Dinamika Hubungan Pusat-Daerah dalam Manajemen Bencana

Studi Kasus Komunikasi Pemerintah Aceh dengan Lembaga Multilateral

Rabu, 17 Desember 2025, 21:29 WIB
Dinamika Hubungan Pusat-Daerah dalam Manajemen Bencana
Ilustrasi. (Foto: Dokumentasi RMOL/Istimewa)
INSIDEN pengiriman surat permohonan bantuan bencana oleh Gubernur Aceh, Muzakir Manaf kepada United Nations Development Programme (UNDP) dan lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa lainnya pada 14 Desember 2025, tanpa penembusan resmi kepada Pemerintah Pusat, memantik diskursus kritis mengenai kerangka hukum dan praktik koordinasi dalam penanggulangan bencana di Indonesia. Peristiwa ini menyoroti potensi disharmoni dalam implementasi otonomi daerah, khususnya bagi provinsi dengan status keistimewaan, di tengah sistem pemerintahan yang menganut asas desentralisasi asimetris. 

Naskah akademik ini menganalisis kompleksitas yuridis dari tindakan pemerintah daerah dalam mengakses bantuan internasional langsung, dengan merujuk pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Analisis menunjukkan bahwa meskipun kerangka hukum memberikan ruang bagi kerja sama internasional, prinsip koordinasi dan subsidiaritas menuntut komunikasi dan persetujuan terlebih dahulu dengan institusi nasional, seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Kementerian Luar Negeri. 

Rekomendasi kebijakan difokuskan pada penguatan protokol komunikasi yang jelas, optimalisasi peran pemerintah pusat sebagai single national focal point, dan pemanfaatan celah hukum untuk percepatan respons bencana tanpa mengorbankan kedaulatan dan efisiensi tata kelola pemerintahan.

Konteks Yuridis dan Operasional

Indonesia, sebagai negara kepulauan yang terletak di ring of fire, memiliki kerentanan tinggi terhadap berbagai bencana alam, termasuk banjir bandang seperti yang melanda beberapa kabupaten di Aceh pada awal medio Nopember 2025. Menyikapi realitas ini, negara telah membangun sebuah sistem penanggulangan bencana yang komprehensif, dengan pondasi utama pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007. Undang-undang ini menetapkan sebuah arsitektur governance yang hierarkis, dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) berperan sebagai leading sector di tingkat pusat dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) sebagai pelaksana di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. 

Dalam konteks hubungan internasional dan bantuan asing, Pasal 30 ayat (3) UU No. 24/2007 dengan tegas menyatakan bahwa kerja sama internasional dalam penanggulangan bencana dilaksanakan oleh Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan (PP 23/2008), sebuah klausul yang menegaskan peran sentral pemerintah pusat, dalam hal ini sering dikoordinasikan melalui Kementerian Luar Negeri, sebagai gatekeeper utama interaksi dengan aktor-aktor eksternal. 

Di sisi lain, Aceh, dengan status otonomi khususnya yang diatur melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, memiliki kewenangan yang lebih luas dibandingkan provinsi biasa, termasuk dalam mengadakan kerja sama luar negeri yang diatur lebih lanjut dalam Pasal 9 ayat (4), dan pasal 209 yang mensyaratkan kerja sama tersebut dilakukan sesuai dengan norma, standar, dan prosedur yang berlaku serta "dengan persetujuan Pemerintah". 

Dua kerangka hukum inilah yang kemudian beririsan dan kadang menimbulkan ketegangan interpretasi dalam situasi tekanan tinggi pascabencana, dimana pemerintah daerah terdampak merasa perlu untuk mempercepat proses permintaan bantuan dengan segala cara yang mungkin, termasuk mendekati lembaga multilateral seperti UNDP yang memiliki jaringan respons cepat yang mapan secara global.

Disharmoni Komunikasi dan Ambivalensi Kewenangan 

Insiden surat Gubernur Aceh Muzakir Manaf kepada lembaga PBB menjadi studi kasus yang mengkristalkan masalah mendasar dalam tata kelola bencana Indonesia, yaitu ambivalensi kewenangan dan lemahnya protokol komunikasi vertikal dalam situasi darurat. Pernyataan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian pada 15 Desember 2025 yang mengkonfirmasi bahwa surat tersebut tidak ditembuskan kepada pemerintah pusat, serta pertanyaannya mengenai substansi dan bentuk bantuan yang diminta, mengindikasikan adanya gap informasi dan koordinasi yang signifikan. Dari perspektif hukum, tindakan Pemerintah Aceh dapat dilihat melalui dua lensa yang berbeda. Di satu sisi, UU Pemerintahan Aceh memberikan pengakuan terhadap kapasitas hukum daerah untuk melakukan kerja sama luar negeri, yang dapat diinterpretasikan mencakup permohonan bantuan kemanusiaan langsung dalam keadaan force majeure seperti bencana besar. Di sisi lain, UU Penanggulangan Bencana dan juga UU Pemerintahan Aceh sendiri menempatkan persetujuan pemerintah pusat sebagai prasyarat yang tidak dapat diabaikan. 

