Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Refleksi Petuah Ki Hajar Dewantara

Jumat, 02 Mei 2014, 17:42 WIB
PERINGATAN hari Pendidikan Nasional yang jatuh tepat pada 2 Mei selalu diselenggarakan setiap tahun di Indonesia. Dalam memperingatinya semua elemen masyarakat dan pemerintah mengadakan berbagai kegiatan baik upacara bendera maupun demonstrasi di tempat strategis.

Kegiatan itu dinilai sebagai bentuk refleksi dari bagaimana masing-masing pihak memandang momentum hari pendidikan nasional itu sendiri. Tak ada yang perlu menyalahkan, sebab semua itu mendapatkan jaminan dalam konstitusi sebaga hak menyuarakan pendapatnya.

Jika mau jujur, memperingati hari pendidikan nasional tidak hanya berbicara mengenai kelahiran sosok pejuang pendidikan. Lebih luas, ada makna mendalam di baik ajaran Ki Hajar Dewantara yang secara serius mengembangkan konsep pendidikannya untuk kemajuan bangsa.

Dengan mentalitas anti penjajahan, Ki Hajar seperti para pendidik kebangsaan lain seperti KH. Ahmad Dahlan, Dewi Sartika, KH Hasyim Asy’ari mengembangkan pendidikan sebagai alat perlawanan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Para pendidik ini menilai, pendidikan dapat membentuk manusia Indonesia yang cerdas sehingga mampu berperan dalam pembangunan masa depan Indonesia.

Dalam Ki Hajar Dewantara sendiri terdapat kepribadian negarawan dan nasionalisme yang tinggi. Pengalaman sebagai kolumnis, aktivis pergerakan Indonesia, politisi sekaligus bapak pendidikan nasional mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan dan pengabdian sejati seorang pendidik menjadikan hidupnya sebagai sarana pengabdian seutuhnya kepada bangsa dan negara.

Model pembelajarannya yakni Kyai Semar (menjadi perantara antara Tuhan dan manusia, mewujudkan kehendak Tuhan di dunia ini) dimanifestasikan dalam perjuangan mendidik anak bangsa melawan penjajah Belanda. Hal itu terwujud dalam keberanian menulis sebuah tulisan berjudul "Als ik een Nederlander was" ("Seandainya Aku Seorang Belanda") yang dimuat dalam surat kabat De Expres pada 13 Juli 1913. Isi artikel ini terasa pedas sekali di kalangan pejabat Hindia Belanda dimana salah satu kutipannya tercermin di bawah ini.

"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya"

Dampak kritiknya itu, Ki Hajar harus menjalani hukuman pembuangan dengan harapan perlawanan dan perjuangannya kepada pemerintah kolonial dapat dihentikan. Tapi proses “pembuangan” itu justru menjadi peluang baginya untuk memperdalam keilmuan serta mengembangkan pengajaran dan pendidikan. Setelah masa pembuangan selesai, Ki Hajar kembali ke Indonesia dan mengembangkan Perguruan Nasional Taman Siswa pada 3 Juli 1922. Dari sekolah ini, dirinya menanamkan semangat cinta tanah air menuju cita-cita Indonesia merdeka.

Melalui Taman Siswa, Ki Hajar mewariskan tiga prinsip utama yang menjadi semboyan Taman siswa. Pertama, Ing Ngarso Sun Tulodo artinya di depan, seorang pendidikan harus memberikan contoh yang baik. Ini penting sebab pendidik akan memberikan pengaruh yang strategis untuk peserta didiknya. Untuk menanamkan pendidikan kedisplinan misalnya, seorang guru dapat memberikan teladan dengan datang ke sekolah sesuai jadwal yang ditetapkan. Ketika guru berhasil menjalankan kesepakatan itu, peserta didik akan mampu mengikutinya sebab bahasa perbuatan lebih meresap daripada bahasa perkataan.

Kedua, Ing Madyo Mbangun Karso artinya di tengah-tengah membangun semangat, Dalam proses pembelajaran, seorang pendidik harus mampu membangun semangat peserta didiknya untuk berusaha belajar, mengembangkan minat dan bakatnya serta mampu menorehkan prestasi yang dapat dibanggakan. Pembangunan semangat dari pendidik merupakan kunci kemajuan banga sehingga lahir generasi terdidik-tercerahkan. Sebuah generasi yang matang secara intelektual, spritual dan emosional sehingga mampu berkontribusi positif untuk masa depan Indonesia.

Ketiga, Tut Wuri Handayani artinya seorang pendidik harus memberikan dorongan moral dan semangat kerja dari belakang. Dorongan moral dibutuhkan sebagai garda terdepan mengarungi kehidupan di masyarakat kelak. Sedangkan semangat kerja menjadi sebuah kontruksi bagaimana membentuk manusia Indonesia yang bermental pantang menyerah dalam menghadapi berbagai situasi kelak ketika berjuang mempertahankan hidupnya kelak. Ketiga semboyan ini masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan rakyat Indonesia, terlebih di sekolah-sekolah Perguruan Tamansiswa.

Konteks kekinian, teladan yang diberikan Ki Hajar Dewantara menjadi sebuah keniscayaan di tengah semakin permissifnya dan minimnya karakter positif dalam pembangunan pendidkan di Indonesia. Untuk itu menjadi kewajiban bersama semua kalangan khususnya para pendidik untuk menumbuhsuburkan semangat perjuangan Ki Hajar Dewantara sehingga pendidikan Indonesia menjadi lebih baik.

Jika dulu, betapa gigihnya beliau mengobarkan semangat melawan penjajah, maka sekarang tugas para pendidik melawan “penjajah pendidikan Indonesia” seperti kebodohan, kemiskinan, pengangguran dan degradasi moralitas dengan mengacu kepada tiga prinsip utama pendidikan karakter yang diwariskan Ki Hajar Dewantara.

Selamat Hari Pendidikan Nasional !!!


Inggar Saputra
Mahasiswa Magister Studi Ketahanan Nasional Universitas Indonesia

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA