Secara sepintas penerapan ini akan baik dan terbuka di kemudian hari. Jika harga-harga di atas naik atau turun maka tarif akan menyesuaikan, tidak naik secara drastis sehingga mengurangi gejolak. Namun jikalau kita memperhatikan dengan lebih seksama, kenaikan tersebut besarnya 11 persendari Rp 1.352/kWh menjadi Rp 1.509,38/kWh. Bukan saja jumlah kenaikan yang besar, akan tetapi membiarkan harga-harga komoditi vital pada pasar jelas bertentangan dengan semangat konstitusi.
Pada saat yang bersamaan PLN mengumumkan akan menurunkan tarif kelas R2-3500VA dan R3-5500VA ke atas dari Rp 1.533/kWh menjadi Rp 1.509,38/kWh. Dengan begini tarif listrik golongan menengah bawah R1 disamakan dengan golongan masyarakat menengah bahkan mewah. Inilah yang disebut sebagai tindakan yang mencederai keadilan. Di saat kondisi ekonomi masih dan makin sulit, pemerintah melalui PLN justru menambah beban rakyat menengah bawah bukannya meringankannya.
Yang lebih menyakitkan adalah PLN memakai alasan subsidi membengkak jadi terpaksa harus menaikkan tarif. Namun mengapa justru golongan R1 ini yang dinaikkan bukannya golongan R2 dan R3 yang notabene merupakan masyarakat yang mampu dan kebal terhadap kondisi ekonomi sekarang.
PLN beralasan kenaikan ini sudah sesuai peraturan Menteri ESDM No. 09/2015, yang menyatakan bahwa golongan listrik tarif R1 dengan daya 1300VA dan 2200VA akan mengikuti skema penyesuaian tarif listrik. Inilah tindakan cari aman dan mudah. Aman karena bisa berlindung dengan peraturan dan mudah karena tinggal naikkan tarif lalu selesailah permasalahan tingginya biaya operasional. Inilah solusi instan yang sering kali diambil tanpa mau berpikir mencari solusi alternatif.
PLN memang hanya subordinat dari menteri-menteri di atasnya: secara manajemen dia berada di bawah Menteri BUMN dan dan secara operasional mengikuti regulasi Menteri ESDM namun sebagai perusahaan negara haruslah berpikir kedepan sebagai pelayan rakyat juga, memakai hati dan akal sehat dalam melakukan tindakan yang berakibat bagi rakyat. Kalau lari dari koridor ini Menteri BUMN mestilah menegur, mengarahkan agar berpihak kepada rakyat. Sedangkan Menteri ESDM juga harus melakukan regulasi dan supervisi terhadap PLN dalam pengembangan pengembangan sistem yang efisien dan mencari energi murah yang sebenarnya berlimpah di negeryang i kaya sumber daya alam.
Peraturan Menteri ESDM No. 09/2015 ini jelas tidak berpihak. Mengapa golongan tarif R1-1300VA disamakan dengan R2-3500VA bahkan dengan pemakai-pemakai listrik besar konsumtif yang sampai belasan bahkan puluhan ribu VA di satu rumahnya. Di sini lah ketidakadilan itu terjadi. Ada dua alas an pokok menolak Permen ini, pertama azas keadilan, kedua kondisi masyarakat yang mengalami kemunduran daya beli justru pemerintah membuat kebijakan yang memicu inflasi.
Kegagalan Kebijakan Pengelolaan Kelistrikan
Persoalan kelistrikan di Indonesia yang paling pokok selain problem kurangnya pasokan listrik juga problem biaya produksi listrik yang mahal. Kenaikan tarif listrik berhubungan erat dengan dua masalah carut marutnya pengelolaan kelistrikan. Pertama, penyebabnya adalah masalah inefisiensi dalam pengelolaan dan Kedua, adalah mahalnya biaya pokok produksi (BPP) listrik.
Mahalnya BPP terjadi ldisebabkan banyak pembangkit PLN masih menggunakan BBM yang biaya produksinya lebih mahal daripada jika pembangkit PLN digerakkan dengan gas atau batu bara atau sumber daya air. Sudah banyak yang mengkritisi tingginya BPP ini. Itulah sebabnya mengapa PLN harus transparan dalam mengugkapkan biaya ini ke masyarakat luas dan sudah seharusnya data penting ini terbuka untuk publik. Pemerintah perlu menginisiasi kebijakan keterbukaan data (open data policy).
Kebijakan pemerintah dalam Proyek Listrik 10 Ribu MW tahap pertama bertujuan membangun pembangkit non-BBM dengan cepat kilat merupakan niat yang baik. Namun kenyataanya justru menjadi beban bagi operasional PLN. Oleh karena sifatnya crash program, proyek ini menyebabkan minimnya perencanaan, dan rendahnya kelayakan teknis ekonomis pembangkit. Kondisi ini menimbulkan kesulitan dalam mobilisasi pendanaan dan ditambah kendala komitmen pasokan batubara mengakibatkan pembangkit terlambat beroperasi dari rencana semula. Kondisi ini diperburuk dengan ketidak transparanan PLN dalam memberikan hak yang di tengarai berpusat pada kroni tertentu penguasa saat itu. Selain tidak perform situasi ini juga berakibat pada mahalnya biaya pembangunan yang berkorelasi langsung dengan mahalnya BPP.
Pada akhirnya program ini tidak memangkas konsumsi BBM. Lalu untuk menutup defisit daya listrik, ujung-ujungnya jumlah pembangkit listrik berbahan bakar minyak ditambah sehingga secara keseluruhan BPP tetap tinggi. Kegagalan listrik swasta (IPP) untuk membangun sesuai dengan rencana juga memperburuk situasi ini. Sekali lagi penunjukan IPP ini pun diduga hanya diberikan pada kroni tertentu.
Koreksi Kebijakan Pengelolaan Kelistrikan
Sebagai bahan yang penting untuk dipertimbangkan sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada negara dan rakyat Indonesia sebelum menetapkan kenaikan tarif listrik, Menteri BUMN, Menteri ESDM beserta PLN melakukan tinjauan dan kajian mendalam terhadap pemborosan yang terjadi di PLN, antara lain :Perbaikan operasional PLN, operasional PLN inilah yang disinyalir terjadi pemborosan di tubuh PLN sendiri; Perbaikan pelayanan PLN, tarif selalu naik tetapi tidak ada keseimbangan pelayanan yang memadai, sering mati lampu, dan sebagainya; Perbaikan pemasangan penghematan listrik pada seluruh instalasi, peralatan dan metode yang digunakan PLN lebih pada anti penghematan; Audit penggunaan sumber energi dan teknologi yang dipakai PLN yang menjadi sumber pemborosan PLN, untuk menghindari kebijakan yang selama ini lebih berpihak kepada kepentingan tertentu dari pada membangun PLN yang lebih kreatif dan produktif; Kaji ulang kebijakan pemerintah dalam kampanye hemat energi yang tidak kena sasaran. Pejabat publik harus member contoh, jangan seperti rezim terdahulu, kampanye hemat energy tetapi pendingin di Istana di-setting dibawah 16 derajat Celcius.
Pemerintah harus mempunyai strategi nasional jangka menengah dan panjang yang jelas dan tepat guna tentang penggunaan energi nasional serta dukungan Pemerintah terhadap investasi terbarukan yang saat ini masih sangat rendah. Road map yang selama ini ada perlu di bongkar ulang, jangan sampai peluang-peluang inilah yang dimanfaatkan sebagian orang-orang berwatak jahat memanipulasikan PLN sehingga tak berdaya. Bisa dilihat dari rencana PLN membangunan pembangkit listrik 35ribu dalam 5 tahun padahal proyek listrik 10 ribu MW sebelumnya pun masih bersisa 7 ribu MW. Jadi total 42 ribu MW yang harus diselesaikan dalam 5 tahun ke depan.
Program ini perlu dievaluasi, jangan sampai mengejar target kuantitas 42 ribu hanya sekedar pernyataan bombastis akan tetapi minim realisasi. Bahkan membuat kita sangat toleran terhadap kualitas pembangkit tersebut. Jangan sampai barang-barang yang dipakai berkualitas rendah seperti terjadi pada pembangkit-pembangkit di tahap sebelumnya. Sering rusak, tidak mampu beroperasi dengan kapasitas sesuai desainnya dan menghasilkan polusi tinggi, terjadi pemborosan sehingga menyebabkan tingginya biaya operasional. Inefisiensi PLN seperti di atas yang menyebabkan biaya operasional naik dan menekan jatah subsidi yang disediakan pemerintah.
Selama hal tersebut tidak bisa terealisasi maka sudah saatnya pula Jokowi harus mengeluarkan peringatan keras kepada PLN, Menteri BUMN dan Menteri ESDM supaya bekerja bersungguh-sungguh untuk kepentingan rakyat banyak. Kalau tidak mampu sebaiknya menteri-menteri itu mundur saja dan diganti dengan orang yang lebih berkompeten, utamanya dengan keberpihakan yang jelas.
Patut diduga pejabat berwenang yang mengelola kebutuhan energi nasional ini mengabaikan Nawacita dan anti Trisakti.
Lukman Hakim
Kordinator Bidang Analisa Kebijakan Publik, Komunitas Alumni Perguruan Tinggi