Ketidakmampuan Gubernur untuk menjelaskan secara detail jenis bantuan yang diminta, apakah berupa grant aid, rehabilitasi infrastruktur, technical assistance, atau konseling, sebagaimana terlihat dalam dialognya dengan Menteri Tito, justru memperlemah posisi tawar dan legitimasi permohonan tersebut, serta mengundang pertanyaan tentang kapasitas perencanaan dan assessment kebutuhan pascabencana yang akurat di level daerah.

Lebih dalam lagi, masalah ini bukan sekadar pelanggaran prosedur administratif belaka, melainkan menyentuh prinsip fundamental dalam hukum tata negara dan hubungan internasional, yaitu kedaulatan negara. Pemerintah pusat, melalui BNPB dan Kemlu, memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa seluruh bantuan asing yang masuk sesuai dengan prioritas nasional, tidak mengandung strings attached yang merugikan, terkoordinir untuk menghindari duplikasi, dan memenuhi standar prosedur kepabeanan serta kesehatan. Dengan memintas mekanisme ini, pemerintah daerah berpotensi menciptakan parallel track dalam respons bencana yang dapat mengakibatkan inefisiensi, tumpang-tindih program, dan bahkan konflik operasional di lapangan. 

Data dari BNPB awal Desember 2025 menunjukkan bahwa banjir bandang di Aceh telah mengakibatkan lebih dari 15.000 jiwa mengungsi dan kerusakan infrastruktur berat, sebuah situasi yang memang memerlukan respons masif. Namun, catatan juga menunjukkan bahwa pemerintah pusat telah menyalurkan bantuan logistik, dana siap pakai (DSP), dan mengerahkan personel gabungan. 

Pertanyaan kritis yang diajukan oleh Menteri Tito, "Bantuannya untuk apa?" menggarisbawahi pentingnya sebuah needs assessment yang terpadu dan terkomunikasikan dengan baik, sehingga bantuan dari pihak manapun, pusat, daerah, maupun internasional, dapat dialokasikan secara right on target, tepat guna, dan tepat waktu, mencegah pemborosan sumber daya yang sangat berharga dalam masa tanggap darurat.

Solusi Normatif dan Operasional

Berdasarkan analisis masalah di atas, solusi perlu dibangun di atas dua pilar utama: penegasan ulang kerangka hukum yang jelas dan pembangunan protokol operasional yang efektif. Secara normatif, penafsiran terhadap Pasal 9 ayat (4) UU No. 11/2006 dan Pasal 30 ayat 3 UU No. 24/2007 harus diselaraskan melalui sebuah Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden yang khusus mengatur teknis kerja sama luar negeri dalam penanggulangan bencana untuk daerah otonomi khusus. Peraturan ini harus secara eksplisit mendefinisikan skema-skema darurat yang memungkinkan pemerintah daerah, atas persetujuan principe dari gubernur sebagai kepala daerah, untuk melakukan preliminary communication dengan lembaga donor atau multilateral, namun dengan kewajiban untuk melaporkan dan mengoordinasikan secara resmi kepada BNPB dan Kemlu dalam waktu paling lama 1x24 jam setelah komunikasi dilakukan. Mekanisme ini mengakomodir urgensi respon sekaligus menjaga prinsip koordinasi dan kedaulatan. 

Selain itu, pemerintah pusat, dalam hal ini BNPB, perlu mengembangkan dan mensosialisasikan secara masif sebuah Standar Operasional Prosedur (SOP) Komunikasi Krisis Pusat-Daerah yang mencakup skenario keterlibatan aktor internasional. SOP ini harus mengintegrasikan lesson learned dari berbagai insiden serupa, termasuk kasus Aceh 2025 ini, dan menjadi bagian dari pelatihan wajib bagi kepala daerah dan jajaran BPBD.

Pada tingkat operasional, solusi jangka pendek yang dapat segera diimplementasikan adalah optimalisasi peran pemerintah pusat sebagai focal point dan facilitator, bukan semata-mata sebagai controller. BNPB dan Kemlu harus proaktif membuka kanal komunikasi langsung dan khusus dengan pemerintah daerah yang sedang mengalami bencana besar untuk menawarkan jasa fasilitasi dalam mengakses bantuan internasional. 

Misalnya, membentuk Joint International Assistance Desk yang terdiri dari perwakilan BNPB, Kemlu, pemerintah daerah terkait, dan jika memungkinkan, perwakilan dari lembaga donor potensial seperti UNDP, untuk duduk bersama melakukan rapid needs assessment dan merumuskan concept of operation yang disepakati bersama dalam waktu singkat. Pendekatan ini akan mengubah dinamika dari saling mempertanyakan menjadi kolaboratif. 

Dalam konteks Aceh, langkah yang diambil oleh Mendagri Tito Karnavian untuk "mempelajari" surat tersebut merupakan respon yang tepat secara politik, namun harus segera ditindaklanjuti dengan tindakan administratif yang konkret, yaitu mempertemukan pihak Pemerintah Aceh dengan pihak BNPB dan Kemlu untuk membahas isi surat, memetakan kebutuhan riil, dan kemudian bersama-sama merumuskan jawaban atau tindak lanjut formal kepada UNDP. 

Dengan demikian, permohonan dari Aceh tidak ditolak atau diabaikan, melainkan diadopsi dan dijadikan bagian dari strategi nasional penanggulangan bencana, dengan pemerintah pusat bertindak sebagai mitra yang mempermudah, sehingga pesan yang sampai kepada publik adalah kesatuan langkah antara Jakarta dan Banda Aceh dalam menyelamatkan warganya.

Sinergi Kedaulatan dan Desentralisasi dalam Bingkai Kemanusiaan

Insiden komunikasi antara Pemerintah Aceh dan lembaga PBB pascabanjir bandang 2025 telah membuka ruang refleksi yang berharga bagi semua pemangku kepentingan dalam sistem penanggulangan bencana Indonesia. 

Peristiwa ini mengkonfirmasi bahwa otonomi daerah, khususnya otonomi khusus, bukanlah sebuah konsep yang statis melainkan dinamis dan terus diuji dalam situasi krisis. Analisis hukum menunjukkan bahwa meskipun terdapat ruang interpretasi, prinsip utama yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa kerja sama internasional, dalam bidang apapun, merupakan manifestasi dari kedaulatan negara yang dijalankan oleh pemerintah pusat. 

Namun, prinsip ini tidak boleh diterapkan secara kaku hingga mengorbankan kecepatan dan efektivitas respons kemanusiaan terhadap masyarakat terdampak bencana di daerah.

Oleh karena itu, jalan keluar terbaik terletak pada penciptaan sinergi yang inovatif antara kedaulatan negara dan semangat desentralisasi. Pemerintah pusat, dalam hal ini BNPB dan Kementerian Luar Negeri, harus bertransformasi dari peran yang cenderung birokratis dan pengawas menjadi mitra fasilitator yang tanggap dan empatik terhadap tekanan yang dihadapi pemerintah daerah di lapangan. 

Sebaliknya, pemerintah daerah harus memandang pemerintah pusat dan kerangka hukum nasional bukan sebagai hambatan, melainkan sebagai enabler yang dapat memberikan legitimasi, skala, dan dukungan sumber daya yang lebih besar untuk setiap inisiatif kerja sama luar negeri. Komunikasi yang transparan, didasari oleh kepercayaan, dan berorientasi pada penyelamatan nyawa harus menjadi paradigma baru.

Dengan menyusun dan mengimplementasikan protokol yang jelas, memperkuat kapasitas kelembagaan di semua level, dan membangun sistem informasi yang terintegrasi, Indonesia dapat mencapai model ideal: sebuah sistem penanggulangan bencana yang tangguh, dimana inisiatif lokal yang cepat dari daerah seperti Aceh dapat disambut dan difasilitasi oleh pemerintah pusat dengan lancar, sehingga bantuan internasional dari UNDP atau lembaga lainnya dapat tiba di lokasi bencana dalam waktu singkat, tepat sasaran, dan tetap berada dalam koridor koordinasi nasional yang tertib. 

Dengan demikian, kedaulatan negara tidak dilemahkan, melainkan justru diteguhkan melalui kemampuan negara untuk mengelola krisis secara efektif dan terhormat di kancah global, sambil tetap menjunjung tinggi kepentingan dan keselamatan warganya di seluruh penjuru tanah air, dari pusat hingga daerah paling ujung yang memiliki hak otonomi khusus sekalipun. rmol news logo article
 
Laksamana Muda TNI (Purn) Adv. Dr. Surya Wiranto, SH MH 
Penasihat Indo-Pacific Strategic Intelligence (ISI), Anggota Senior Advisory Group IKAHAN Indonesia-Australia, Dosen Program Pascasarjana Keamanan Maritim Universitas Pertahanan Indonesia, Ketua Departemen Kejuangan PEPABRI, Anggota FOKO, Sekretaris Jenderal IKAL Strategic Centre (ISC) dan Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Maritim Indonesia (IIMS). Aktif sebagai Pengacara, Kurator, dan Mediator di firma hukum Legal Jangkar Indonesia.
  

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA