Reshuffle Kabinet yang Senyawa dengan Nawa Cita

Minggu, 03 Mei 2015, 09:34 WIB
<i>Reshuffle Kabinet yang Senyawa dengan Nawa Cita</i>
SATU semester pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), beberapa lembaga riset politik melakukan survei atas kinerja pemerintahan Jokowi-JK. Hasilnya, persentase ketidakpuasan publik lebih besar daripada yang menyatakan puas atas kinerja pemerintahan Jokowi.

Bidang ekonomi dan penegakan hukum menjadi sektor yang paling lemah di mata publik. Instabilitas harga kebutuhan pokok yang cenderung naik tapi tidak pernah turun, fluktuatifnya harga BBM, tingginya kebutuhan hidup yang tidak diimbangi dengan kenaikan pendapatan menjadi dasar keluhan masyarakat.

Di bidang hukum, terjadinya konflik KPK-Polri dan tidak tepatnya peran pemerintah menengahi konflik tersebut semakin mempertebal rasa kecewa masyarakat. Serta terjadinya konflik partai politik yang sangat vulgar di hadapan publik. Ditambah lagi banyaknya kesalahan fatal dilakukan menteri-menteri yang membuat seakan Presiden menjadi tidak kompeten.

Batalnya pelantikan Budi Gunawan alias BG menjadi Kapolri. Dicabutnya Perpres Nomor 39 tahun 2015 Tentang Pemberian Fasilitas Uang Muka Bagi Pejabat Negara Pada Lembaga Negara Untuk Pembelian Kendaraan Perorangan. Diumumkannya ke publik tim perumus naskah pidato Presiden di KAA oleh Seskab sesaat selesainya Presiden berpidato dan yang terkini adalah perdebatan antara Presiden ke VI SBY dengan Presiden Jokowi tentang utang Indonesia kepada IMF yang dilanjutkan silang pendapat di internal menteri Kabinet Kerja antara Seskab dengan Menkeu terkait hal tersebut.

Berkaca dari persoalan di atas, merosotnya harapan publik pada pemerintahan Jokowi tentunya menjadi tamparan dan memberikan signal serius. Kenapa, karena Presiden Jokowi datang dan hadir dengan membawa harapan sangat besar di hati masyarakat. Presiden Jokowi merupakan figur yang tidak berasal dari peta elite konvensional. Dia hanya elite kelas lokal namun membawa harapan ke hati masyarakat Indonesia. Dia tidak memilki beban masa lalu yang membuatnya dapat bergerak leluasa merealisasikan Nawa Cita-nya.

Merosotnya "Jokowi effect" di semester pertama pemerintahannya akan bertolak belakang jika dibandingkan dengan survey pemerintahan SBY di semester pertama 2005 silam, yang hasilnya harapan masyarakat masih sangat tinggi berkisar 80 persen kepada SBY.

Tentunya kemerosotan ini bukan masalah sepele. Ini harus direspon serius Presiden Jokowi. Reshuffle kabinet menjadi syarat mutlak yang tidak bisa ditawar lagi oleh Presiden Jokowi untuk membenahi kinerja kabinetnya. Ini menjadi momentum bagi Presiden Jokowi untuk membalik keadaan.

Agar reshuffle menjadi rebound, maka menurut kami, ada syarat dan cara yang harus dilakukan Presiden Jokowi yakni memetakan dua pokok persoalan. Pertama, kembali melihat kekuatan dasar dirinya terpilih. Ada tiga modal yang dimilki Presiden Jokowi. Pertama, dirinya dan Nawa Cita, kedua, koalisi parpol dan ketiga, kelompok relawan.

Kedua, mengidentifikasi menteri-menteri yang tidak kompeten dan memiliki agenda berbeda dengan Presiden atau Nawa Cita.

Presiden Jokowi harus cermat dan pandai mengelola modal politiknya agar bisa merealisasikan agenda strategisnya. Modal politik yang menghantar Jokowi menjadi Presiden harus di-manage menjadi modal ideologi dalam mewujudkan jalan perubahan Indonesia seperti tertuang dalam Nawa Cita.

Banyaknya permasalahan dan tantangan yang dihadapi pemerintah dan terjalnya medan perjuangan yang dilalui bangsa Indonesia, justru membuat rakyat menjatuhkan pilihan kepada figur sederhana, bukan elite konvensional, tidak memiliki beban masa lalu dan sukses saat menjadi Walikota Solo yang diharapkan selalu hadir di tengah-tengah rakyat menuntaskan problem dasar bangsa.

Reshuffle kabinet menjadi momentum bagi Presiden Jokowi untuk membuktikan bukan sebagai pemimpin bertipe kepemimpinan Laissez Faire, di mana pemimpinnya membiarkan kelompoknya dan menterinya berbuat seenaknya saja, seperti kesalahan-kesalahan fatal yang dibuat para menterinya.

Presiden Jokowi sudah membuat mekanisme hubungan yang tepat dengan partai politik pengusungnya. Namun, berkaca dari satu semester perjalanan pemerintahannya sepertinya tidak cukup. Presiden Jokowi sebaiknya juga membuat mekanisme bangunan yang tepat dengan kelompok relawan pengusungnya. Bila berhitung dari matematika politik di waktu pilpres, modal politik yang dimiliki Partai Politik KIH sebesar 51.105.832 suara, sedangkan kemenangan Presiden Jokowi dalam pilpres sebesar 70.997.833 suara. Ada selisih suara sebesar 19.892.001. Penambahan suara yang signifikan tentunya terjadi karena beberapa faktor. Faktor determinan adalah kelompok relawan menjadi dinamisator mengeskalasi tingginya antusiasme pemilih kepada Presiden Jokowi.

Di tengah dinamika internal partai politik di mata masyarakat, kehadiran kelompok relawan dalam sistem politik kontemporer tidak boleh lagi di pandang sebelah mata. Kelompok Relawan bagaikan Komite Gerak Cepat di saat terjadinya kegamangan mengambil keputusan politik besar oleh partai politik dalam menafsirkan kehendak masyarakat luas. Presiden Jokowi harus ingat sejarah tersebut dan harus terampil menginisiasi untuk memformulasikan hubungan secara tepat dengan kelompok relawan.

Reshuffle kabinet dilakukan bukan semata-mata karena desakan kepentingan. Tetapi dilandasi untuk meningkatkan kinerja, mewujudkan Nawa Cita dan mengganti menteri yang tidak kompeten dan sejalan dengan visi-misi Presiden Jokowi. Beberapa menteri yang kebijakan dan pernyataannya membuat situasi menjadi gaduh dan tidak produktif.

Memposisikan Presiden Jokowi menjadi tidak kompeten di hadapan publik dan menteri-menteri bidang ekonomi yang kering ide dan berbeda ideologi sebaiknya menjadi prioritas untuk dievaluasi.

Tiga modal utama yang dimiliki Presiden Jokowi, yakni dirinya, Partai Politik KIH dan Kelompok Relawan menjadi basis dalam membuat kebijakan reshuffle kabinet. Evaluasi kabinet dan reshuffle yang dilakukan Presiden Jokowi harus mengeluarkan penumpang gelap yang menyebabkan Presiden Jokowi semakin menjauh atau terpisah dari tiga modal utama yang dimilikinya.

Momentum reshuffle kabinet harus dimaknai untuk menempatkan orang yang tepat, kompeten, kredibel dan berasal dari modal utama Presiden Jokowi. Hal ini untuk mencegah kembali adanya penumpang gelap di kabinet. Terlebih lagi bila proses perekrutan pembantu Presiden tidak dilandasi tiga modal utama tersebut, bisa terjadi nantinya disusupi bajak laut” untuk menggeser posisi Presiden Jokowi.

Bila hal ini dilakukan, "jalan terjal dan gangguan-gangguan" memang masih tetap terbentang di depan. Namun Presiden Jokowi telah memberikan ketegasan untuk mewujudkan Nawa Cita agar secepatnya dirasakan oleh masyarakat Indonesia.

Bernard Haloho

Ketua Lingkar 98

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA