Membuka Pasar Dalam Negeri

Rabu, 08 Juni 2016, 02:44 WIB
TERDAPAT tiga pilihan kebijakan pangan. Pertama, Negara melakukan perlindungan besar-besaran secara maksimum pada produsen dalam negeri terhadap serbuan perdagangan lintas negara menggunakan nama Kedaulatan Pangan dan Kemandirian Pangan.

Kedua, Negara melakukan pembukaan pasar dalam negeri terhadap perdagangan internasional ekspor dan impor yang mampu memperdagangkan kualitas barang dan atau jasa yang sama dengan harga yang lebih murah.

Ketiga, mengambil jalan tengah dengan membuka atau menutup, memperlonggar, atau mempersempit perdagangan antar Negara atas dasar pertimbangan kepentingan nasional. Kepentingan yang bersifat dinamis bergantung kekuatan tarik-menarik, tawar-menawar, dan tekan-menekan diantara kekuatan yang saling bersaing di dalam negeri.

Atas nama efisiensi, spesialisasi, keunggulan absolut, keunggulan kompetitif, dan jargon liberalisasi dan perdagangan bebas, maka teknologi mengalir dari tinggi ke rendah. Upah mengalir dari rendah ke tinggi. Harga barang dan jasa mengalir dari rendah ke tinggi. Tidak terkecuali soal Kemandirian Pangan mengalir ke hubungan saling ketergantungan antar bangsa dan Negara.

Harga daging sapi segar di pasar tradisional dan modern yang menjual dengan harga tinggi sebesar Rp 120 ribu/kg hingga Rp 150 ribu/kg menjelang bulan Ramadhan pun segera berakhir. Instruksi penjualan harga daging mendekati di bawah harga Rp 80 ribu/kg,bahkan harga daging sapi bersubsidi Pemda DKI Jakarta yang dijual seharga Rp 39 ribu/kg menandai berakhirnya jalan tengah perlindungan terakhir terhadap produsen komoditi daging sapi segar di dalam negeri.

Apabila berakhirnya pemerintahan Orde Baru, maka antara lain ditandai berupa
masuklah pembukaan pasar modern di dalam negeri mulai dari hypermarket hingga mini dan mini market hingga ke jantung permukiman penduduk terdekat.

Kemudian pengumuman pemerintah untuk mendaulatkan produksi padi, jagung, kedelai, gula, daging, dan ikan setahun yang lalu dihadapkan pada kenyataan realitas dunia nyata bahwa Negara kemudian berpraktek memilih prinsip-prinsip perdagangan internasional dibandingkan pilihan menjadikan komoditi pangan sebagai komoditi yang bersifat strategis. Strategis atas pertimbangan keamanan pangan dalam negeri, yang produsen musti dilindungi dari dinamika potensi kepunahan atas persaingan dan efiensi.

Komoditi daging sapi sebenarnya merupakan kasus aktual dari sekian banyak komoditi dan non komoditi yang dibukakan terhadap aliran barang dan jasa di pasar internasional.

Perileksasian adanya impor yang dalam volume kecil untuk pelabelan swasembada beras di tingkat nasional merupakan posisi jalan tengah terhadap hubungan perdagangan antar Negara.

Ini bagaikan legenda sebuah perjalanan panjang teknologi tentang bagaimana pembuatan sumur air bersih tradisional tergantikan oleh pompa angguk, kemudian pompa angguk tergantikan oleh pompa air, dan pompa air tergantikan oleh jet pump. [***]

Sugiyono Madelan

Peneliti INDEF dan Dosen Universitas Mercu Buana

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA