, mulai terjadi migrasi para ilmuwan, dokter, dan teknisi dari negara berkembang seperti Cina, India, dan Korea Selatan ke negara maju semakin meningkat. Hal ini terjadi terutama ke negara-negara yang memberikan banyak keunggulan dan kesempatan (land of opportunity), seperti Amerika Serikat, Inggris, Kanada, dan Australia. Fenomena migrasinya tenaga terdidik dan terlatih tersebut biasa dikenal dengan istilah
brain drain atau
human capital flight. Bertitik tolak dari pemahaman di atas Taruna Ikrar,
brain drain merupakan kelompok besar individu yang memiliki keterampilan teknis atau pengetahuan, yang berpindah dari suatu negara ke negara lain. Perpindahan tersebut biasanya dengan berbagai alasan, yang meliputi dua aspek yang masing-masing berasal dari negara ataupun dari individu yang bersangkutan.
Brain drain Indonesia memiliki potensi orang-orang cerdas dan pintar di bidangnya. Sebagai contoh, menurut data Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional, sekitar 7.000 PhD, master, bahkan profesor, tersebar di seluruh dunia, dalam berdiaspora dan berkarier di luar tanah air Indonesia. Orang-orang potensial dan pintar ini bertahan di berbagai belahan dunia, dan tidak kembali ke Indonesia, dengan berbagai alasan.
Menurut laporan Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional, dalam Internasional Summit 2010, mencatat ada sekitar 2.000 ilmuan yang bekerja di luar negeri, Indonesia memiliki potensi orang-orang cerdas dan pintar di bidangnya. Mereka mengajar, melakukan riset, dan mengembangkan ilmu pengetahuan lainnya di negeri orang. Para cendekiawan tersebut mengupayakan perbaikan kultur riset guna mendukung pembangunan bangsa dan negara sendiri.
Pertanyaannya mengapa mereka lebih nyaman dan betah tinggal di negeri orang. Tentu saja terdapat banyak jawaban yang dapat dipaparkan dengan meminjam pandangan orang lain, namun dalam hal ini saya ingin menyampaikan penyebab
brain drain dalam perspektif pendidikan. Pertama, kurangnya negara memberikan respect terhadap anak bangsa yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Belasan tahun yang lalu, anak-anak bangsa yang menjuarai olimpiade fisika, biologi, matematika dan lain-lain tidak disambut dengan beasiswa di berbagai perguruan tinggi negeri kenamaan. Ironisnya ada juara olimpiade tak dapat kuliah di perguruan tinggi negeri, karena berasal dari keluarga kurang mampu. Berbeda dengan negara tetangga, mereka langsung mengirim utusan untuk menjemput juara-juara olimpiade untuk diberikan beasiswa dan diikat dengan kontrak kerja.
Kedua, tidak optimalnya riset di Indonesia. Dalam hal ini, penggunaan riset sebagai dasar kebijakan bagi pemerintah masih sangat minim. Konsekuensinya anggaran untuk penelitian baik di Riset dan Teknologi maupun di perguruan tinggi masih sangat minim. Hal ini tentu saja berdampak bagi para akademisi yang bergelut dalam dunia riset. Masih ingat dalam memori kita, pemerintah pada waktu yang lalu telah mencanangkan air laut akan diubah menjadi bahan bakar. Hal ini tentu saja menggembirakan masyarakat, namun gagasan tersebut bukan berasal dari lembaga Riset negara.
Ketiga, tidak sinkronnya pendidikan dan pembangunan. Setelah dihapuskannya GBHN, pembangunan jangka pendek dan menengah lebih disesuaikan dengan visi dan misi Presiden terpilih. Kita tidak punya rencana pembangunan yang komprehensif untuk waktu 20-50 tahun mendatang. Kita tidak tahu pembangunan infrastruktur apa yang akan dibuat dalam 20-50 tahun mendatang, sehingga kita tidak bisa mempersiapkan berapa insinyur yang kita perlukan. Dengan demikian, secara keilmuan perguruan tinggi kita tidak bisa menyiapkan tenaga terampil untuk menopang pembangunan bangsa.
Apa yang dicanangkan Presiden untuk memanggil para professor perlu mendapat dukungan bersama, sebab para professor tersebut sangat dibutuhkan oleh dunia pendidikan kita. Pemulangan kembali para profesor tersebut, semoga menjadi langkah awal bagi pulangnya para cerdik pandai anak pandai dari berbagai belahan dunia. Meskipun demikian, terdapat beberapa catatan yang harus diperhatikan oleh pemerintah ketika memanggil pulang cerdik pandai anak bangsa tersebut.
Pertama,mengundang para professor di luar negeri untuk menjadi visiting professor-dengan kata lain, kita menginginkan
transfer of knowledge untuk para mahasiswa kita. Pengalaman mereka melakukan penelitian menjadi sangat berharga untuk para mahasiswa. Tidak hanya riset untuk riset, tetapi juga bagaimana mengimplementasikan hasil riset tersebut di lapangan dan lebih jauh menjadi kebijakan nasional.
Selain itu, dengan banyaknya hasil riset, maka jurnal akademis akan semakin banyak dan berkualitas. Hadirnya para akademisi tersebut dapat juga menjadi jembatan dengan para profesor lainnya di berbagai universitas ternama di seluruh dunia. Di sisi lain, universitas dengan banyaknya visiting profesor, maka diharapkan kualitas universitas akan semakin membaik.
Kedua,pemerintah sebaiknya tidak serta merta memberikan jabatan politik kepada anak bangsa yang lama berkiprah di luar negeri. Kasus Alchandra dan mungkin juga yang lain, cukup menjadi pelajaran bagi kita. Atmosfer politik kita sangat tidak sesuai untuk para professional. Oleh sebab itu, sebaiknya anak bangsa yang kembali ke Indonesia diposisikan sebagai professional.
Mantan Presiden RI, B.J Habibie merupakan salah satu yang dapat dijadikan kita sebagai row model yang baik untuk persoalan ini. B.J. Habibie kembali ke Indonesia sebagai ahli kapal terbang, dengan kemampuan yang luar biasa diberikan tempat untuk membangun IPTN. Seiring dengan waktu dan belajar dari pengalaman pada akhirnya B.J.Habibie dapat menjadi orang nomer satu di Indonesia, meskipun tidak lama.
Dari pemaparan di atas saya dapat mengatakan bahwa manusia Indonesia mempunyai kualitas yang tak kalah dengan kualitas negara maju. Diaspora anak bangsa yang ada di berbagai tempat dengan segala potensinya, harus diberdayakan seoptimal mungkin demi kemajuan bangsa dan negara. Saya yakin bahwa rasa kecintaan mereka terhadap bangsa dan negara tak perlu diragukan. Karena itu, memposisikan mereka secara proporsional dan profesional merupakan sebuah keharusan demi mewujudkan kemajuan bangsa dan Negara Indonesia.
[***]Reni Marlinawati
Anggota Komisi X, DPR RI, Ketua Fraksi PPP 2014-2019