Dari Surabaya Untuk Indonesia

Selasa, 10 November 2015, 10:20 WIB
Dari Surabaya Untuk Indonesia
foto:net
SURABAYA adalah pencetak para pemimpin idealis’ (Suko Widodo)

Demikianlah penuturan Dosen Fisip Universitas Airlangga dalam sebuah tulisannya di kolom opini Jawa Pos, 9 September kemarin. Dalam tulisan tersebut, Suko Widodo secara garis besar juga mengajak pembacanya untuk dapat memetik sejarah inspiratif dalam peperangan yang juga menewaskan Brigadir Jenderal Mallaby.

Sebagaimana diketahui, peperangan 10 November merupakan puncak kemarahan pihak Inggris atas terbunuhnya perwira militer kebanggaannya. Dari sanalah kemudian, pengganti Mallaby, Mayor Jenderal Mansergh bersikeras mengancam serta mengultimatum para pejuang Surabaya untuk meletakkan senjata. Bila tidak, maka Surabaya akan dibombardir dari segala penjuru.

Ancaman ini ternyata tidaklah main-main. Tepat pukul 06.00 pagi hari di tanggal 10 November 1945, pasukan Inggris dengan 30.000 pasukan tempurnya memporak-porandakan kota Surabaya dari berbagai sisi. Serangan darat, laut dan udara dilancarkan untuk membekap dan menundukkan para pejuang yang kebanyakan di antara mereka adalah rakyat jelata. Tidaklah mengherankan, bila ribuan rakyat Surabaya bergelimpangan tewas di medan laga.

Sangat menarik bila dalam tulisan ini, penulis juga memaparkan sedikit saja pidato menggelegar Bung Tomo kala mengobarkan semangat juang arek-arek Surabaya. Dalam pidato yang menggetarkan tersebut, Bung Tomo mengajak siapapun yang berada dan tinggal di Surabaya untuk turut serta berjuang mengenyahkan penjajah.

Saudara-saudaradi dalam pertempuran-pertempuran yang lampau// kita sekalian telah menunjukkan//bahwa rakyat Indonesia di Surabaya// pemuda-pemuda yang berasal dari Maluku//pemuda-pemuda yang berawal dari Sulawesi//pemuda-pemuda yang berasal dari Pulau Bali//pemuda-pemuda yang berasal dari Kalimantan//pemuda-pemuda dari seluruh Sumatera//pemuda Aceh// pemuda Tapanuli// dan seluruh pemuda Indonesia yang ada di Surabaya ini//di dalam pasukan-pasukan mereka masing-masing//dengan pasukan-pasukan rakyat yang dibentuk di kampung-kampung//telah menunjukkan satu pertahanan yang tidak bisa dijebol//telah menunjukkan satu kekuatan sehingga mereka itu terjepit di mana-mana


Dari secuil pidato Bung Tomo tersebut, bisa dilihat bagaimana kemajemukan, kebhinekaan dan keragaman sudah tercermin dalam ruang-ruang kehidupan rakyat Surabaya sejak dulu. Itulah kemudian yang membuat gelegak perjuangan rakyat Surabaya pada waktu itu menjadi pemantik pergolakan dan perlawanan rakyat Indonesia yang ada di daerah lainnya. Tak heran bila Surabaya pada akhirnya mendapat julukan sebagai kota Pahlawan.

Dalam konteks kekinian, hari pahlawan sudah selayaknya tak hanya dirayakan dengan segala hiruk pikuk seremonial yang tanpa makna. Segenap semangat juang rakyat Surabaya kala itu sudah semestinya terwariskan pada generasi muda saat ini. Generasi Muda Surabaya selayaknya berada di garis terdepan dalam mengawal tumbuhnya kembali benih semangat nasionalisme kapahlawanan yang dulu pernah ditanam pendahulunya.

Saat ini, banyak kalangan pemuda yang abai pada persoalan bangsa. Degradasi nasionalisme ini kemudian berimbas terhadap bertumpuknya problematika yang melilit bangsa ini. Pemuda sebagai tonggak kemajuan bangsa, bukannya menjadi problem solvernya. Melainkan malah menjadi problem itu sendiri. Hal itu bisa dilihat dari banyaknya kalangan generasi muda yang tidak menyadari tugas sejarah yang harus dipanggulnya. Mereka malah asyik masyuk berselingkuh dengan globalisasi yang berjalan serta bergandengantangan  seiring dengan imperialisme gaya baru.

Lunturnya semangat juang pemuda saat ini, bisa dilihat dari apatisnya mereka untuk cawe-cawe menuntaskan segenap persoalan bangsa. Tak lagi ditemui, suara lantang menggelegar kalangan pemuda seperti yang pernah dipertontonkan Sukarno dengan ‘Indonesia Menggugat’nya. Atau seperti pidato berkobar-kobarnya Bung Tomo dalam membangkitkan semangat juang arek-arek Surabaya kala itu.

Pemuda saat ini lebih memilih menyibukkan diri berselfie ria dengan gawai yang dimilikinya. Mereka tak paham arah dan tujuan, ke mana dan harus dengan cara apa mengisi kemerdekaan ini. Mungkin generasi inilah yang dimaksud dengan istilah lostgeneration. Generasi yang sudah tercerabut dari akar kesejarahan bangsanya.

Generasi ini tak menyadari bahwa imperialisme dengan bentuk baru akan membuat mereka lupa akan perjuangan yang dulu dilakukan oleh para pahlawan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Tanpa disadari, banyak kalangan pemuda yang hanyut dalam buaian rayuan pengedaran dan penggunaan narkoba. Mereka kemudian tanpa sadar dicabut rasa nasionalismenya perlahan-lahan. Bila saja hal ini dibiarkan berlarut-larut, tentu akan menimbulkan persoalan kebangsaan yang sistemik dan akut.

Dari itu, agar nantinya jalannya negeri ini sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa, sudah saatnya kalangan pemuda untuk berbalik arah mengambil kembali semangat kepahlawanan yang dulu pernah ditunjukkan oleh para pejuang di Surabaya dalam perang 10 November. Bila kalangan pemuda sudah tak peduli lagi dengan persoalan bangsanya, maka sepenggal puisi Zainul Walid kiranya cocok mendeskripsikan wajah pemuda saat ini. Rindu apakah yang kaubawa//benarkah kausedang mencari//sisa orang menangisibangsa dan negeri?. Wassalam....


Azhar Kahfi

Mahasiswa Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Indonesia
Ketua Bidang PTKP PBHMI


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA