Meminjam pernyataan Sidiq Notonegoro (2013), maraknya pungli disebabkan mentalitas sebagian aparatur pemerintahan kita -termasuk yang bergerak di bidang pendidikan- adalah mentalitas yang tidak pernah puas dengan harta atau kekayaan. Ibaratnya lintah darat yang tidak peduli meski sang murid sudah tidak berdaya. Mereka menilai murid sebagai obyek yang mudah dibodohi dalam persoalan keuangan. Dengan beralasan "beban administrasi" pemberian biaya pendidikan yang bersifat gratis mendapatkan beban biaya tambahan sehingga membebankan para orang tua siswa.
Fakta terbaru muncul di Jakarta dimana salah seorang pegawai honorer melakukan pungutan liar kepada 242 siswa SMKN 58 Jakarta Timur yang menerima Kartu Jakarta Pintar (KJP). Setiap anak dibebankan pungutan sebesar Rp 50 ribu dimana 170 anak sudah membayarnya. Tentu ini bukan jumlah yang sedikit apalagi KJP seharusnya diberikan secara gratis sebagai imbal jasa Jokowi atas dukungan warga Jakarta dalam Pilkada beberapa waktu lalu. Ketika ada tambahan biaya yang melanggar hukum, sudah sepantasnya hukuman tegas diberikan kepada pelakunya sehingga menimbulkan efek jera.
Adanya pungli menandakan masih lemahnya pengawasan pemerintah daerah DKI Jakarta dalam mengawal kebijakan yang digulirkan pemimpinnya. Kebijakan KJP dapat dikatakan masih mengandung kecacatan dan kelemahan dari segi pengontrolan sehingga muncul pelaku pungli yang memanfaatkan kesempatan yang ada untuk memperkaya dirinya. Padahal berkali-kali, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) sudah menegaskan KJP diberikan secara gratis. Apa daya, kebijakan yang menguntungkan rakyat Jakarta itu masih gagal diterjemahkan secara baik oleh para bawahannya sehingga menimbulkan pelanggaran yang berdampak buruk kepada citra pendidikan di Jakarta.
Dalam kesempatan itu, benar kiranya jika Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki T Purnama menyebut tindakan pungli sebagai 'Susu Tante' (Sumbangan Sukarela Tanpa Tekanan) Pernyataan itu dicetuskan mengingat selama ini pelaku pungli selalu memakai alasan klasik seperti biaya administrasi dan uang letih. Para pelaku juga berlindung di balik penyataan sudah mendapatkan persetujuan kepala sekolah sehingga pekerjaan itu dilakukan tanpa tekanan. Padahal, ada mekanisme yang jelas sebelum penarikan pungutan di sekolah berjalan legal. Tidak mengherankan, kesan yang dimunculkan pungutan liar tak lebih dari sumbangan sukarela dengan besaran yang ditentukan sehingga mengabaikan norma, etika dan hukum yang ada.
Harus diakui, secara umum Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan memang membolehkan penarikan pungutan di sekolah. Mekanismenya sekolah mengajukan penarikan pungutan dengan syarat disetujui orang tua siswa. Jika disetujui, usulan itu dapat diajukan kepada dinas pendidikan setempat untuk mendapatkan rekomendasi. Jika dirasakan sesuai kebutuhan sekolah dan sudah dimusyawarahkan dengan orang tua siswa, keputusan itu mendapatkan pelegalan dan sah secara hukum.
Tapi ironisnya, selama ini jika dicermati pungutan yang dilakukan sekolah berjalan sepihak dan sistematis. Dikatakan sepihak, sebab tak ada perundingan sebelumnya dengan orang tua siswa sehingga ilegal secara hukum. Bersifat sistematis sebab pada dasarnya kepala sekolah mengetahui pungutan liar itu, namun terkesan membiarkan sehingga dirasakan wajar. Padahal selayaknya kepala sekolah mampu menjalankan kemampuan untuk menyusun program sekolah, mengawasi kinerja bawahannya dan memberdayakan sumber daya sekolah secara optimal dan efektif sehingga perilaku pungli tidak tumbuh berkembang di institusi pendidikan.
Maraknya pungli tentu sangat menyedihkan pasalnya pelaku pungutan liar dapat dijerat hukum karena memenuhi unsur pidana sesuai pasal 3 dan pasal 8 UU Nomor 31 tahun 1999 jo UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Para pelaku dapat diancam dengan hukuman pidana minimal 1 tahun penjara dan maksimal 20 tahun penjaraserta denda minimal 50 juta dan maksimal 1 miliar sebagaimana dalam pasal 3 UU Tipikor serta melanggar pasal 8 yang dapat diancam pidana maksimal 3 tahun penjara dan maksimal 15 tahun penjara serta denda pidana minimal 150 juta dan maksimal 750 juta.
Berkaitan dengan adanya pungli, sudah seharusnya pemerintah DKI Jakarta bertindak tegas. Apa pun alasannya, peserta didik harus diselamatkan dari cengkeraman ‘kapitalis’ kelas teri yang menjadikan lembaga sekolah sebagai ladang bisnis. Tidak sepantasnya, kejadian di SMKN 58 terus dibiarkan sehingga menjadi preseden buruk dalam lingkungan pendidikan yang sejatinya berfungsi melahirkan manusia terdidik dan memiliki akhlak yang baik. Tujuan mulia pendidikan jangan sampai terkotori kejahatan korupsi seperti pungli yang menimbulkan keresahan dan keteladanan yang buruk dalam lingkup pendidikan.
Dalam hal ini, Jokowi harus mampu melakukan pembenahan birokrasi secara efektif dan efisien dengan memerintahkan Dinas Pendidikan DKI Jakarta menerapkan sanksi pemecatan kepada oknum pegawai honorer dan menurunkan jabatan kepala sekolah di sekolah yang terbukti menjalankan pungli. Ini harus dilakukan agar penyimpangan serupa tidak terulang dan menimbulkan efek jera, sehingga tidak lagi berkembang pejabat yang rakus harta dengan mengorbankan kepentingan dan masa depan siswanya.
Akhirnya menjadi mimpi kita bersama pungli dapat dihapuskan sehingga tidak membudaya dan mencederai keluhuran dunia pendidikan. Memang harus diakui biaya pendidikan semakin mahal dan masyarakat diharapkan memberi sumbangsih finansial. Tetapi, semua pungutan harus sesuai aturan perundangan dan dapat dipertanggungjawabkan transparansinya dengan dipublikasikan di situs sekolah yang mampu diakses publik (masyarakat luas-pen).
Bagaimanapun pungli di dunia pendidikan bukan proses pembelajaran yang baik untuk generasi mendatang. Jika institusi pendidikan dan pemerintah masih bersikap permisif terhadap pungli di sekolah, maka secara tak langsung akan dilahirkan benih korupsi pada anak didik. Untuk itu, perlu usaha bersama semua kalangan peduli pendidikan untuk terus mengawal anggaran pendidikan sehingga tidak terjadi penyimpangan. Selain itu, semua pelaku pungli di sekolah wajib diberikan hukuman secara setimpal sehingga melahirkan efek jera dan penyakit pungli tidak terulang pada institusi pendidikan lainnya di masa mendatang.
Inggar Saputra
Mahasiswa Magister Ketahanan Nasional Universitas Indonesia
Aktif sebagai Peneliti Institute For Sustainable Reform (INSURE)