Dunia pendidikan kembali dihentakan oleh peristiwa yang sangat memprihatinkan.Dimana guru sekarang menjadi ajang kekerasan dan dikriminalisasi oleh orang tua murid.Dalam beberapa tahun terakhir ada beberapa peristiwa yang memprihatinkan semua pihak.
Pertama, Dahrul, guru Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 2 Makassar, dipukul orang tua siswa di depan kelas, hingga tulang hidungnya patah dan dibawa ke rumah sakit.
Kedua, kriminalisasi terhadapSamhudi guru SMP Raden Rahmat, Balongbendo, Sidoarjo,disidang karena salah satu orangtua murid, tak terima anaknya dicubit karena tidak melaksanakan shalat Dhuha.Sang gurupun terkena hukuman 6 bulan penjara dengan 3 bulan masa percobaan.
Ketiga, jauh sebelumnya pada 2015, Nurmayani Salam, guru biologi Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 1 Bantaeng, ditahan karena pencubitan dilakukan pada Agustus 2015. Tak diterima dicubit guru, murid tersebut kemudian melapor kepada orangtuanya yang berprofesi sebagai polisi yang kemudian melapor ke pihak berwajib.
Keempat, belum selesai kasus Nurmayani Salam, Mubazir, guru SMA Negeri 2 Sinjai Selatan, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, mendekam di sel tahanan karena dilaporkan orangtua muridnya. Kasus ini terjadi, 30 Mei 2016 menjelang ujian semester, ketika guru meminta muridnya untuk memotong rambut, karena kedapatan ada siswa yang tidak memotong rambut, maka guru yang memotong rambutnya.
Kelima, Aop Saopudin, guru SD di Majalengka, Jawa Barat, saat itu, Aop mendisiplinkan empat siswanya yang berambut gondrong dengan mencukur rambut siswa tersebut pada Maret 2012. Salah seorang siswa tidak terima dan melabrak Aop dengan memukulnya.Aop juga dicukur balik.
Demikian juga kasus kekerasan yang terjadi terhadap anak didik. Menurut data yang dirilis (Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI),
www.kpai.go.id dari tahun 2011-2015, kekerasan yang terjadi terhadap anak dalam kategori pendidikan sebanyak 1764 kasus. Jumlah ini tentu saja bukan jumlah yang sedikit.
Perspektif HukumKondisi di atas tidak bisa dilepaskan dari kesadaran masyarakat akan hukum. Bagi yang merasa dirugikan karena anaknya mengalami kekerasan, maka mengajukan kasus tersebut ke meja hijau, dengan menggunakan UU 35/2014 tentang Perubahan atas UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Seperti dalam kasus Samhudi, Jaksa penuntut umum mendakwa Samhudi, melanggar Pasal 80 Ayat (1) UU 35/2014 tentang Perubahan atas UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman kurungan penjara enam bulan, masa percobaan satu tahun, dan denda Rp 500 ribu subsider dua bulan penjara.
Bagi pihak guru merasa dirugikan sebab guru dalam melakukan tindakannya dalam rangka mendidik. Tindakan guru ini dilindungi oleh UU No.14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Pasal 39. Demikian juga dalam peraturan pemerintah No.74 tahun 2008 tentang Guru.Meski demikian, melihat keputusan Pengadilan Negeri Sidoarjo yang mengadili Samhudi, maka Samhudi tetap mendapatkan sanksi kurungan. Jika kita melihat dalam perspektif hukum, maka putusan Mahkamah Agung sebagai keputusan tertinggi hukum kita, pernah membuat keputusan tentang tindakan kekerasan guru.
Berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) yang dikutip dari website MA, guru tidak bisa dipidana saat menjalankan profesinya dan melakukan tindakan pendisiplinan terhadap siswa.Hal itu diputuskan saat mengadili Aop Saopudin, guru SD, di Majalengka, Jawa Barat.
Saat itu, Aop mendisiplinkan empat siswanya yang berambut gondrong dengan mencukur rambut siswa tersebut pada Maret 2012.Salah seorang siswa tidak terima dan melabrak Aop dengan memukulnya. Aop juga dicukur balik.
Meski sempat didemo para guru, polisi dan jaksa tetap melimpahkan kasus Aop ke pengadilan. Aop dikenakan pasal berlapis, yaitu: Pasal 77, huruf a UU Perlindungan Anak tentang perbuatan diskriminasi terhadap anak; Pasal 80. ayat (1) UU Perlindungan Anak; dan Pasal 335, ayat (1) kesatu KUHP tentang Perbuatan Tidak Menyenangkan.
Atas dakwaan itu, Aop dikenakan pasal percobaan oleh PN Majalengka dan Pengadilan Tinggi (PT) Bandung.Tapi oleh MA, hukuman itu dianulir dan menjatuhkan vonis bebas murni ke Aop.Alasan pembebasan tersebut, karena sebagai guru Aop mempunyai tugas untuk mendisiplinkan siswa yang rambutnya sudah panjang/gondrong untuk menertibkan para siswa. Pertimbangannya adalah:
Apa yang dilakukan terdakwa adalah sudah menjadi tugasnya dan bukan merupakan suatu tindak pidana dan terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana atas perbuatan/tindakannya tersebut karena bertujuan untuk mendidik agar menjadi murid yang baik danberdisiplin.
Perlindungan terhadap profesi guru sendiri sudah diakui dalam PP Nomor 74 Tahun 2008. Dalam PP itu, guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Dalam mendidik, mengajar, membimbing hingga mengevaluasi siswa, maka guru diberikan kebebasan akademik untuk melakukan metode-metode yang ada. Selain itu, guru juga tidak hanya berwenang memberikan penghargaan terhadap siswanya, tetapi juga memberikan punishment kepada siswanya tersebut.
Atmosfir PedagogisKekisruhan yang terjadi dalam dunia pendidikan sudah lama disinyalir oleh seorang tokoh bangsa ini, Soedjatmoko, mantan Rektor Universitas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Tokyo, seperti ditulisnya dalam buku Menjadi Bangsa Terdidik, menurutnya secara tradisional ada dua jenis lingkungan pendidikan mikro yang kita mliki, yaitu keluarga dan sekolah. Dalam lingkungan keluarga anak anak-anak pada dasarnya diasuh untuk menginternalisasikan suatu tata nilai, sedangkan di sekolah anak-anak dibina untuk menguasai seperangkat pengetahuan.
Soedjatmoko kemudian menegaskan, antara kedua lembaga mikro ini pada umumnya kurang terdapat kerjasama yang bersifat saling mendukung.Pada umumnya sekolah kurang melakukan usaha-usaha yang secara sadar membantu anak mengembangkan tata nilai yang mereka dapatkan dari keluarga, sedangkan keluarga pada umumnya kurang mampu untuk membantu perkembangan kognitif yang dialami anak-anak melalui program-program pelajaran mereka di sekolah.
Akibatnya, dalam situasi semacam ini mudah sekali terjadi ketidakseimbangan dalam diri anak antara pertumbuhan otak dan pertumbuhan watak mereka, antara perkembangan kognitif dan perkembangan afektif mereka untuk mengatasi kekuarangan semacam ini, apa yang perlu kita pikirkan bersama ialah menciptakan suatu mekanisme yang dapat mendorong kerjasama pedagogis antara keluarga dan sekolah.
Bertitik tolak dari pemaparan di atas, untuk menghindari kekerasan terhadap kedua belah pihak, maka atmosfir pedagogis harus diciptakan melalui; Pertama, perbaikan manajemen sekolah. Segala hal yang terkait dengan kegiatan belajar dan mengajar semua berada di meja kepala sekolah. Artinya, jika terjadi tindak kekerasan terhadap siswa atau sebaliknya terhadap guru, maka harus bias diselesaikan di ruang kepala sekolah. Pihak luar siapapun itu, jika mempunyai urusan dengan sekolah maka harus melalui Kepala Sekolah.
Kedua, perlu duduk bersama para pemegang kepentingan pendidikan dan aparat penegak hukum. Hal ini penting untuk menyamakan persepsi tentang pendidikan, sehingga para pemegang kepentingan pendidikan dan aparat penegak hukum mempunyai persepsi yang sama tentang pendidikan. Oleh karena itu, menjadi sesuatu yang tidak mudah untuk membawa masalah pendidikan ke meja hijau.
Ketiga, perlu sosialisasi yang lebih intensif terhadap Peraturan Pemerintah (PP) No. 74 tahun 2008 tentang Guru dan putusan Mahkamah Agung terkait kasus Aop. Hal ini menjadi sangat penting, agar aparat penegak hukum dapat dengan jelas melihat duduk perkara kasus pendidikan.
Melibatkan semua pihak dalam pendidikan adalah salah satu cara untuk menyelesaikan kesalahpahaman para pemegang kepentingan dunia pendidikan. Terciptanya atmosfir pedagogis akan membangun kesepahaman semua pihak dalam membangun bangsa melalui pendidikan. Semoga dunia pendidikan kita menjadi lebih baik. [***]
Dr. Hj. Reni MarlinawatiAnggota Komisi X, DPR RI, Ketua Fraksi PPP 2014-2019